Menuju konten utama
Hari HAM 10 Desember

Hari HAM Sedunia 2023: Pemenuhan HAM Jangan Sekadar Formalitas

Momen Pemilu 2024 dapat menjadi salah satu upaya agar pemenuhan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM dapat digalakkan.

Hari HAM Sedunia 2023: Pemenuhan HAM Jangan Sekadar Formalitas
Seniman pantomim Wanggi Hoed (kanan) bersama aktivis mengikuti aksi kamisan di Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/9/2023). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/tom.

tirto.id - Memperingati hari HAM sedunia yang jatuh pada hari ini, 10 Desember 2023, pemerintah diminta untuk mengupayakan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah menumpuk dalam pemenuhan HAM di Indonesia.

Kasus pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan terhadap warga oleh aparat keamanan, konflik agraria, kriminalisasi aktivis HAM, hingga pembatasan kebebasan berekspresi, merupakan persoalan yang masih ditemui. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu juga perlu terus dipantau kelanjutannya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) mencatat pada Desember 2021-November 2022, setidaknya telah terjadi sebanyak 152 kasus pelanggaran, pelarangan, dan pembatasan kebebasan berekspresi.

Lebih spesifik, bentuk pelanggaran tersebut didominasi oleh pembubaran paksa terhadap demonstrasi sebanyak 57 peristiwa, penangkapan sewenang-wenang 42 peristiwa dan penganiayaan dengan 33 peristiwa. Ragam peristiwa yang telah terjadi tersebut mengakibatkan 291 jiwa luka-luka, 3 orang tewas dan 846 lainnya ditangkap.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andi Muhammad Rezaldy menyampaikan, masih banyak hal terkait persoalan hak asasi manusia yang belum selesai hingga saat ini. Selain kasus pelanggaran berat HAM, kata dia, ancaman kebebasan sipil dalam bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi kian merebak.

“Warga mengalami represi hingga kriminalisasi. Padahal menyampaikan aspirasi merupakan tindakan yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang,” kata Andi dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/12/2023).

Andi menilai, penyelesaian dan penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia di pemerintah saat ini masih sangat buruk. Pemerintah dinilai tidak mampu menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM secara tuntas dan berkeadilan bagi korban.

“Tidak hanya terkait dengan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, tetapi juga kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di era pemerintahan Jokowi, tragedi Kanjuruhan misalnya,” ujar Andi.

Jangan Sekadar Diperbincangkan

Pemenuhan dan penyelesaian HAM, tidak bisa sebatas menjalankan agenda-agenda formalitas atau hanya diperbincangkan di tataran wacana. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri.

Gufron menilai, pemerintah saat ini cenderung menjalankan agenda HAM dengan selektif. Pemerintah lebih fokus pada isu-isu HAM ringan, sementara yang telah mengemuka dan mendesak, cenderung dihindari mengingat adanya risiko politik kekuasaan.

“Selama ini kemajuan HAM cenderung di aspek jaminan normatif, mulai dari konstitusi, UU HAM, dan ratifikasi instrumen internasional. Tapi dalam implementasi masih terjadi banyak masalah,” kata Gufron kepada reporter Tirto, Jumat (8/12/2023).

Dia menilai, pemerintah masih punya pekerjaan rumah dalam penguatan jaminan dan perlindungan kebebasan berekspresi serta penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini menjadi amanat Reformasi 1998 yang harus dituntaskan, khususnya pemenuhan keadilan bagi korban.

“Pemerintah harus mendorong jalan hukum (yudisial) terhadap pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu,” tegas Gufron.

AKSI KAMISAN KE-610

Pegiat mengikuti aksi kamisan ke-610 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (14/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.

Seperti diketahui, Komnas HAM sudah menetapkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Peristiwa tersebut mencakup kejadian 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985; Talangsari, Lampung, 1989; Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh, 1989; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti; dan Semanggi I-II 1998-1999.

Selain itu, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; Simpang KKA, Aceh, 1999; Wasior, Papua, 2001-2002; Wamena, Papua 2003; dan Jambo Keupok, Aceh, 2003.

Atas temuan ini, Pemerintah Presiden Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Salah satu rekomendasi tim tersebut, mempercepat realisasi pemulihan dan pemenuhan hak korban. Pemerintah juga memberikan hak ekonomi, kesehatan, dan pendidikan bagi korban.

Di sisi lain, penyelesaian kasus-kasus di atas secara non-yudisial dinilai belum memenuhi rasa keadilan bagi korban. Misalnya, dalam peristiwa 1965-1966, pemerintah hanya dimandatkan mengungkap latar belakang kejahatan HAM dan korbannya. Namun, tidak mengidentifikasi pelaku di balik peristiwa, baik state actor dalam struktur rantai komando maupun aktor perseorangan (individual actor).

Tugas Pemerintahan Mendatang

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena menyatakan, hak asasi manusia (HAM) harus menjadi pilar utama dalam kehidupan bernegara. Para pengemban amanat, seperti aparat penegak hukum, harus mengupayakan pemenuhan hak asasi lebih dari sekedar janji. Pasalnya, Amnesty mencatat, aparat penegak hukum seperti kepolisian memiliki rekam jejak buruk dalam beberapa tahun terakhir.

“Nyatanya di Indonesia, proyek pembangunan, terkhusus proyek strategis nasional, selalu lekat dengan kekerasan aparat. Ada apa? Apakah demi pembangunan, keselamatan warga--termasuk anak-anak--dapat dikorbankan?,” kata Wirya dalam keterangannya, Jumat (8/12/2023).

Kasus bentrokan di Rempang, Kepulauan Riau, merupakan salah satu bukti teranyar di mana aparat keamanan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan dipertontonkan dengan tembakan meriam air dan gas air mata saat aksi massa.

“Bahkan ke arah pintu dua sekolah, menyebabkan setidaknya 25 siswa harus dibawa ke rumah sakit,” ujar Wirya.

Kasus kesewenang-wenangan aparat keamanan juga dinilai kerap terjadi di Tanah Papua. Amnesty mencatat, selama Januari 2018 hingga Mei 2023, ada 114 individu yang meregang nyawa akibat kekerasan aparat di sana. Penegak hukum juga terlibat dalam perlakuan tidak manusiawi di berbagai wilayah lainnya.

Amnesty mendokumentasikan setidaknya 171 korban dengan terduga pelaku aparat keamanan di 38 provinsi selama periode Juni 2019-Juni 2023. Sumatra Utara, Papua Selatan dan Sulawesi Selatan, menjadi tiga besar provinsi dengan kasus perlakuan tidak manusiawi terbanyak di negara ini.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai, momen Pemilu 2024 dapat menjadi salah satu upaya agar pemenuhan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM dapat digalakkan. Bivitri mendesak para kontestan Pemilu dapat bertemu dengan para korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Ketemu langsung dengan mereka dan kemudian bikin kontrak politik dengan mereka. Jadi enggak cuma jadi janji kosong,” kata Bivitri kepada reporter Tirto, Jumat.

Ia menilai para calon pemerintah selanjutnya ini harus memberikan kontrak politik yang berpihak kepada korban. Lebih lanjut, mereka perlu memberikan peta jalan agar penyelesaian dan penanganan pelanggaran HAM dapat dituntaskan hingga ke akar.

“Ada 12 pelanggaran HAM berat (masa lalu) yang disebutkan oleh Perpres saja masih PR semuanya. Itu saja dulu deh paling tidak, walaupun setelah itu masih ada seperti peristiwa Kanjuruhan, kan sampai sekarang juga enggak jelas (penyelesaiannya),” ujar Bivitri.

“Kita semua tahu ada persoalan yang lebih mendasar, ada yang belum dibongkar secara sistematis,” tambah dia.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta pandangan pemerintah ihwal pemenuhan dan penanganan HAM di era Presiden Jokowi, lewat Stafsus Mensesneg Faldo Maldini dan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodawardhani. Namun, hingga berita ini ditulis, permintaan konfirmasi yang dilayangkan ke nomor ponsel mereka tidak mendapatkan respons.

Sementara itu, Koordinator Stafsus Presiden, Ari Dwipayana meminta Tirto lebih baik menanyakan persoalan ini ke Menkopolhukam dan Kemenkumham.

“Bisa ditanyakan ke Menkopolhukam dan Menkumham yng memang punya tugas dan kewenangan soal yang ditanyakan ya,” ujar Ari dihubungi, Sabtu (9/12/2023).

PERKENALAN ANGGOTA KOMNAS HAM PERIODE 2022-2027

Ketua Komnas HAM Atnike Sigiro (kiri) memberikan keterangan dalam konferensi pers perkenalan anggota Komnas HAM Periode 2022-2027 di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (14/11/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU

Setali tiga uang, permintaan konfirmasi yang dilayangkan ke nomor pribadi Menkopolhukam Mahfud MD dan Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham Hantor Situmorang, juga tidak mendapatkan respons.

Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa peringatan ke-75 Hari HAM Sedunia pada 10 Desember ini merupakan momentum refleksi pemenuhan HAM dalam peradaban dunia.

Bagi Indonesia, kata Atnike, peringatan Hari HAM Sedunia tahun ini sekaligus merayakan momen Indonesia yang kembali terpilih menjadi anggota Dewan HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menurutnya, amanat tersebut merupakan sebuah kehormatan, sekaligus tanggung jawab besar bagi negara.

“Kita jadikan momentum refleksi, sejauh mana setelah hak asasi menjadi peradaban dunia, kehidupan bangsa-bangsa di dunia itu telah menjadi lebih setara, tidak hanya setara secara identitas, tetapi juga setara dalam hal kesejahteraan, kesempatan, dalam konteks inklusivitasnya,” ucap Atnike, dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait HARI HAM 2023 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri