tirto.id - “Saya biasa saja.” Begitu pernyataan Presiden Joko Widodo saat ditanya awak media terkait hubungannya dengan Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Surya Paloh beberapa hari terakhir.
Kepada wartawan di Jakarta, Senin (15/5/2023), Jokowi mengaku, hubungannya dengan Paloh tidak ada masalah. Namun, Jokowi mengaku tidak memiliki rencana untuk bertemu dengan Paloh itu. Sebaliknya, Jokowi justru membuka peluang reshuffle menteri dari Partai Nasdem di masa depan.
“Bisa jadi,” kata Jokowi kala itu.
Hubungan Paloh dan Jokowi memang terlihat renggang setelah Pemilu 2019. Dalam berbagai pemberitaan, Paloh mengakui bahwa hubungannya dengan mantan Wali Kota Solo itu tidak baik-baik saja.
Puncak sinyal hubungan Paloh dan Jokowi tidak baik-baik saja muncul saat eks Gubernur DKI Jakarta itu mengundang partai-partai pendukung pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Paloh dan petinggi Partai Nasdem sebagai bagian dari koalisi pemerintah justru tidak diundang dalam pertemuan itu.
Paloh, dalam wawancara media mengatakan, hubungannya dengan Jokowi berpotensi berada di titik terendah. Teranyar, Paloh menduga hubungannya dengan Jokowi itu renggang akibat posisi Nasdem yang memilih mendukung Anies Baswedan yang juga disebut sebagai antitesa Jokowi. Dugaan ini tidak salah lantaran Jokowi membenarkan tak mengundang Paloh karena alasan koalisi.
“Nasdem itu, kita harus bicara apa adanya, kan, sudah memiliki koalisi sendiri dan ini gabungan partai yang kemarin berkumpul itu, kan, juga ingin membangun kerja sama politik yang lain," ucap Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2023).
Selepas pernyataan Jokowi soal hubungannya dengan Paloh masih biasa, Ketua Pemenangann Pemilu sekaligus Ketua DPD Partai Nasdem Jawa Barat, Saan Mustopa berharap hubungan Jokowi dan Paloh bisa membaik karena kedua tokoh tersebut punya hubungan baik di masa lalu.
“Kami berharap mudah-mudahan komunikasi Pak Surya dengan Pak Jokowi bisa cepat terealisasi kalau memang misalnya menganggap hubungan dengan Nasdem, normal-normal saja," kata Saan di Gedung DPR RI pada Selasa (16/5/2023).
Saan menambahkan, partainya menyerahkan sepenuhnya mengenai posisi menteri dari Nasdem di kabinet Jokowi-Ma’ruf. Dia menjamin akan mengikuti setiap arahan dari Jokowi, terkait masa depan partainya bersama Jokowi di tengah isu reshuffle yang sedang merebak saat ini.
“Jadi pertimbangan-pertimbangan yang dikedepankan presiden adalah hal yang objektif, bukan pertimbangan subjektif. Jadi sekali lagi kita hormati hak prerogatif presiden,” tegasnya.
Ia menegaskan, Nasdem akan terus bersama Jokowi apa pun yang terjadi, kecuali Jokowi yang ingin pisah dengan Nasdem. Ia menilai, perbedaan Nasdem dengan Jokowi hanya soal koalisi Pilpres 2024. Namun, Saan tetap meyakini Nasdem tetap bagian dari koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
“Tapi selama ini kita melihat bahwa Nasdem tidak diundang dalam konteks yang berbeda. Ketika berbicara dalam konteks pemerintahan di masa depan soal kebijakan dan program pemerintahan, menteri Nasdem paling dilibatkan. Bisa dilihat saat KTT ASEAN kemarin," tutur Saan.
Akibat Nasdem Dukung Anies Baswedan di 2024
Analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago meyakini bahwa hubungan renggang Jokowi-Paloh tidak lepas dari ketidaksukaan Jokowi terkait keputusan Nasdem mengusung Anies di 2024. Hal ini berimbas pada adanya perbedaan sikap antara Paloh dan Nasdem dengan Jokowi.
“Tentu dengan adanya hubungan ini bahwa agenda Nasdem dengan Pak Jokowi, kan, berbeda di 2024 dalam menunjukkan capres-cawapres dan kemungkinan ini akan menjadi sebuah masalah besar ketika misalnya ada agenda-agenda, juga akan merugikan Partai Nasdem misalnya apakah reshuffle kabinet atau lainnya,” kata Arifki.
Arifki mengingatkan, nama Anies tidak pernah masuk dalam skenario politik Jokowi. Hal ini tidak lepas dari posisi Anies yang diasosiasikan sebagai antitesa Jokowi. Hal ini lantas menimbulkan efek hubungan personal kedua tokoh terganggu.
Lantas, apakah ada keuntungan maupun kerugian yang diterima Nasdem dan Jokowi ketika hubungan memburuk? Arifki mengakui ada kerugian besar Jokowi tidak memperbaiki hubungan politik dengan Nasdem.
Pertama, kata Arifki, Jokowi tidak akan bisa menjadi kingmaker karena skema Nasdem dan Jokowi berbeda. Padahal, Jokowi perlu peran Nasdem agar dominasi PDIP di Ganjar Pranowo bisa lebih ditekan. Jokowi akan punya alternatif di luar Prabowo yang selama ini menjadi kartu lain Jokowi.
Di sisi lain, Nasdem juga akan mengalami kerugian secara politik. Mereka tidak bisa menggunakan infrastruktur politik yang ada untuk membantu tugas partai di Pemilu 2024. Selain itu, status bagian dari Jokowi juga bisa hilang jika tidak bersama Jokowi.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin menilai, hubungan politik penting. Ia mengakui, Jokowi saat ini adalah salah satu kingmaker pemilu, sementara Nasdem perlu hubungan baik dengan Jokowi demi faktor elektoral. Ia khawatir, masalah ini tidak akan selesai hingga pemilu berakhir.
“Secara relasi kuasa, tampak saat ini posisi Jokowi lebih tinggi di mana ia terlihat sekali sebagai kingmaker. Sementara, Nasdem mau hubungan membaik demi menjaga relasi dengan Jokowi sekaligus mendapatkan dampak elektoral, serupa dengan yang dilakukan banyak partai lainnya. Bagi saya, hubungan Jokowi dan Nasdem bisa kembali ke sedia kala pasca pemilu. Kalau saat ini, suasana politik sudah mulai terlihat pattern relasinya," kata Alvin.
Alvin menegaskan, Jokowi akan terus menjaga relasi politik dengan partai-partai termasuk Nasdem, apalagi jelang purna tugas. Namun khusus saat ini, Jokowi bersikap berbeda karena menunjukkan sikap politiknya sebagai individu dan presiden. Hal itu wajar secara politik. Akan tetapi, ia berharap tidak sampai dingin hingga memicu situasi tidak kondusif seperti berujung pada materi kampanye yang bersifat memecah belah.
Perubahan sikap Jokowi bisa berimplikasi negatif pada Nasdem karena selama ini mendapatkan efek elektoral bersama Jokowi. Hal itu dibuktikan dengan kemenangan Jokowi dan perolehan suara Nasdem di Pemilu 2014 dan 2019. Di sisi lain, kerugian lain yang dimiliki adalah tidak ada perhatian publik lewat pemberitaan.
Di sisi lain, Anies saat ini masih bacapres tanpa jabatan eksekutif. Ia kurang diuntungkan karena memegang jabatan politik. Di saat yang sama, Alvin pesimistis Jokowi akan me-reshuffle kabinet dengan menyasar kader Nasdem. Ia beralasan, keputusan tersebut akan berdampak pada konstelasi politik nasional.
“Peluang untuk reshuffle, saya rasa kecil kemungkinan terjadi, karena potensi untuk membuat gesekan politik bisa terjadi dan memberi kesan kuat bahwa politik hanya sebatas transaksional serta mengesampingkan meritokrasi. Anggapan saya karena berulang kali Jokowi selaku presiden menegaskan pentingnya menjaga situasi politik tetap kondusif,” kata Alvin.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz