tirto.id - Presiden Prabowo Subianto mengusulkan membentuk koalisi permanen bagi partai pendukungnya atau Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Langkah ini sebagai bentuk kerja sama politik bertujuan untuk memastikan stabilitas pemerintahannya hingga 2029. Terlebih lagi, Ketua Umum Gerindra itu kini didapuk maju kembali pada Pilpres 2029 mendatang oleh kadernya.
Namun, sayangnya ide pembentukan koalisi permanen ini dikritik dan mendapatkan reaksi keras dari berbagai pihak. Pasalnya, koalisi semacam itu dinilai dapat merusak prinsip demokrasi. Terutama karena bisa mengurangi adanya check and balance yang sehat antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Koalisi permanen juga dapat menciptakan dominasi kekuasaan di tangan beberapa partai atau pihak tertentu, sehingga mengurangi keberagaman suara dan aspirasi yang seharusnya diwakili dalam sistem demokrasi. Selain itu, sistem politik yang sangat bergantung pada koalisi permanen bisa membuat politik lebih pragmatis dan kurang berdasarkan pada ideologi atau kepentingan rakyat.
Terdapat pula kekhawatiran bahwa koalisi ini dapat mengarah pada penurunan kualitas layanan publik. Dalam sistem demokrasi, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat, terutama dalam hal kebutuhan dasar seperti kesehatan, energi, dan pendidikan.
"Salah satu kekhawatiran utama dari pembentukan koalisi permanen adalah dampaknya terhadap layanan publik," ujar Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dalam pernyataannya kepada Tirto, Senin (17/2/2025).
Achmad mengatakan, jika koalisi ini hanya bertujuan untuk mengamankan kepentingan politik dan memastikan loyalitas partai pendukung, maka ada potensi bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih menguntungkan elite politik dibandingkan masyarakat luas.
Dalam beberapa kasus, kata dia, pemerintahan yang didominasi oleh satu kekuatan politik cenderung lebih mudah dalam mengambil keputusan yang tidak populer. Seperti pemangkasan anggaran layanan publik atau kenaikan harga kebutuhan dasar yang diatur oleh pemerintah (administered price).
Dengan lemahnya pengawasan, maka dikhawatirkan kebijakan seperti kenaikan harga BBM, listrik, LPG 3 kg, serta iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dapat diterapkan tanpa ada perlawanan yang berarti. Jika hal ini terjadi, maka dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat kecil yang semakin terbebani oleh biaya hidup yang tinggi.
Oposisi Sebagai Pilar Demokrasi
Dalam sistem politik yang demokratis, lanjut Achmad, keberadaan oposisi harus dipandang penting sebagai penyeimbang kekuasaan. Oposisi bertugas untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah, sehingga kebijakan yang dihasilkan tetap berpihak pada rakyat. Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah akan lebih mudah membuat kebijakan tanpa harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Ketika semua partai besar berada dalam satu koalisi, tidak ada lagi suara yang mampu memberikan perlawanan signifikan terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat. Hal ini dapat menciptakan situasi di mana pemerintah merasa memiliki keleluasaan penuh untuk melakukan berbagai kebijakan tanpa ada konsekuensi politik yang berarti.
Jika koalisi ini benar-benar terbentuk, kata Achmad, maka Indonesia berisiko memiliki parlemen yang homogen tanpa dinamika politik yang sehat. Hal ini dapat mengarah pada kebijakan yang dibuat tanpa adanya evaluasi yang menyeluruh, serta menghilangkan ruang diskusi yang diperlukan untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik bagi masyarakat.
Karena dalam kondisi politik di mana oposisi lemah, pemerintah cenderung memiliki keleluasaan lebih besar dalam mengambil kebijakan fiskal yang kontroversial. Salah satu dampak yang mungkin terjadi adalah pemangkasan anggaran untuk sektor layanan publik dengan alasan efisiensi.
Alih-alih menjaga stabilitas ekonomi, pemerintah dapat dengan mudah mengurangi subsidi dan menaikkan tarif berbagai layanan dasar tanpa adanya perlawanan politik yang berarti.
“Sebagai contoh, kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik sering kali menjadi keputusan yang sulit diambil dalam kondisi pemerintahan yang memiliki oposisi kuat,” jelas dia.
Namun, jika parlemen dipenuhi oleh partai-partai yang tergabung dalam koalisi permanen, maka keputusan semacam ini dapat diambil tanpa perlu adanya perdebatan yang berarti. Akibatnya, masyarakat kecil yang bergantung pada subsidi pemerintah akan semakin terbebani oleh biaya hidup yang meningkat.
“Jika tujuan utama dari pembentukan koalisi permanen adalah untuk menjaga stabilitas politik, maka perlu ada jaminan bahwa stabilitas tersebut tidak mengorbankan kepentingan masyarakat. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memiliki keseimbangan antara kekuasaan dan oposisi,” jelas dia.
Alih-alih membentuk koalisi permanen yang mengarah pada kekuatan politik yang terlalu dominan, lebih baik jika pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk kelompok oposisi dan masyarakat sipil. Dengan cara ini, keputusan yang diambil oleh pemerintah akan lebih seimbang dan mempertimbangkan berbagai aspek yang lebih luas, bukan hanya kepentingan politik semata.
Ekspresi Ketakutan Prabowo
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat wacana pembentukan koalisi permanen sesungguhnya adalah ekspresi ketakutan presiden akan soliditas parpol pendukung hingga akhir masa jabatannya. Ketakutan itu muncul karena presiden menyandarkan berbagai kebijakannya pada dukungan parpol.
"Maka akan jadi persoalan serius bagi presiden jika soliditas dukungan parpol terganggu sehingga mengancam eksekusi program yang diinginkan presiden," kata Lucius kepada Tirto, Senin (17/2/2025).
Usulan koalisi permanen ini juga sebenarnya membingungkan dan kontras dengan presiden maupun parpol-parpol. Kadang, mereka menegaskan istilah koalisi dan oposisi yang dianggap menjadi ciri khas pemerintahan parlementer.
"Koalisi parpol permanen memang sesungguhnya tak dikenal dalam sistem kita. Koalisi yang ada di sistem kita hanya dikenal pada saat proses pencalonan presiden dan wakil presiden," kata dia.
Namun, dengan dihapuskannya ambang batas atau presidential treshold, ke depannya kebutuhan membangun koalisi pada tahap pencalonan presiden dan wapres menjadi tidak dibutuhkan lagi. Maka, disinilah wacana koalisi permanen itu timbul dan digagas langsung oleh presiden.
Dari sini, tentu bisa dilihat ada ketakutan dari presiden karena penghapusan presidential treshold membuat parpol-parpol tak membutuhkan koalisi untuk Pilpres 2029 mendatang. Sehingga ancaman koalisi pemerintahan sekarang bisa bubar kapan saja sebelum Pemilu 2029.
"Bagi presiden, gangguan kesolidan parpol koalisi akan sangat mengancam kestabilan pemerintahannya," imbuh Lucius.
Tawaran membangun koalisi permanen bagi presiden, kata Lucius, tak hanya penting bagi kelangsungan pemerintahan periode ini, tetapi juga bisa memberikan sedikit kepastian akan kelanjutan jabatannya di Pemilu 2029. Pada saat yang sama, keinginan Prabowo itu tampak bertolak belakang dengan karakter parpol-parpol yang pragmatis.
Menurut Lucius, saat ini parpol-parpol pragmatis tidak sejalan dengan prinsip kerjasama permanen. Bagi parpol, kerja sama politik yang dibangun untuk kebutuhan yang aktual saat ini. Sulit membayangkan kerjasama permanen itu ketika kepentingan parpol tiba-tiba berubah di tengah jalan atau menjelang Pemilu.
"Karena itu rasanya bukan hal mudah bagi presiden untuk mendapatkan dukungan dari parpol-parpol atas wacana koalisi permanen itu," ujarnya.
Bagi parpol-parpol, selagi bisa mendapatkan keuntungan, mereka akan setia dalam perahu pemerintah sekarang. Sebaliknya jika presiden mulai menganaktirikan satu dua parpol anggota koalisi, maka dengan mudah parpol-parpol akan mencari jalan sendiri-sendiri.
Reaksi Parpol
Saat ini beberapa partai memang sudah merespons mengenai tawaran koalisi permanen yang digagas oleh Prabowo. Sebagian ada mendukung. Lalu sebagian lagi masih mempertimbangkan jika arahnya pada keberlanjutan Pilpres 2029 mendatang.
PKB menjadi salah satu partai yang menyambut baik tawaran Prabowo terkait pembentukan koalisi permanen. Bila perlu, kata Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Imin, koalisi itu tak hanya bertahan hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029, melainkan selamanya.
"Tentu PKB menyambut baik koalisi permanen. Menjadi penguatan dari percepatan pembangunan. Ya sampai kapan pun [koalisinya], namanya permanen," ujar Cak Imin usai mengikuti perayaan hari ulang tahun (HUT) Partai Gerindra yang dihadiri elite parpol KIM di Hambalang, Jawa Barat, Jumat (14/2/2025).
Dukungan sama disampaikan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Raja Juli Antoni, menegaskan partainya ikut mendukung pembentukan koalisi permanen yang digagas oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
"PSI mendukung ide koalisi permanen yang disampaikan Pak Prabowo. Koalisi permanen penting dan dibutuhkan untuk mendukung visi jangka panjang pemerintahan," kata Raja Juli dalam keterangan pers, dikutip Senin (17/2/2025).
Raja Juli menjelaskan alasan partainya mendukung gagasan Prabowo tersebut. Menurutnya, ide politik itu dapat menjadi jaminan dalam pelaksanaan visi-misi pemerintahan Prabowo berjalan mulus, tanpa interupsi politik yang mengganggu.
"Koalisi permanen dibutuhkan agar tidak terjadi gonta-ganti visi dan kebijakan di tengah jalan yang akan menghambat pembangunan dan cita-cita kemajuan," kata Raja Juli.
Sementara dua respons berbeda ditunjukkan Partai Golkar dan Nasdem. Dalam memaknai ajakan koalisi permanen tersebut Golkar akan memastikan tetap solid hingga akhir periode. Namun, untuk lanjut periode kedua nanti dulu.
"Bagi Golkar koalisi permanen hal sangat baik diwujudkan agar koalisi tidak rapuh dan ambyar di tengah jalan. Namun untuk dukungan resmi dari Golkar [Pilpres 2029] tentu harus melalui mekanisme partai, melalui Rapimnas," kata Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Sarmuji saat dihubungi Tirto, Jumat (14/2/2025).
Sedangkan Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, Saan Mustopa, menyampaikan bahwa partainya mempertimbangkan dukungan kepada Prabowo Subianto usai Partai Gerindra kembali menetapkannya sebagai calon presiden untuk Pilpres 2029. Walaupun di Pilpres 2024, Nasdem dan Prabowo tidak berada dalam koalisi yang sama.
"Ya pertimbangkan juga pasti lah. Wong kita juga bahwa ini, kita pertimbangkan, pasti," kata Saan di Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Dalam kondisi saat ini, partai-partai yang tergabung dalam KIM Plus harusnya memiliki kesadaran untuk tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah di tengah tawaran koalisi permanen. Jika koalisi ini hanya berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, maka dampaknya akan sangat buruk bagi demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
“Partai-partai politik seharusnya tetap menjaga independensinya dan tidak hanya menjadi alat bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan tanpa perlawanan,” timpal Achmad Nur Hidayat.
Pembentukan koalisi permanen oleh Prabowo melalui KIM Plus memang bisa menjadi langkah strategis untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Namun, stabilitas politik tidak boleh mengorbankan kualitas layanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, penting bagi semua pihak untuk tetap menjaga keseimbangan dalam sistem politik, sehingga kepentingan rakyat tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang diambil.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang