Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Ingatan Kelam Orba & Upaya Mengerek Suara via Video AI Soeharto

Peneliti politik BRIN menilai jika niat pembuatan video personifikasi Soeharto hanya sebagai upaya menarik pemilih, Golkar terlihat sangat putus asa.

Ingatan Kelam Orba & Upaya Mengerek Suara via Video AI Soeharto
Potret besar Presiden Indonesia Soeharto di Lapangan Monumen Nasional, Rabu, 16 Agustus 1995. AP/Mike Fiala

tirto.id - Presiden RI ke-2, Soeharto, hadir dan kembali berbicara pada rakyat jelang Pemilu 2024. Ia mengajak masyarakat memilih Partai Golkar dalam kontestasi pemilu tahun ini. Tak luput menyebut capaian-capaian masa pemerintahannya, seperti pembangunan infrastruktur dan bendungan.

Tidak, mantan Jenderal TNI itu tidak bangkit dari kubur dan kembali berkuasa. Melalui bantuan Artificial Intelligence (AI), calon anggota legislatif (caleg) Dapil DKI Jakarta II dari Partai Golkar, Erwin Aksa, membangkitkan kembali Presiden Soeharto lewat video dengan teknologi deepfake.

Video tersebut menghasilkan mimik wajah dan suara yang sangat mirip dengan persona asli Presiden Soeharto. Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu membagikan video tersebut lewat akun media sosial pribadinya.

“Saya Presiden Soeharto, presiden Indonesia yang kedua, mengajak Anda untuk memilih wakil rakyat dari Golkar yang bisa melanjutken mimpi saya tentang kemajuan Indonesia,” ucap sosok Presiden Soeharto dalam video tersebut, dikutip dari akun X @erwinaksa.id, Kamis (11/1/2024).

Dalam video tersebut, sosok Presiden Soeharto bermimpi soal rakyat yang tidak perlu lagi kelaparan. Menariknya, dalam video itu, Presiden Soeharto juga dibuat membicarakan isu-isu kekinian seperti keamanan siber dan sekolah AI.

“Saya yakin bersama Golkar kita dapat mewujudken mimpi ini,” kata sosok Presiden Soeharto dalam video.

Kepada reporter Tirto, Erwin Aksa membenarkan video tersebut dibuat dengan teknologi AI. Dirinya menyebut kontes AI yang dibuatnya adalah lazim digunakan dalam setiap kontestasi pemilu.

Dia memberikan contoh dengan video mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama yang berbicara selama satu menit dan viral di dunia maya. Ternyata adalah rekayasa yang menggunakan AI.

“Video yang saya buat itu namanya deepfake. Teknologi yang canggih dan keterampilan anak-anak Indonesia dalam AI sudah mampu membuat deepfake,” kata Erwin saat dihubungi Tirto, Rabu (10/1/2024).

Erwin menilai anak muda saat ini banyak yang melupakan sosok mendiang Soeharto. Menurut dia, banyak orang salah persepsi terhadap Soeharto yang selalu dikaitkan dengan hal buruk selama memimpin Indonesia.

Dia juga mengkritik para aktivis yang selama ini memandang buruk Soeharto. Erwin mengingatkan bahwa pascareformasi saat ini tidak selalu lebih baik, dibanding Soeharto saat memimpin Orde Baru.

“Emang apa yang salah sama Orde Baru, apa era reformasi sekarang lebih baik dari Orde Baru?” ucap Erwin mempertanyakan.

Bicara Orde Baru memang bicara sebuah ingatan yang muram dan gamang. Rezim kepemimpinan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun dinilai banyak tokoh sebagai masa kelam demokrasi negeri ini. Pembungkaman pers, penghilangan paksa, tindakan represif, dan militerisasi di level pemerintahan mewarnai masa pemerintahan Soeharto.

Pengamat politik, Salim Said, menggambarkan kepemimpinan Soeharto di masa Orde Baru dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto sebagai kebijakan ‘tangan besi bersarung sutra’.

“Seperti yang sejak awal dipraktikkannya, secara perlahan Soeharto mengontrol negara dan tentara sebagai strategi menguasai Indonesia secara berkesinambungan,” tulis Salam Said.

Jeli Menilik Jejak

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan pemilih perlu bersikap kritis terhadap informasi apa pun terkait pemilu. Terutama, kata dia, menyangkut materi kampanye para kontestan ajang pesta demokrasi lima tahunan ini.

“Dalam hal video AI Soeharto ini, tentu masyarakat harus jeli dan mempelajari bagaimana rekam jejak Soeharto semasa pemerintahannya, bagaimana rekam jejak pemerintahan Soeharto dalam pelbagai pelanggaran HAM,” ujar Usman kepada reporter Tirto, Kamis (11/1/2024).

Usman berpesan, masyarakat terutama pemilih muda, jangan langsung terkesima dengan tampilan Soeharto versi AI yang lebih ditonjolkan sebagai tokoh pembangunan. Pemilih diminta melihat bahwa semasa 32 tahun Orde Baru terjadi banyak pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Mulai dari Tragedi 1965, Tragedi Tanjung Priok 1984, Pembantaian Santa Cruz 1991 hingga Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998,” tutur Usman.

Yang tidak kalah penting, kata dia, justru motivasi dari pengunggah video AI Soeharto. “Mengapa mengangkat terduga pelanggar HAM di dalam materi kampanye?” kata Usman mempertanyakan.

Jika melihat perjalanan Orde Baru, memang bukan berarti tidak ada hal positif pada masa kepemimpinan Soeharto. Dia misalnya, menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan membawa Indonesia bergabung lagi dengan PBB. Kerja sama dengan International Monetary Fund (IMF) juga kembali dijalin, diikuti kebijakan reformasi ekonomi pada April 1966.

Selain itu, pemerintah Soeharto berhasil pula menjadwal ulang pembayaran utang untuk meringankan beban keuangan negara. Undang-Undang investasi baru yang lebih terbuka disahkan pada 1967 untuk menarik masuk modal asing.

Segala perbaikan itu mendatangkan dukungan bagi Soeharto, baik dari kalangan sipil maupun militer. Soeharto dianggap mampu mengemban aspirasi mereka dan membuka jalan bagi tegaknya rezim Orde Baru.

Kendati demikian, mantra stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di era Orde Baru tidak sedikit dinilai bagai sihir yang melenakan. Gegap gempita di awal pemerintahan Soeharto bertransformasi menjadi kekuasaan yang otoriter. Kolusi dan nepotisme mewarnai tonggak-tonggak rezim Orde Baru.

Meminjam istilah esais Bandung Mawardi dalam tulisannya ‘Para Pengisah Soeharto’, presiden kedua RI itu merupakan sosok, “manusia yang fenomenal dan kontroversial.” Soeharto menurut Bandung Mawardi mencipta kepatuhan ideologis dan mengurung rakyat, “dalam bahasa, senyum, dan bedil”.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menyatakan sangat penting bagi pemilih muda untuk memahami dan belajar sejarah politik Indonesia, terutama soal era Orde Baru pemerintahan Soeharto. Paling tidak, kata dia, tujuannya agar tidak terjebak dan mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.

“Serta tidak mudah dimanipulasi oleh elite politik, termasuk dalam kontestasi politik kekuasaan (pemilu),” ungkap Gufron kepada reporter Tirto, Kamis (11/1/2024).

Gufron menambahkan, hal yang perlu dipahami generasi muda dan pemilih pemula adalah soal rekam jejak Orde Baru di masa rezim Soeharto. Menurut dia, saat itu Soeharto didukung oleh militer dan Partai Golkar yang tidak menjalankan prinsip demokrasi.

“Kekuasaan dipegang oleh segelintir orang yaitu keluarga dan kroni-kroninya. Kekerasan politik aparat keamanan juga banyak terjadi. Hal ini yang enggak boleh lagi terjadi di masa depan,” tutur dia.

Gufron menyatakan mengupas rekam jejak kontestan menjadi salah satu jalan cerdas dan bijak dalam menentukan pilihan. Ditambah turut mencermati visi dan misi serta agenda program strategis ke depan.

“Hal ini penting supaya kita, terutama generasi muda, tidak mudah dimanipulasi dan termasuk narasi kampanye manipulatif dari elite politik,” kata Gufron.

Pertemuan Ketum Golkar dengan ketua DPD Golkar

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) berfoto dengan jajaran ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi se-Indonesia saat melakukan pertemuan di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, Minggu (30/7/2023). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz

Mampu Gaet Pemilih?

Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menyatakan video deepfake yang dibuat kader Golkar sebagai bentuk upaya menghidupkan kembali atau membuat asosiasi relevan dengan pemilih tradisional mereka. Kategori pemilih yang disasar, menurut dia, adalah mereka yang secara psikografis terhubung dan mendambakan Orde Baru.

“Seperti tagline yang dipakai Golkar memenangkan Pemilu 2004, ‘enak zamanku toh?’,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Kamis (11/1/2024).

Kunto menilai, Golkar merupakan antitesis dari PDIP, sehingga memiliki peluang untuk menang setelah kekuasaan partai banteng moncong putih itu lengser dari pucuk pemerintahan. Strategi yang digunakan kali ini, agar pemilih tradisional Golkar dan anak-anak mereka yang saat ini menjadi pemilih pemula, dapat kembali loyal memilih Golkar.

“Pemilih tradisional biasanya dipengaruhi oleh nilai-nilai keluarga yang terkait dengan sosialisasi politik, di mana jika keluarga pilih Golkar maka anak ingat punya memori itu untuk pilih Golkar,” ujar Kunto.

Dia menilai efektivitas strategi ini untuk menggaet suara tidak terlalu signifikan. “Walaupun punya kemungkinan itu bisa berbuah, tapi juga agak sulit karena tokoh di Golkar tidak ada yang punya personifikasi sekuat pak Harto,” tambah Kunto.

Sementara itu, peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menyebut kader Golkar tengah melakukan tes air apakah Soeharto sebagai sosok pemimpin masih lekat dalam ingatan masyarakat. Dalam jangka panjang, kata dia, bisa jadi ini merupakan bentuk pendidikan politik untuk memunculkan Soeharto sebagai tokoh yang berperan dalam pembangunan di Indonesia.

Di sisi lain, upaya ini cukup kontradiktif karena memiliki risiko. Pasalnya, Firman menilai persona Soeharto saat ini sudah lekat dengan sejarah kelam Orde Baru yang justru bisa menjauhkan pemilih.

“Orang milih (Golkar) karena Soeharto itu sudah nomor sekian, orang pilih (karena) Soeharto sudah susah,” ujar Firman kepada reporter Tirto, Kamis.

Firman menilai, Soeharto merupakan sosok yang memang memiliki kekuasaan besar ketika memimpin Orde Baru. Namun, sosok Soeharto tidak selalu melekat pada Golkar dan bahkan lebih besar dibanding partai berlogo pohon beringin itu.

“Ada semacam pendidikan politik di sana. Golkar ingin kembali mengingatkan bahwa ada sosok ikonik yang membedakan dirinya dengan yang ada saat ini. Dan itu butuh hero dan bench mark butuh sosok yang beda,” jelas Firman.

Dia menambahkan, jika niat pembuatan video personifikasi Soeharto itu hanya sebagai upaya menarik pemilih, Golkar terlihat sangat putus asa. Ini menjadi bukti setelah Soeharto tidak ada lagi sosok besar yang mampu menggaet pemilih dari tubuh Golkar.

“Sangat desperate banget kalau hanya sebagai vote getter, itu sangat desperate,” sebut Firman.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz