tirto.id - Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, secara terbuka mengkritik keras pemerintahan saat ini yang disebut sudah mengarah pada upaya menekan rakyat. Meski tidak menyebut nama, tapi publik tentu paham kalau yang dimaksud Megawati adalah Presiden Joko Widodo.
“Bolehkah kamu menekan rakyatmu? Bolehkah kamu memberikan apa pun kepada rakyatmu tanpa melalui perundangan yang ada di Republik ini?” kata Megawati dalam Rapat Kerja Nasional (Rakornas) organ relawan pendukung paslon Ganjar-Mahfud MD di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Senin (27/11/2023) malam.
Megawati mengutarakan, pola seperti itu sama dengan masa orde baru yang otoriter. Oleh karena itu, Presiden RI ke-5 itu mengaku jengkel dengan apa yang terjadi.
“Kenapa? Republik penuh dengan pengorbanan, tahu tidak? Kenapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti zaman Orde Baru?” kata Megawati di hadapan perwakilan relawan yang hadir.
Megawati juga mengajak semua pihak untuk melawan. Ia pun mengklaim sebagai petarung politik.
“Saya tentu tidak, apa? Nurani saya ya terbuka dong, lho ini gimana sih? Maunya apa sih? Mari kalau mau bersaing, kita, saya kalau suka di PDI Perjuangan, biar ibu ini perempuan, tapi ibu petarung,” kata Megawati.
Tak hanya itu, Megawati juga meminta masyarakat untuk memberikan hak pilihnya dan tidak golput pada Pemilu 2024. Sebab, kata dia, seseorang yang golput sebagai sosok tanpa pendirian. Ia juga menyindir soal posisi politik dalam pertemuan tersebut.
“Saya ajarkan anak-anak saya, lebih baik tahu kamu di sana, saya di sini, jangan belaga di sini, tapi bilangnya di sana,” ujar Megawati.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, enggan menanggapi pernyataan Megawati dalam pidato tersebut. Ari mengatakan hal tersebut adalah kewenangan Megawati dalam bersikap.
“Itu domain Ibu Mega ya untuk partai politik,” tegas Ari, Selasa (28/11/2023).
Ari menilai, pernyataan Megawati sebagai bukti bahwa semua pihak bisa menanggapi dan menilai pemerintahan saat ini. “Ya itu negara demokrasi ya. Semua orang bisa berpendapat, membuat penilaian, saya kira itu cermin negara demokrasi,” kata Ari.
Sementara itu, Wakil Komandan Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Habiburokhman, menilai analogi Megawati yang menilai penguasa saat ini mirip rezim orde baru sebagai sebuah nasihat.
Pria yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI itu beranggapan, pernyataan Megawati adalah peringatan bagi semua pihak agar tidak memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan politik.
“Yang kami tangkap inti pesan beliau adalah agar siapa pun yang sedang memegang kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan politik kelompoknya,” kata Habiburokhman.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan, kekuasaan politik adalah amanah dari rakyat yang harus diraih dengan cara yang terhormat. “Jangan sampai karena takut kehilangan kekuasaan melakukan hal yang melanggar prinsip demokrasi,” kata Habiburokhman.
Propaganda Politik usai Beda Pilihan dengan Jokowi?
Pengamat politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, mengatakan pernyataan Megawati adalah aksi propaganda politik lantaran posisi Jokowi yang kini berada di kubu lain. Ia menilai, Megawati tengah bermanuver untuk menarik pemilih yang berada di Prabowo agar merapat ke Ganjar.
“Bagaimanapun ceruk suara Ganjar lebih banyak bersinggungan dengan suara Prabowo. Tetapi skema keras dalam statement Megawati dipastikan tidak berhasil, Jokowi bukan lawan tanding dengan serangan terbuka, Jokowi justru semakin kuat jika diserang terbuka, [elektabilitas] Prabowo dipastikan jauh meninggalkan Ganjar,” kata Dedi kepada Tirto, Selasa (28/11/2023).
Dedi menilai, Jokowi memang terlihat mempraktikkan politik seperti orde baru, atau mungkin lebih buruk karena dilakukan dengan terang benderang. Hal ini tidak lepas dari aksi eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang meloloskan syarat batas umur capres-cawapres untuk kepentingan Gibran Rakabuming.
Selain itu, kata Dedi, adalah penempatan berbagai personel yang dekat dengan Jokowi saat menjadi Wali Kota Solo seperti kursi Panglima TNI dan Kapolri. Hal ini dilakukan menjelang pemilu serentak saat putra sulung Jokowi ikut maju dalam kontestasi. Contoh lain, kata Dedi, adalah dugaan peran Mensesneg Pratikno dalam sejumlah manuver politik Jokowi.
Dalam kacamata politik, kata Dedi, kritik Megawati adalah hal wajar apalagi ada perseteruan antara pihak Istana dengan Megawati. Namun, Dedi menilai, Istana wajar tidak merespons.
Lantas apakah ada pengaruh pada elektabilitas PDIP maupun Ganjar sebagai capres? Dalam kacamata Dedi, aksi Megawati justru kontraproduktif bagi pendukung Ganjar. Ia mengingatkan tidak sedikit simpatisan PDIP mulai merapat ke Prabowo saat ini, termasuk para elite. Namun, kritik Mega efektif menjaga suara PDIP agar tidak terbawa pengaruh Jokowi.
“Serangan Megawati mungkin hanya akan berhasil dari sisi Pileg, mengingat Pileg diperlukan konsolidasi partai yang cukup, tidak bersinggungan dengan tokoh di pilpres, 2024 dengan semangat Megawati di internal partai, dimungkinkan PDIP masih mampu unggul, tetapi tidak di pilpres,” kata Dedi.
Analis politik Ipsos Public Affairs, Arif Nurul Imam, juga melihat kritik Megawati sebagai penegasan posisi PDIP yang berbeda dengan Jokowi. Imam menilai pernyataan orde baru adalah bukti Jokowi tidak dianggap lagi sebagai bagian PDIP.
“Kesan apa yang ingin disampaikan Mega itu? Bahwa kesan mereka Jokowi sudah bukan lagi bagian dari PDI Perjuangan,” kata Imam, Selasa (28/11/2023).
Imam sebut pernyataan Megawati memang bisa ditafsirkan beragam macam. Akan tetapi, ia menilai pernyataan Megawati lebih kepada upaya mengkonsolidasikan pemilih PDIP dan menarik pemilih yang tidak sepakat kebijakan pemerintahan Jokowi dalam 10 tahun terakhir.
Meski demikian, Imam menduga kritik Megawati tidak akan membawa dampak penambahan elektoral bagi Ganjar-Mahfud MD. Ia mengingatkan bahwa Jokowi saat ini punya pengaruh besar dan mampu meningkatkan elektabilitas kandidat yang didukungnya.
Hal tersebut dapat dilihat dari rilis sejumlah lembaga survei usai Jokowi dipersepsikan tidak lagi berada di barisan koalisi PDIP. Berdasarkan data survei misalnya, tren elektabilitas Prabowo-Gibran yang didukung Jokowi semakin naik, sementara Ganjar-Mahfud menurun.
Karena itu, Imam berkesimpulan, narasi kontra narasi pemerintah tidak efektif secara elektoral. “Paling tidak referensinya bisa kita lihat dari data-data survei belakangan ini yang elektabilitas Prabowo-Gibran semakin bertambah,” kata Imam.
Sementara dari sisi pileg, kata Imam, pernyataan Megawati bisa ditafsirkan sebagai upaya menjaga suara PDIP agar tetap dominan. Ia menilai, target minimal PDIP adalah menjaga suara Pileg 2019 agar tetap menjadi pemenangan pemilu.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz