tirto.id - Politik uang adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Politik uang telah mengakar lama, bahkan tidak jarang mendapatkan taraf ‘wajar’ di masyarakat. Tentu praktik ini mencoreng proses pemilu yang bermartabat dan bermoral. Bagaikan candu, meski dibenci dan dicegah, godaan jerat praktik ini menjadi potensi kerawanan yang timbul dalam pemilu.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah memasukkan politik uang dalam isu yang menjadi perhatian jelang Pemilu 2024. Politik uang adalah satu dari lima isu yang masuk dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024.
Politik uang bisa hadir dalam tiap tahapan proses pemilu. Beragam penetrasinya kian muncul dengan pelbagai kamuflase murahan. Politik uang bisa menyusup dengan kedok bakti sosial dan sosialisasi, pemberian barang atau fasilitas di luar aturan, atau jual-beli suara secara langsung sebelum pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS).
Dalam hasil analisis IKP 2024 Bawaslu, ada lima provinsi teratas yang masuk kerawanan tinggi terjadinya politik uang. Kelima provinsi tersebut terdiri atas Maluku Utara dengan skor 100, disusul Lampung (55,56), Jawa Barat (50,00), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara (38,89).
Kerawanan ini terbukti bukan asal ucap. Pekan lalu, Koordinator Nasional Desa Bersatu, Muhammad Asri Anas, menyampaikan bahwa ada salah satu kubu paslon capres-cawapres yang menawarkan sejumlah uang kepada perangkat desa untuk membeli dukungan.
Anas tidak menyebutkan paslon mana yang melakukan hal tersebut. Namun, dia mengklaim, kubu paslon itu akan memberikan uang transportasi Rp1 juta kepada perangkat desa tiap pertemuan dukungan.
“Bahkan mohon maaf, ada capres yang membiayai fasilitasi kepala desa, transportasi Rp1 juta tiap satu pertemuan,” kata Anas dalam acara silaturahmi nasional perangkat desa di Indonesia Arena, GBK, Jakarta Pusat, Minggu (19/11/2023).
Di sisi lain, agenda berkumpulnya delapan organisasi perangkat desa itu juga patut disoroti. Pasalnya, cawapres Gibran Rakabuming Raka dan tim pemenangannya ikut meramaikan acara tersebut. Netralitas perangkat desa dalam pemilu tidak bisa ditawar.
Kendati demikian, Anas menyatakan bahwa kegiatan tersebut hanya silaturahmi dan bukan deklarasi dukungan. “Kan ini bukan kampanye, ini kan silaturahmi nasional desa,” ujar Anas.
Tantangan Libas Politik Uang
Memberantas politik uang memang tidak semudah membalik telapak tangan. Pasalnya, hampir setiap kontestasi pemilu, baik pilpres atau pilkada, bisa ditemukan jejak politik uang dalam prosesnya. Pada Pilkada 2020 misal, terdapat sedikitnya 262 kasus laporan dugaan pelanggaran politik uang. Bahkan, ketika memasuki masa tenang Pemilu 2019, Bawaslu menemukan 25 kasus di 25 kabupaten/kota yang tertangkap tangan melakukan politik uang.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menyampaikan politik uang merupakan persoalan yang kompleks. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang melatarbelakangi praktik ini.
Faktor tersebut, kata dia, dapat berasal karena kontestan pemilu, penegakan hukum, dan dari pemilih sendiri. Menurut dia, peserta pemilu punya peluang menghalalkan segala cara untuk menang, termasuk melakukan politik uang.
“Dari sisi pemilih pun tidak dapat dipungkiri juga ada yang secara terang-terangan meminta amplop kepada peserta Pemilu,” kata Nisa, sapaan akrabnya, dihubungi reporter Tirto, Kamis (23/11/2023).
Nisa menambahkan, saat ini politik uang masih sulit ditindak karena penegakan hukum yang dilakukan belum maksimal. Penegak hukum dan penyelenggara pemilu perlu memberantas politik uang dengan terus membenahi tiap sisi celah praktik ini.
“Akhirnya walaupun pasal pidananya ada soal ini, tapi seruan-seruan etik juga masih perlu terus diupayakan,” terang Nisa.
Sanksi pidana politik uang memang telah diatur, di antaranya dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Dalam Pasal 515 UU Pemilu, pelaku atau individu yang pada hari atau saat pemungutan suara sengaja melakukan politik uang terancam hukuman penjara selama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.
Sementara dalam UU Pilkada Pasal 187 a Ayat 2, pihak pemberi dan penerima mendapat sanksi pidana minimal 3 tahun atau denda paling sedikit Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar. Sejumlah kalangan menilai sanksi ini terbilang rendah. Belum lagi masih banyak kasus temuan dugaan politik uang yang lolos dari pengadilan.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Sahel Alhabsy, menilai politik uang terjadi akibat gagalnya partai politik melakukan rekrutmen politik yang baik. Parpol mendulang para politisi yang miskin menjual gagasan, serta tidak segan melakukan praktik lancung untuk mendapatkan suara.
“Mereka telah merekrut politisi yang tak mampu atau malas menjual gagasan, dan sebaliknya, memiliki modal untuk melakukan praktik haram politik uang,” ujar Sahel dihubungi reporter Tirto.
Sahel menambahkan, politik uang yang terus terjadi juga dampak dari buruknya pemberantasan korupsi di negeri ini. Bahkan, kata dia, penegak hukum yang seharusnya menindak kasus justru tidak sedikit menjadi aktor pelaku korupsi.
“Yang paling pelik, ini merupakan akibat dari gagalnya negara menghasilkan kesejahteraan. Kemiskinan bukannya diatasi, melainkan dimanfaatkan untuk menjadi pasar elektoral,” ungkap Sahel.
Terobosan Penanganan Politik Uang Dinanti
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mendesak ada perkembangan terobosan dari Bawaslu untuk menangani persoalan politik uang. Sebab, Kaka melihat pola yang sama dalam politik uang selalu terjadi dalam pemilu.
“Tidak ada terobosan dari Bawaslu untuk menangani ini. Demikian juga KPU dalam pengaturannya juga seperti malah lebih memberikan kelonggaran untuk politik uang,” ujar Kaka dihubungi reporter Tirto, Kamis (23/11/2023).
Kaka melihat, politik uang di Indonesia kerap dianggap lumrah oleh kontestan politik dan masyarakat sendiri. Ia menyatakan, faktor kesadaran pendidikan politik yang rendah membuat praktik ini menjamur di mana-mana saat pemilu.
Selain itu, Kaka menyoroti bahwa praktik uang di desa biasanya lebih rawan terjadi. Salah satunya diakibatkan kontrol pengawasan di desa yang jauh dari pemerintah pusat.
“Ini juga mengindikasikan bahwa memang di perdesaan lebih tidak adil atau tidak ada pemerataan ekonomi dan kemiskinan. Potensinya lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan,” terang Kaka.
Maka dari itu, dia menilai bahwa politik uang merupakan salah satu masalah yang hadir karena faktor ekonomi. Pada negara yang masih memiliki problem kemiskinan dan kesenjangan, politik uang akan sangat sering ditemukan.
“Kita lakukan semaksimal mungkin (pembenahan) mulai dari pengaturan sampai pencegahan dan pengawasan, serta penindakan yang masih lemah ya,” tegas Kaka.
Reporter Tirto sudah berupaya menghubungi Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, serta dua Komisioner Bawaslu, Puadi dan Lolly Suhenty ihwal penanganan politik uang pada Pemilu 2024. Namun hingga berita ini ditulis, permintaan wawancara yang dilayangkan belum mendapatkan tanggapan.
Sebelumnya dalam keterangan resmi, Rahmat Bagja menyampaikan, langkah pencegahan politik uang yang dilakukan pihaknya dengan pendidikan sosialisasi dan pengawasan partisipatif.
Upaya tersebut diikuti dengan pengawasan kampanye, pelaporan dan pengaduan, penyelidikan dan penegakan hukum, serta pemberian sanksi dan hukuman.
“Jika Bawaslu menemukan bukti yang kuat terkait praktik politik uang, Bawaslu dapat memberikan sanksi kepada pelanggar, seperti denda, diskualifikasi calon, atau pembatalan hasil pemilihan,” kata Bagja pada 20 Oktober 2023.
Selain itu, Bawaslu berkolaborasi dengan seluruh stakeholder agar pencegahan dan penindakan politik uang berjalan dengan baik. Stakeholder yang digandeng terdiri atas KPU, kepolisian, jaksa, dan lembaga terkait lainnya.
Kendati demikian, kata Bagja, penindakan pelaku politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terbatas hanya selama masa kampanye. Ia turut meminta masyarakat agar melaporkan praktik politik uang yang terjadi di sekitar mereka.
“Semua bisa melaporkannya ke Bawaslu. Tetapi, Bawaslu hanya dapat menegakkan disiplin jika ada politik uang selama masa kampanye selama 75 hari hal tersebut sesuai dengan UU 7/2017,” ujar Bagja.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz