Menuju konten utama

Satgas Damai Cartenz Diperpanjang, Apa Manfaatnya bagi Papua?

ISESS sebut perlu kajian spesifik dan mendalam soal model operasi atau strategi efektif dalam menjaga keamanan di Papua.

Satgas Damai Cartenz Diperpanjang, Apa Manfaatnya bagi Papua?
Personel TNI/Polri berada di dekat helikopter yang mendarat di Distrik Kenyam, Kabupaten Ndunga, Papua Pegunungan, Rabu (8/2/2023). ANTARA FOTO/HO/Humas Pendam Cenderawasih/wpa/tom.

tirto.id - Polri resmi memperpanjang Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz per 1 Januari 2024. Perpanjangan satgas yang bertugas di Papua ini dalam rangka menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibnas) di Pulau Cenderawasih tersebut.

“Operasi Damai Cartenz akan diperpanjang terhitung mulai dari 1 Januari hingga 31 Desember 2024,” kata Kepala Bagian Penum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Erdi A. Chaniago, dalam keterangan tertulis, Selasa (9/1/2024).

Erdi mengatakan, Satgas Damai Cartenz tetap menggunakan pendekatan sama dalam bertugas, yakni pendekatan humanis dan persuasif. Erdi mengatakan, satgas ini akan fokus pada pembinaan masyarakat, deteksi dan hubungan masyarakat serta tugas penegakan hukum.

Operasi Damai Cartenz 2024 dilaksanakan di wilayah Polda Papua dengan sasaran prioritas terutama di wilayah Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Terdapat sembil wilayah sasaran prioritas yang tingkat kerawanannya tinggi, yakni Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Mimika, Intan Jaya, Dogiyai, Puncak, Nduga, Jaya Wijaya, dan Jayapura.

Mengenal Apa Itu Satgas Damai Cartenz

Satgas Damai Cartenz sendiri merupakan satuan khusus gabungan TNI-Polri dalam menjaga Kamtibnas Papua. Setidaknya ada 908 personel yang terdiri atas 777 anggota Polri dan 131 prajurit TNI. Awalnya satgas ini bernama Satgas Nemangkawi.

Perpanjangan satgas tidak lepas dari kondisi situsasi Papua yang masih belum kondusif. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa ada 199 aksi penyerangan oleh kelompok kriminal bersenjata dengan mayoritas adalah aksi penembakan.

“40 penembakan, 23 kontak tembak, dan 136 gangguan lainnya,” ujar Sigit di Rupatama Mabes Polri, Rabu (27/12/2023).

Mantan Kabareskrim itu mencatat, gangguan terbanyak di Kabupaten Puncak 42 kali, Kabupaten Yahukimo 36, Kabupaten Intan Jaya 31, Kabupaten Pegubin 27, Kabupaten Nduga 19, Kabupaten Jayawijaya 16, Kabupaten Dogiyai 12, Kabupaten Jayapura 11, Kabupaten Mimika 2, Kabupaten Fakfak 2, dan Kabupaten Teluk Bintuni 1. Dari total serangan tersebut, sekitar 146 orang menjadi korban dengan rincian 81 luka-luka, 64 meninggal dunia dan 1 orang disandera.

Untuk aksi Kelompok Kriminal Politik (KKP) yang berkaitan dengan kelompok berssentara atau KKB, Sigit membeberkan ada 234 aksi di dalam dan luar negeri. Namun, jumlah itu menurun 17,6% jika dibandingkan aksi pada 2022 yang mencapai 284.

“Dalam negeri 227 aksi dan luar negeri 7 aksi," tutur Sigit.

Selama setahun juga, kata Sigit, terdapat 19 anggota KKB yang berhasil dilumpuhkan. Kemudian, 124 anggota KKB dilakukan penindakan hukum di mana 15 orang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan, 34 masih dalam tahap sidik, dan 65 dalam penyelidikan.

“Berhasil menduduki 47 titik markas KKB. Mengamankan 32 pucuk senjata, 1.279 butir peluru, 25 magasin, 107 alkom, 31 sajam, dan 334 barang bukti lainnya,” kata Sigit.

Perlu Evaluasi Menyeluruh

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang Kepolisian, Bambang Rukminto, menilai Satgas Damai Cartenz masih diperlukan selama ada ancaman gangguan besar seperti di Papua.

“Selama ada ancaman dan gangguan keamanan yang memiliki eskalasi besar, tentu kepolisian perlu melakukan operasi penegakan hukum. Demikian juga dengan operasi Damai Cartenz di Papua. Problemnya adalah apakah operasi tersebut memberi dampak bagi keamanan di Papua?" kata Bambang kepada reporter Tirto, Rabu (10/1/2024).

Bambang menilai, perlu kajian spesifik dan mendalam soal model operasi atau strategi efektif dalam menjaga keamanan di Papua. Akan tetapi, mengacu pada situasi di Papua, ia yakin operasi penegakan hukum masih penting dilakukan.

“Hanya saja ke depan, strategi operasi itu ke depan harus semakin diperkecil seiring dengan perkembangan pemekaran satuan-satuan wilayah polda-polda di Papua, Papua Barat dan rencana Papua Tengah,” kata Bambang.

Bambang mendorong pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh tentang keberadaan Satgas Damai Cartenz. Ia beralasan, tidak sedikit jumlah korban sipil maupun korban personel dalam pelaksanaan operasi.

Oleh karena itu, apakah model operasi perlu diubah atau tidak perlu dikaji oleh pemerintah. Ia mencontohkan apa mungkin operasi berubah dari penegakan hukum menjadi pendekatan penegakan kedaulatan agar operasi berjalan efektif.

Ia menilai, presiden perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi penanganan konflik Papua. Menurut dia, perlu ada upaya evaluasi perubahan operasi di lapangan sehingga harus memperhatikan pula keselamatan personel TNI-Polri yang bertugas.

“Apakah masih efektif atau tidak, tentunya Kapolri dan Panglima TNI bisa membicarakannya dengan lebih konkret. Apakah akan ditingkatkan dengan isu separatisme dan kedaulatan, presiden tentunya bisa memberi arahan dan Keputusan,” kata dia.

Bambang menambahkan, “Karena bila tidak diputuskan oleh presiden, pasti akan ada ewuh pakewuh antara Polri dengan TNI. Selain itu, pasti akan memunculkan sorotan internasional. Makanya peran presiden di sini penting untuk memutuskan.”

Selain itu, kata Bambang, harus ada kajian juga apakah ada jaminan operasi militer yang dilakukan TNI dapat menyelesaikan masalah keamanan di Papua. “Makanya perlu strategi atau pendekatan baru dalam menuntaskan masalah KKB di Papua,” tutur Bambang.

Sementara itu, Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, meminta Kapolri Sigit mengevaluasi terlebih dahulu pelaksanaan Satgas Damai Cartenz sebagaimana hasil kajian Koalisi Masyarakat Sipil.

Dalam laporan koalisi, mereka menemukan fakta ada 3.869 orang sipil Papua yang menjadi pengungsi baik di Kabupaten Puncak, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahokimo akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri vs TPN-PB serta di Kabupaten Fak-fak pasca pembunuhan seorang kepala distrik pada 2023.

“Terlepas dari itu, di Kabupaten Yahokimo ada dua orang perempuan pengungsi yang menjadi korban kekerasan seksual dan pembunuhan yang sampai saat ini polisi belum temukan siapa pelakunya. Sementara itu, di Kabupaten Puncak ada seorang ibu menjadi korban mutilasi namun belum mendapatkan keadilan akibat tidak diproses hukum oleh pihak kepolisian setempat. Kedua kasus tersebut telah dilaporkan ke Komnas HAM RI Perwakilan Papua, sebab kedua kasus diduga sebagai kejahatan terhapat kemanusiaan yang adalah pelanggaran HAM berat,” kata Gobay kepada Tirto, Rabu (10/1/2024).

Selain itu, Gobay menuturkan ada beberapa fasilitas milik masyarakat sipil yang ditempati oleh aparat keamanan yang menjalankan operasi Satgas Damai Cartens yang sampai saat ini belum dikembalikan kepada masyarakat sipil.

Sementara itu, kata dia, nasib 3.869 orang pengungsi tidak mendapatkan pemenuhan hak ekosob baik tempat tinggal, makanan, kesehatan dan lain sebagainya yang memadai sehingga ada beberapa bayi yang dikabarkan meninggal dunia di posko pengungsian.

“Berdasarkan fakta di atas sudah dapat disimpulkan bahwa selama operasi Cartens Damai pada 2023 di tanah Papua telah mencatat dugaan pelanggaran HAM. Dengan demikian, jika diteruskan tanpa evaluasi yang menyeluruh tentunya dalam operasi Cartens Damai di 2024 akan meningkatkan jumlah kasus dugaan pelanggaran HAM,” kata Gobay.

Oleh karena itu, Gobay mempersoalkan urgensi Satgas Damai Cartens untuk melakukan operasi pengakan hukum demi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sipil ataukah operasi tempur untuk menyerang TPN PB.

Hal itu, kata Gobay, berdasarkan fakta dugaan pelanggaran HAM melalui kasus 3.869 orang pengungsi di 2023, tidak adanya keadilan bagi dua orang perempuan pengungsi korban kekerasan seksual dan pembunuhan di Kabupaten Yahokimo, tidak adanya keadikan bagi seorang perempuan korban multilasi di Kabupaten Puncak yang diberikan melalui penegakan hukum mengunakan sistem peradilan pidana di Papua.

Gobay juga menilai beragam masalah yang muncul akibat konflik TNI-Polri vS TPN PB yang tidak ditangani oleh Palang Merah Indonesia, bahkan oleh pemerinta pusat dan daerah. Ia juga melihat tidak adanya jaminan pemenuhan hak atas keadilan bagi masyarakat sipil Papua yang menjadi korban di daerah konflik bersenjata dan meningkatnya jumlah kasus tewasnya anggota TNI-Polri dan TPN-PB.

Hal itu menunjukan bukti bahwa keberadaan Satgas Damai Cartens di Papua, kata Gobay, justru melahirkan persoalan baru baik di masyarakat sipil Papua maupun juga anggota TNI-Polri dan TPN PB yang terus menjadi korban.

“Semestinya persoalan politik Papua dan Indonesia ini diselesaikan mengunakan mekanisme penyelesaian konflik politik sebagaimana yang dipraktekkan pemerintah pusat dalam kasus konflik politik antara Aceh dan Pemerintah Indonesia melalui perundingan atau kasus politik antara Fretelin dengan pemerintah pusat melalui referendum, bukan menyelesaikan konflik politik dengan jalan operasi Damai Cartens yang melahirkan konflik bersenjata yang mengorbankan masyarakat sipil Papua,” kata Gobay.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz