Menuju konten utama
Debat Perdana Capres-Cawapres

Beda Solusi Prabowo, Ganjar & Anies soal Papua saat Debat Capres

Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo menawarkan solusi berbeda dalam penanganan masalah Papua. Konsep siapa yang paling efektif?

Beda Solusi Prabowo, Ganjar & Anies soal Papua saat Debat Capres
Suasana debat perdana calon presiden dan wakil presiden RI di Halaman gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (12/12/2023). Debat capres perdana dengan tema "Hukum, HAM, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi" berlangsung selama 120 menit. Terdapat 6 segmen dan 18 pertanyaan pada debat nanti. (Tirto.id/Muhammad Zaenuddin)

tirto.id - Debat perdana calon presiden (capres) Pemilu 2024 telah digelar, Selasa (12/12/2023) malam. Debat yang berlangsung di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, itu berlangsung cukup interaktif dan diwarnai pendapat saling ‘serang’ para kontestan. Salah satu topik debat yang menyita sorotan adalah soal Hak Asasi Manusia (HAM), salah satunya mengenai permasalahan berulang di Papua.

Permasalahan HAM di Papua sejatinya merupakan porsi pertanyaan yang diarahkan untuk calon nomor urut dua, Prabowo Subianto. Calon nomor urut satu, Anies Rasyid Baswedan, dan calon nomor urut tiga, Ganjar Pranowo, kebagian menanggapi jawaban dari Prabowo.

Prabowo menilai persoalan di Papua disebabkan adanya gerakan separatisme dan campur tangan asing yang mencoba memecah persatuan Indonesia. Untuk itu, dia menawarkan solusi untuk menegakan hukum dan membenahi urusan ekonomi di Papua.

“Jadi rencana saya pertama adalah tentunya menegakkan hukum, memperkuat aparat-aparat di situ dan juga mempercepat pembangunan ekonomi,” kata Prabowo ketika memaparkan solusi untuk Papua.

Tak luput, Prabowo juga menyebut bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan presiden yang paling sering melawat ke Papua. Ia mengklaim bahwa pemerintahan Jokowi berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan pesat.

“Paling tinggi selama sejarah Republik Indonesia, yang terbaik untuk rakyat Papua (dan) melindungi wilayah Papua,” ujar Prabowo.

Ganjar Pranowo menanggapi pertanyaan Prabowo dengan sebuah pertanyaan singkat. Dia menilai seharusnya apa yang terjadi di Papua perlu diselesaikan dengan jalan dialog.

“Seluruh kelompok yang ada di sana, bisa duduk bersama untuk menyelesaikan itu menurut saya. Masalahnya, pertanyaan saya, apakah Bapak (Prabowo) setuju dengan model dialog yang saya tawarkan itu?” ucap Ganjar.

Di sisi lain, Anies Baswedan berpendapat bahwa yang terjadi di Papua bukan semata-mata soal kekerasan. Keadilan di Tanah Papua, kata dia, merupakan masalah utama yang harus diselesaikan dulu.

“Tujuannya bukan semata-mata tentang meniadakan kekerasan. Karena damai itu bukan tiada kekerasan, damai itu ada keadilan itu prinsip utamanya,” kata Anies.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menawarkan beberapa solusi untuk menjawab masalah di Papua. Anies ingin pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dilakukan tindakan penyelesaian hingga tuntas.

Selain itu, untuk mencegah terjadinya pengulangan masalah, harus dipastikan semua yang bekerja untuk persoalan Papua memahami yang harus dihadirkan adalah keadilan. Terakhir, perlu melakukan dialog dengan semua pihak di Papua secara partisipatif.

Prabowo merespons tanggapan dari Anies dan Ganjar dengan persetujuan. Kendati demikian, kepada Anies dia berujar bahwa persoalan di Papua tidak sesederhana yang dikira.

“Saya mau katakan tidak sesederhana itu, Pak Anies. Ada faktor-faktor lain, Pak Anies. Ada faktor geopolitik, ada faktor ideologi, inilah yang masalahnya tidak gampang,” tanggap Prabowo.

“Ini masalah bangsa, semua kekuatan harus kita rangkul,” tambah dia.

Mencari Akar Masalah

Peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang fokus pada isu konflik dan permasalahan di Papua, Cahyo Pamungkas, menyampaikan pelanggaran HAM memang menjadi akar masalah konflik di Papua. Menurut Cahyo, banyak dimensi yang saling terkait dan pada akhirnya membentuk ekosistem konflik kekerasan yang berulang di Papua. Cahyo mengejawantahkan hal tersebut dengan istilah ‘industri konflik.’

“Seperti akuntabilitas aparat keamanan yang rendah, pengamanan eksploitasi sumber daya alam, orientasi pada state security daripada human security, cara pandang yang rasis, dan nasionalisme yang sempit,” jelas Cahyo kepada reporter Tirto, Selasa malam.

Cahyo menilai, pendekatan yang ditawarkan Prabowo sudah dilakukan pada pemerintahan Jokowi. Cara-cara tersebut, yakni menggunakan penegakan hukum dan pendekatan ekonomi, sudah terbukti gagal menyelesaikan masalah di Papua.

“Kalau menurut analisisis kami, Ganjar dan Anies memiliki respons yang positif soal penyelesaian masalah Papua, yang satu setuju dengan dialog dan yang lain memberikan rasa keadilan,” terang Cahyo.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – sebutan BRIN sebelumnya – sebetulnya sudah memetakan empat akar konflik di Papua. Melalui kajian Papua Road Map pada 2009, peneliti LIPI menemukan empat akar masalah di Papua.

Keempat hal tersebut meliputi, perbedaan perspektif sejarah dan status politik, kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, kegagalan pembangunan, dan diskriminasi terhadap orang asli Papua.

Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, menyatakan solusi bagi masalah di Papua perlu dilakukan dengan mendorong diwujudkannya pendekatan politik melalui dialog. Dia menyadari, dialog memang bukan solusi akhir, namun merupakan jalan untuk mencari penyelesaian berbagai masalah di Papua yang kompleks melalui jalan non-kekerasan.

“Dan mengubah pendekatan dari Jakarta sentris yang top-down menjadi bottom-up dan berbasis pada kebutuhan orang Papua,” kata Gufron dihubungi reporter Tirto, Selasa (12/12/2023) malam.

Sebab itu, Gufron menilai solusi yang ditawarkan Ganjar dan Anies sebagai tawaran progresif. Sementara jawaban Prabowo, dinilai Gufron masih mencerminkan solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini.

“Secara umum, jika dilihat dari jawaban masing-masing paslon, jawaban GP (Ganjar Pranowo) lebih progresif, dan disusul yang kedua Anies. Sedangkan Prabowo, lebih mencerminkan perspektif Jakarta (pemerintah) hari ini dalam mengatasi persoalan Papua,” jelas Gufron.

Belum Menyentuh Akar Masalah

Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, menilai tidak ada satupun capres yang menyentuh secara holistik akar permasalahan di Papua. Ijul, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa persoalan Papua lahir karena pendekatan metode militeristik yang terasa laiknya instrumen penjajahan.

“Sudah sewajarnya ketika (laiknya) dijajah, hal ini menimbulkan ketidakadilan, ini maksudnya Anies. Kalau pendekatan Prabowo, absurd imajiner. Campur tangan asing segala macam, pasti yang akan dilakukan sekuritisasi pendekatan melalui pertahanan,” kata Ijul kepada reporter Tirto, Selasa malam.

Ia juga menilai solusi dialogis yang ditawarkan Ganjar masih mengawang-awang. Bagaimana dialog dilangsungkan, jika pendekatan bersenjata dalam menangani permasalahan masih terus dilakukan.

“Bukan soal dialog apa enggak dialog-nya. Tarik mundur dulu semua aparat keamanan di Papua, bangun infrastruktur pembangunan yang layak, bukan sekadar fisik ya. Tapi betul-betul sandang-pangan seperti di Jakarta, maka kita bisa dialog,” tutur Ijul.

Kasus kesewenang-wenangan aparat keamanan tercatat kerap terjadi di Papua. Amnesty International Indonesia mencatat, selama Januari 2018 hingga Mei 2023, ada 114 individu yang meregang nyawa akibat kekerasan aparat di sana. Penegak hukum juga diduga terlibat dalam perlakuan tidak manusiawi di berbagai wilayah lainnya.

Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian, mengapresiasi dibahasnya permasalahan HAM di Papua dalam debat capres. Dia menilai Papua sebagai sebuah episentrum kekerasan yang terus terjadi di Indonesia.

“Artinya, di Papua selalu terjadi angka kekerasan yang tertinggi,” kata Rozy kepada reporter Tirto, Selasa malam.

Rozy menyayangkan jawaban Prabowo yang dinilai justru dapat melanggengkan kekerasan. Ia menilai pendekatan yang ditawarkan Prabowo membuat permasalahan di Papua terus terjadi.

“Seharusnya dia (Prabowo) sebagai presiden jika terpilih, menawarkan solusi nirkekerasan dan humanis, bukan keamanan,” ujar dia.

Rozy juga menyoroti bahwa LIPI pada 2009 sudah memaparkan hasil riset akar permasalahan konflik di Papua. Seharusnya, kata dia, para paslon lebih riset lagi untuk menjawab persoalan HAM di Papua.

“Bukan hanya sebatas retorika, mengaburkan fakta kekerasan dan konflik di Papua,” terang Rozy.

Ia menilai jalan penyelesaian melalui dialog yang ditawarkan Ganjar perlu lebih dielaborasi. Presiden seharusnya bisa ajak akademisi, gereja, masyarakat sipil, hingga masyarakat adat untuk berdialog secara solutif dalam menyelesaikan persoalan Papua.

Selain itu, perlu diketahui bahwa indeks pembangunan manusia di Papua masih merosot. Kualitas hidup orang asli Papua harus diupayakan dengan pemerataan dan kemudahan pendidikan, layanan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi berbasiskan kebudayaan lokal.

“Ada multi-aspek permasalahan di Papua. Sehingga solusi yang ditawarkan juga harus lebih multidimensi,” ujar Rozy.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz