Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Kontroversi Wacana Pemakzulan Jokowi yang Layu sebelum Mekar

Peneliti PSHK menilai ada beberapa faktor yang membuat usulan pemakzulan Presiden Jokowi kali ini akan berat untuk dilakukan.

Kontroversi Wacana Pemakzulan Jokowi yang Layu sebelum Mekar
Presiden Joko Widodo memberikan arahan pada rapat konsolidasi nasional kesiapan Pemilu 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (30/12/2023). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz

tirto.id - Jalannya kontestasi Pemilu 2024 membawa harapan dan kekecewaan bagi sejumlah kalangan. Proses pemilu kali ini diwarnai dengan berbagai polemik dan dugaan konflik kepentingan. Kecurigaan adanya ‘cawe-cawe’ di lingkar kekuasaan, membuat masyarakat sipil melayangkan kritik tajam yang menyasar langsung ke jantung Istana.

Sejumlah warga sipil yang mengatasnamakan gerakan Petisi 100, bahkan mengusulkan pemakzulan (impeachment) Joko Widodo atau Jokowi dari kursi presiden. Hal ini kembali mereka sampaikan ketika bertemu dengan Menkopolhukam, Mahfud MD, di kantornya pada Selasa (9/1/2024).

Perwakilan Petisi 100, Faizal Assegaf, menyatakan usulan ini diklaim sebagai solusi tepat untuk mencegah kecurangan dalam Pemilu 2024. Mereka sengaja melapor ke Desk Pemilu Kemenko Polhukam karena merasa dugaan kecurangan-kecurangan yang terjadi selama ini tidak ditindaklanjuti otoritas terkait.

Mahfud MD membenarkan bahwa dirinya menerima aspirasi berupa pemakzulan yang disampaikan gerakan Petisi 100. Namun, dia menilai bahwa usulan tersebut kurang tepat disampaikan kepada dirinya.

“Saya bilang kalau urusan pemakzulan itu sudah didengar orang, mereka sampaikan di beberapa kesempatan, dan itu urusan parpol dan DPR, bukan Menko Polhukam,” kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa (9/1/2024).

Mahfud menjelaskan, pemakzulan presiden baru bisa diproses melalui sidang pleno jika sepertiga anggota dewan mengusulkannya. Usulan tersebut juga baru bisa dipenuhi jika dua pertiga anggota dewan menghadiri sidang pleno dan menyetujuinya.

Karena itu, Mahfud menilai, wacana tersebut sulit terealisasi saat ini karena memerlukan proses dan waktu yang cukup panjang. “Itu enggak bakalan selesai setahun kalau situasinya begini, enggak bakal selesai sampai pemilu selesai,” ujar Mahfud.

Presiden letakkan batu pertama kampus II UMP

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada acara peletakan batu pertama pembangunan kampus II Universitas Muhammadiyah Purwokerto di Kabupaten Banyumas, Jateng, Rabu (3/1/2024). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/rwa.

Usulan dan desakan pemakzulan yang menyasar Presiden Jokowi memang bukan baru kali ini terjadi. Di periode pertama pemerintahan Jokowi, wacana ini juga pernah membuat heboh pascademonstrasi 4 November 2016.

Memasuki periode kedua, wacana pemakzulan sempat kembali berdengung dari sel-sel oposan. Tajuk ‘Jokowi End Game’ sempat santer didendangkan dan diwarnai aksi demonstrasi. Kala itu, di ruang media sosial juga berhamburan petisi dan tagar yang ingin melengserkan kekuasaan Presiden Jokowi.

Sementara itu, hembusan usul pemakzulan dalam konteks pemilu saat ini dapat ditarik ke dugaan konflik kepentingan Jokowi yang membiarkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden (cawapres). Gibran dapat melenggang setelah MK, yang saat itu dipimpin pamanya, Anwar Usman, mengetok putusan MK Nomor 90/2023 soal syarat batas usia capres-cawapres.

Majelis Kehormatan MK (MKMK) menyatakan bahwa putusan Nomor 90/2023 tersebut melanggar etik berat dalam prosesnya. Anwar Usman akhirnya dilengserkan dari jabatannya sebagai Ketua MK.

Pemakzulan sendiri memang pernah mewarnai pergantian kekuasaan di Indonesia. Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan pemimpin yang turun takhta akibat dimakzulkan. Adapun pengaturan secara rinci mengenai pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden baru dirincikan setelah Amandemen UUD 1945.

Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai wacana pemakzulan Jokowi kali ini merupakan isu kesekian kali yang tidak pernah serius dieksekusi. Pria yang akrab disapa Castro itu menyatakan bahwa syarat pemakzulan diatur dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD.

“Pemakzulan itu bisa dilakukan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden,” kata Castro kepada reporter Tirto, Rabu (10/1/2024).

Proses pemakzulan di Indonesia melibatkan tiga lembaga tinggi negara, yaitu DPR RI, MK, dan MPR. Menurut Castro, setelah beres dibahas oleh DPR, usulan pemakzulan itu harus terlebih dahulu dibawa ke MK untuk diuji.

“Saya sih setuju kalau isu ini diseriusi oleh DPR, minimal menggambarkan kalau fungsi pengawasan DPR memang berjalan. Minimal menggunakan hak angket terlebih dahulu yang secara teknis masih memungkingkan,” ujar Castro.

Memungkinkan Dilakukan?

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, pesimistis wacana pemakzulan Jokowi di tengah proses pemilu saat ini dapat terealisasi. Menurut Vio, sapaan akrabnya, ada beberapa faktor yang membuat usulan pemakzulan kali ini akan berat untuk dilakukan.

“Dari segi alasan, turut campur dalam pemilu mesti diperdalam lagi, bagian apa yang dapat membuktikan terjadinya pelanggaran hukum atau perbuatan tercela,” kata Vio kepada reporter Tirto, Rabu (10/1/2024).

Dari segi proses politik, kata dia, memproses usulan ini akan menjadi kurang strategis bagi partai politik di parlemen. Sebab, Januari sampai Oktober 2024, kemungkinan besar parpol masih fokus ke agenda pemilu, seperti sibuk kampanye, fokus mengawasi proses pencoblosan, hingga penyelesaian sengketa pemilu.

“Parpol di DPR pun perlu melakukan konsolidasi untuk memenuhi syarat dukungan minimal 2/3 anggota DPR, hal ini membutuhkan proses yang panjang juga,” sebut Vio.

Vio menjelaskan, usulan pemakzulan didahului dengan pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Dia pesimistis proses tersebut dapat dilakukan karena memerlukan jumlah 2/3 anggota DPR untuk bergabung agar bisa mengajukan hal ini.

“Oposisi di DPR hanya PKS dan Demokrat, itu pun Demokrat mendukung paslon (nomor urut) 2 yang di-endorse oleh Presiden Jokowi,” ucap Vio.

Di sisi lain, MK juga memiliki batasan waktu dalam melakukan penyelesaian sengketa pemilu. Dari segi waktu juga tidak memungkinkan untuk melakukan pemakzulan, sebab pada Oktober 2024 estafet kekuasaan sudah berganti.

“Terhitung sisa ada 10 bulan, berarti proses di DPR harus diselesaikan kurang dari 6 bulan, sebab proses di MK sudah memakan waktu maksimal 3 bulan dan di MPR satu bulan,” ujar Vio.

Vio menilai, strategi lain yang bisa dilakukan untuk mencegah kecurangan pemilu semakin masif adalah mengajukan laporan pelanggaran ke Bawaslu. Kendati lembaga tersebut tidak cukup optimal, kata dia, upaya hukum harus tetap dilewati jika ada bukti-bukti yang cukup. Termasuk fungsi pengawasan DPR dan DPD yang harus tetap fokus mengawal kinerja pemerintah.

“Atau jika ada maladministrasi laporan ke Ombudsman, jika ada dugaan korupsi ke KPK,” ujar Vio.

Sementara itu, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menegaskan bahwa pemakzulan bukan sebuah upaya kudeta. Pemerintah tidak perlu berlebihan atau antikritik karena usulan ini difasilitasi oleh konstitusi.

“Kan sudah pernah diajukan, tapi jalan di tempat. Sepanjang partai (di DPR) mengajukan disertai alasan tertulis dan memenuhi syarat tentu boleh karena itu mekanisme konstitusional yang diatur UUD 1945,” kata Feri kepada reporter Tirto, Rabu (10/1/2024).

Dia menilai bahwa pemakzulan secara hukum itu sah dan konstitusional. Merespons wacana ini dengan berlebihan, apalagi disertai sikap represif, hanya semakin membuktikan pembangkangan konstitusi yang dilakukan pemerintah.

“Malah kalau pemerintah lebay, ya makin melanggar konstitusi mereka. Hadapi dengan jiwa besar saja,” tambah Feri.

Dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, menilai belum ada alasan kuat memakzulkan Presiden Jokowi. Dia menyatakan bahkan menurut sigi survei kepuasan masyarakat pada presiden masih tergolong tinggi.

“Negara kita masih berjalan dengan normal,” kata Yandri kepada reporter Tirto.

Yandri menilai lebih baik mengikuti proses pemilu yang saat ini berjalan untuk memilih pemimpin baru negeri ini. Pemilu dapat mengakomodir terpilihnya pemimpin baru dari suara masyarakat.

“Ikuti saja proses pemilu biar rakyat yang menentukan,” ujar dia.

Artinya, jika melihat prosedur yang tersedia dan waktu yang hanya sedikit, maka dapat dipastikan wacana pemakzulan Jokowi akan layu sebelum mekar, seperti yang terjadi sebelumnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz