tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali menegaskan komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus HAM berat. Jokowi menyebut, pemerintah akan berupaya menyelesaikan, menuntaskan, dan memberikan keadilan dalam penyelesaian HAM berat tidak hanya kepada korban, tapi juga terduga pelaku.
“Pemerintah berkomitmen untuk menegakkan, menuntaskan dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku HAM berat," kata Jokowi pada perayaan Hari HAM Internasional dari Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Pemerintah, kata Jokowi, telah membuktikan dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan umum peristiwa pelanggaran HAM berat, salah satunya adalah kasus Paniai pada 2014. Kejaksaan Agung melakukan penyidikan umum demi menjamin dan mewujudkan prinsip berkeadilan dan kepastian hukum.
Di saat yang sama, Jokowi memastikan pemerintah akan memberikan jaminan hak politik dan hukum kepada masyarakat. Ia pun memastikan pemerintah akan menjaga hak dan kedudukan masyarakat setara dalam politik. Selain itu, semua warga Indonesia layak mendapat perlindungan tanpa perbedaan.
“Semua warga negara memiliki hak dan kedudukan yang setara dalam politik dan hukum, semua warga negara berhak mendapatkan perlindungan yang sama dari negara tanpa membeda-bedakan suku agama gender atau pun ras, semua warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang setara dalam mendapatkan pelayanan dari negara dan berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak," kata Jokowi.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengapresiasi langkah pemerintah yang berupaya mencari solusi penyelesaian kasus HAM berat berbasis korban. Ia pun mengapresiasi langkah Jaksa Agung yang membuat tim penyidik umum daam kasus Paniai sesuai Komnas HAM.
"Keputusan Jaksa Agung untuk membentuk tim penyidik bagi kasus Paniai Papua berdasarkan rekomendasi Komnas HAM adalah suatu langkah maju yang mesti diapresiasi. Namun kita perlu bersama memastikan proses peradilan yang transparan dan bermartabat," kata Taufan di Istana Negara, Jakarta, Jumat.
Taufan pun berharap, pemerintah bisa segera mengeluarkan kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.
“Kami juga mengharapkan suatu kebijakan dari Bapak Presiden Republik Indonesia untuk membentuk satu komite atau sejenis untuk menangani penyelesaian non yudisial kasus-kasus HAM berat tertentu yang dimungkinkan dengan menggunakan mekanisme tersebut," kata Taufan.
Sebagai catatan, setidaknya ada 15 kasus yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dari 15 kasus, 3 kasus sudah diproses hukum, yakni 1 kasus selesai sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yakni kasus Tanjung Priok (1984). Lalu dua kasus setelah undang-undang terbit adalah kasus Timor Timur (1999) dan kasus Abepura (2000).
Sementara itu, sisanya masih belum ada penyelesaian. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yakni Peristiwa 1965, Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, kasus dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Sementara itu, empat kasus lainnya yang terjadi setelah terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Pemerintah pun sudah mengambil inisiatif untuk menyelesaikan dugaan kasus HAM berat Paniai lewat langkah Jaksa Agung ST Burhanuddin membentuk tim penyidik umum pelanggaran HAM. Tim yang langsung dipimpin Jampidsus Ali Mukartono itu kini tengah melakukan penyidikan umum perkara Paniai.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz