Menuju konten utama

Yenny Wahid Bicara Alasan Pilih Ganjar & Perempuan di Politik

Bagaimana cerita di balik proses keputusan Yenny mendukung paslon Ganjar-Mahfud, dan pandangan politik Yenny saat ini?

Yenny Wahid Bicara Alasan Pilih Ganjar & Perempuan di Politik
Header wansus Yenny Wahid. tirto.id/Tino

tirto.id - Berbincang bersama Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid alias Yenny Wahid rasanya tidak akan kehabisan topik. Maklum saja, putri dari mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, merupakan seorang mantan jurnalis internasional, aktivis, sekaligus seorang politikus.

Yenny Wahid saat ini merupakan anggota Dewan Penasihat Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud. Berkunjung ke kantor Tirto dengan jilbab merah dan jaket merah muda, Yenny menyatakan alasan utamanya melabuhkan pilihan politik pada Pemilu 2024 mendatang.

Penegakan hukum, kata dia, merupakan pertimbangan utamanya dalam memilih figur yang akan didukung pada kontestasi Pilpres tahun depan.

“Saya rasa penegakan hukum itu menjadi kunci besar dari semua masalah,” kata Yenny saat berbincang dalam ‘Podcast For Your Pemilu’ di kantor Tirto beberapa waktu lalu.

Ia juga sedikit berbagi bagaimana peranan dirinya di tim pemenangan Ganjar-Mahfud. Seperti diketahui, Yenny identik dengan basis massa Nahdlatul Ulama (NU), terutama dalam jaringan Barisan Kader Gus Dur atau Barikade Gus Dur.

Selain soal pilihan dalam Pemilu 2024, Yenny juga sangat perhatian dengan keterlibatan perempuan dalam ajang politik di Indonesia. Menurutnya, masih ada paradigma yang perlu diubah agar dapat memberikan kesempatan bagi perempuan berkiprah di ajang politik praktis hingga mampu menempati posisi strategis.

Di sisi lain, hubungan Yenny dengan Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menjabat Ketua Umum PKB, sering dikabarkan panas-dingin. Ia sendiri menuturkan, soal alasannya tidak memilih Cak Imin dan PKB dalam Pemilu 2024 mendatang.

Bagaimana cerita di balik proses keputusan Yenny mendukung paslon Ganjar-Mahfud, dan pandangan politik Yenny saat ini? Berikut petikan wawancara kami dengan dirinya:

Bagaimana rasanya menyandang nama Wahid?

Ya kalau buat saya ini sudah realitas aja sudah diterima saja dengan segala sisi positif dan sisi negatifnya. Sisi positif mempunyai nama berasal dari keluarga dengan nama besar adalah banyak pintu mudah untuk dimasuki.

Tapi sisi negatifnya adalah bahwa kita akan selalu diukur dari nama besar itu, sehingga ketika kita sudah masuk ke dalam ruangan, ya performanya harus bagus juga, sikapnya juga harus bagus, attitude-nya juga harus bisa mencerminkan juga.

Apa nilai-nilai politik yang diajarkan Gusdur?

Kalau politik itu Bapak tuh selalu mengesankan gitu ya bahwa kita harus mengambil kepentingan orang banyak ya khairul nas dan faun linas. Jadi orang yang paling baik adalah orang yang bisa berbuat untuk orang lain bermanfaat untuk orang banyak.

Nah, jadi ketika berpolitik itu untuk maslahah untuk kepentingan masyarakat, untuk kebaikan di masyarakat selalu begitu tidak boleh hanya untuk ambisi diri sendiri. Hanya untuk dapat posisi, sekedar kepingin keren-kerenan, apalagi dengan cara yang instan menghalalkan segala caranya itu enggak boleh.

Namun, bahwa posisi itu dipakai untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat gitu jadi ini nilai paling utama. Ketika dalam politik kita punya tugas kita punya kewajiban dalam hidup kita ada titipan orang lain di sana dari Tuhan yang harus kita jaga.

Wansus Yenny Wahid

Yenny Wahid. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

Apakah Mbak Yenny dididik Gus Dur untuk berpolitik praktis?

Enggak pernah. Mengalir aja karena dulu kan saya wartawan untuk media asing, jadi saya banyak meliput. Pastinya berita-berita politik, berita-berita konflik dan lain sebagainya. Saya menjadi sparing partner untuk Bapak, Gus Dur.

Kita banyak diskusi tentang banyak hal lah gitu ya, nah, kemudian ya mengalir aja. Mengalir dan kemudian saya sering mendampingi beliau. Ketika apalagi beliau menjabat, itu saya memang membuat keputusan besar untuk mengorbankan karier saya.

Nah, ketika Gus Dur jadi presiden, saya sudah tidak mungkin melaksanakan tugas saya dengan baik sebagai wartawan, karena pasti sudah tidak objektif, jadi saya resign. Saya mengundurkan diri, full total bantu Bapak.

Setelah itu, mulai aktif tahun 2005 diminta oleh orang-orang PKB waktu itu untuk masuk partai. Sebelumnya sudah diminta 2004 jadi caleg saya masih nolak, saya enggak mau.

Kenapa menolak?

Saya merasa perlu membuktikan diri sendiri dulu. Jangan gara-gara cuma jadi anaknya Gus Dur terus bisa dapat nomor urut, nomor 1 waktu itu, belum saya pikir. Enggak lah saya buktikan diri saya dulu, saya kontribusi dulu. Nah, tapi 2005 diminta masuk struktur partai gitu tapi yang minta bukan Bapak.

Ketika PKB Gus Dur dan saya jadi sekjen, misalnya. Proses pilihannya pun terbuka, demokratis gitu ya. Di DPP waktu itu, dan Gus Dur milih orang lain. Tapi yang lainnya milih saya.

Apa pertimbangan memilih Ganjar-Mahfud?

Banyak pertimbangannya ya, kalau kita mau ngomong soal pertimbangan ini itu, sudah banyak yang bicara soal itu ya. Kalau Pak Mahfud jelas beliau adalah orang yang salah satu penggawa tentang hukum.

Jadi salah satu problem utama Indonesia tentunya itu adalah soal penegakan hukum, yang kita nilai belum maksimal. Pak Mahfud sendiri masih gemes soal ini sehingga kalau dalam percakapan pribadi saya dengan beliau, menyatakan gemes sekali.

Karena itulah beliau kemudian memutuskan tetap menjadi Menko Polhukam untuk sampai hari terakhir untuk mengawal beberapa agenda penting tentang penegakan hukum.

Saya rasa penegakan hukum itu menjadi kunci besar dari semua masalah. Investasi di area hukum itu menjadi kunci besar dari semua masalah Indonesia, tanpa ada penegakan hukum pasti akan kedodoran juga investor mau datang ke sini.

Belum lagi keadilan di masyarakat tanpa ada penegakan hukum ya masyarakatnya pasti akan merasa diperlakukan sewenang-wenang kalau pisau hukum itu tumpul kepada yang kaya dan berkuasa. Tapi tajam hanya kepada yang miskin.

Yang terjadi kan adalah kemudian konflik sosial pergolakan di masyarakat, kegelisahan, kuncinya semua penegakan hukum. Demokrasi pun bisa tegak hanya kalau ada penegakan hukum. Nah, jadi ke depan menurut saya penegakan hukum itu kunci. Begitu ada Pak Mahfud di sana pilihan menjadi lebih clear [jelas] bagi saya.

Bagaimana ketika dibilang Mbak Yenny mendukung PDIP yang melengserkan Gus Dur?

Saya dalam Pilpres ini mendukung kalau partai ya, PSI. Tapi saya mendukung capres-cawapresnya adalah Ganjar dan Mahfud, boleh dong? Boleh dong, demokrasi kan ini.

Dari dulu memang banyak sih buzzer-buzzer yang menyerang saya dengan isu itu sekarang, di komen-komen saya isunya begitu semua. Padahal tahun 2019 saya dukung Pak Jokowi juga kalian enggak komen? Kenapa baru komen sekarang gitu. Jadi buat saya ini fokusnya kepada capres dan cawapres.

Ini alasan berbeda dengan Cak Imin di PKB? Apakah karena belum memaafkan?

Saya sudah menyatakan berkali-kali di banyak wawancara di media. Saya sudah memaafkan Cak Imin, sudah memaafkan. (Namun) saya fokus pada capres-cawapres yang tidak punya kasus hukum.

Saya ingin maunya kan penegakan hukum, kalau sudah itu yang jadi fokus adalah penegakan hukum. Otomatis ketika ada cawapres yang masih punya kasus hukum ya langsung tereliminasi.

Proses pengambilan keputusan saya ini enggak ada urusannya sama partai. Bahkan saya berkali-kali mengatakan, mau menyoblos PKB ya silakan enggak apa-apa, orang PKB tetaplah menyoblos PKB kalau mau.

Saya sendiri menyoblos partainya PSI, silakan menyoblos PDIP, menyoblos segala macam. Tapi capres-cawapresnya kalau mau ikut saya, ya kita sama-sama mendukung pasangan capres-cawapres Ganjar-Mahfud.

Jadi tidak mendukung (Cak Imin) karena punya kasus hukum gitu?

Yang punya kasus yang di publik ya terekam, punya kasus korupsi. Ya karena memang beberapa ada yang belum selesai. Tapi kan sekarang kesepakatannya Kapolri sama Kejaksaan Agung kan mengatakan bahwa semua capres-cawapres kasusnya akan dibekukan dulu sampai setelah tahapan pilpres selesai.

Makanya tidak diperiksa lagi saat ini, namun kan menjelang-menjelang kemarin kan sempat diperiksa. Nah, buat kami itu kan catatan ya. Jadi ini enggak ada urusannya sama memaafkan atau tidak memaafkan. Kalau memaafkan sudah dimaafkan dari dulu, apalagi Cak Imin saudara saya, pasti sudah saya maafkan dari dulu.

Kalau politik jelas saya ingin calon pemimpin yang track record-nya bersih. Apalagi orang yang punya ketegasan sikap dalam soal penegakan hukum.

Kenapa tidak mendukung Pak Prabowo? Apa karena beliau mencalonkan Mas Gibran?

Itu kan haknya Pak Prabowo silakan saja. Tapi begitu di sini (Ganjar) mencalonkan Pak Mahfud, karena saya fokus pada penegakan hukum maka menjadi lebih simpel proses pengambilan keputusannya. Mungkin kalau Pak Prabowo cawapresnya adalah orang yang juga sama track record-nya dengan Pak Mahfud kita jadi agak bimbang yang mana nih.

Tapi karena memang kami ingin penegakan hukum di Indonesia ini bisa lebih maksimal ke depannya otomatis kemudian kriterianya mengarah ke Pak Mahfud.

Bagaimana pengambilan keputusan parpol bahwa yang dicalonkan adalah sosok-sosok tertentu saja?

Tergantung ketua umum, tergantung proses di dalam bisa jadi juga gitu. Padahal kita kan sudah punya 30 persen kuota perempuan, itu pun juga memang masih sangat sulit bagi kadang-kadang perempuan untuk duduk dalam posisi-posisi yang strategis di dalam partai. Memang ini harus didobrak, harus ada keinginan bersama, harus ada komitmen bersama.

Saya menghargai pemerintahannya Pak Jokowi yang memberikan alokasi posisi di kabinet untuk perempuan. Untuk menteri-menteri perempuan yang membawahi isu-isu strategis itu luar biasa.

Kurang apa Bu Sri Mulyani menjadi dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik di dunia. Bu Retno juga kiprahnya kita lihat luar biasa sekali gitu. Bu Susi dulu juga, ini bukan kaleng-kaleng semua. Diberi kesempatan ternyata perempuan mampu membuktikan dirinya gitu.

Visi-Misi Ganjar ada soal kesetaraan perempuan?

Orang yang dinobatkan sebagai Champion of women's equality, gender equality itu dari UN Women ada yang namanya He for She. Itu adalah laki-laki yang punya komitmen untuk memperjuangkan kesetaraan gender.

Pak Ganjar kalau yang saya lihat sih dari sekian calon itu semua, kayaknya hanya Pak Ganjar nih yang He for She dari tiga paslon. Sementara ini saya lihat kok cuma Pak Ganjar yang punya komitmen untuk kesetaraan gender.

Wansus Yenny Wahid

Yenny Wahid. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

Sebagai Dewan Penasihat apa tugas Anda di TPN Ganjar-Mahfud?

Konsolidasi suara basis NU, basis Islam santri, Islam moderat itu pasti ya. Fokusnya di mana NU kuat, banyak di Jawa, Lampung, di sebagian di NTB juga ada. Apa namanya di Banten juga ada, di banyak daerah-daerah itu.

Bagaimana pandangan Anda ketika tokoh politik akhirnya mendekati NU?

Wajar ya itu karena NU adalah organisasi Islam terbesar di dunia. Dan juga usianya melebihi usia republik ya kan? Republik ini lahirnya tahun'45, NU lahirnya tahun'26 jadi sudah sangat tua. Jadi memang kehadirannya terutama di komunitas di akar rumput, di basis itu sangat-sangat kuat, sangat-sangat mengakar sekali.

Sehingga kemudian suaranya diperebutkan. NU sendiri juga punya kepentingan untuk menitipkan nilai-nilainya di setiap paslon. Karena itulah institusi, lembaga organisasi NU gitu ya, Jam’iyyah itu selalu netral.

Karena keputusan muktamar itu kembali ke khittah. Nah, kembali artinya politiknya adalah politik kebangsaan, tidak berpolitik praktis. Tidak ikut menjadi pendukung satu satu partai. Tapi individu-individunya asal tidak membawa lembaga NU, nama lembaga, tidak mengatasnamakan itu silakan berpolitik.

Suara NU paling besar ke mana menurut pandangan Anda?

Semua pasti akan melakukan klaim ya. Semua akan melakukan klaim pasti, nanti hasilnya kita lihat seperti apa. Tapi kalau dari hasil survei lembaga-lembaga independen rata-rata menunjukkan warga NU lebih banyak ke Ganjar-Mahfud.

Tapi ini rata-rata survei lembaga independen, itu memperlihatkan bahwa rata-rata warga NU mayoritasnya masih lebih banyak ke Ganjar-Mahfud.

Pendukung Jokowi sebelumnya banyak kecewa dengan sikap beliau. Bagaimana Anda memandang soal isu dinasti politik?

Gini ya kalau kita dari dulu tuh selalu diajar untuk tidak fokusnya ke kultus individu. Tapi ke arah nilai. Jadi ke Pak Jokowi pun kita nilai berdasarkan apakah beliau masih tetap memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini kita usung. Yang diusung diperjuangkan oleh Gus Dur dan kita teruskan sampai saat ini gitu.

Jadi ya bukan kecewa, fokus kita bukan ke individu sih tapi ke nilai. Kalau soal politik dinasti, saya juga hasil dinasti. Emangnya kalau enggak ada nama belakang Wahid ada yang mau noleh?

Mungkin harus dibedakan antara dinasti dan nepotisme. Jadi kan banyak orang yang mungkin kecewanya seolah-olah ada anggapan bahwa telah terjadi nepotisme. Di sini ya saya melihatnya seperti itu sih.

Anda melihat ini sebagai bentuk nepotisme?

Selama Pak Jokowi tidak menggunakan posisinya untuk menguntungkan Mas Gibran, tidak ada penyelewengan, tidak ada difasilitasi secara berlebihan, tidak ada penggunaan alat-alat negara untuk kepentingan salah satu paslon, ya itu tidak bisa dituduh.

Bahwa ketika Mas Gibran berada di sana dan Pak Jokowi masih menjadi presiden, orang pasti akan memandang ini sebuah nepotisme. Kecuali pada waktu misalnya Pak Jokowi sudah tidak menjadi presiden, boleh gitu. Lebih mudah dan Mas Gibran orangnya pinter, Mas Gibran juga memimpin Solo juga lumayan berhasil pertumbuhan ekonomi Solo juga naik gitu kan.

Nah, misalnya orang-orang terdekat Mas Gibran tidak sedang menjabat, itu menurut saya mungkin tidak akan banyak orang mempermasalahkan Mas Gibran jadi cawapres.

Jadi yang dipermasalahkan orang adalah persoalan benturan kepentingan. Ketika anggota keluarga kita berada dalam posisi-posisi yang bisa mempengaruhi sebuah keputusan.

Kenapa pilihan partai PSI? Suami Anda kader PSI juga memang. Namun kenapa berbeda pilihan [untuk] [calon] presiden?

Pilihan capres itu kita enggak pernah tahu nanti di TPS nyoblosnya ke siapa. Tapi karena suami saya memang sudah aktif di PSI, dan dia punya komitmen untuk membesarkan PSI, saya menghormati pilihan politik itu. Jadi ya enggak apa-apa ini demokrasi.

Suami Anda juga masuk di tim kampanye Prabowo. Anda juga di tim kampanye Ganjar. Apa yang ingin disampaikan?

Bahwa ini demokrasi, demokrasi di Indonesia seperti ini. Kita menghormati pilihan masing-masing walaupun orang terdekat kita. Semua orang punya hak otonomi atas pilihan politiknya.

Dia tidak bisa dipaksa, semua orang tidak boleh dipaksa. Jadi silakan mengikuti kata hatinya, jadi banyak orang misalnya bilang, “Mbak saya Gusdurian, saya maunya nyoblos pasangan lain,”. Silakan ikuti aja kata hatimu enggak apa-apa, kita tetap teman kok. Saya juga sama-sama suami enggak apa-apa, kita tetap suami-istri kok.

Apa isu bangsa yang urgen dibenahi dalam Pemilu mendatang?

Penciptaan lapangan pekerjaan, itu paling urgen. Karena ekonomi dunia melambat, ekonomi dunia melambat maka juga akan berimbas pada ekonomi Indonesia. Padahal, kita harus mencapai minimal 5 persen pertumbuhan ekonomi untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang bisa menyerap tenaga kerja baru yang akan masuk ke pasar.

Makin banyak usaha-usaha kecil menengah ya maka akan lebih banyak lagi penyerapan tenaga kerja. Karena usaha UMKM itu menyerap 97 persen dari tenaga kerja di Indonesia. Jadi kita harus memfasilitasi sektor ini, nah, ini paling urgen.

Anak-anak muda kita Indonesia kan usia produktifnya tinggi sekali di atas 60 persen hampir 69 persen. Ini usia produktif. Sebetulnya usia produktif itu adalah berkah yang luar biasa. Sebab, sebuah negara yang punya banyak orang muda yang produktif artinya kalau bisa diserap bisa bekerja, maka mereka akan membayar pajak. Begitu mereka bayar pajak, negaranya jadi kaya.

Kemudian ke pendidikan, pendidikan semacam apa yang harus kita hadirkan untuk membuat skill mereka menjadi applicable bisa diterapkan langsung.

Nah, kemudian pemerataan ekonomi ya, bukan cuma pertumbuhan ekonomi tapi pemerataan juga. Jangan ekonomi ini hanya tumbuh tapi hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. Sebab, persoalan kemiskinan kita masih besar, persoalan stunting juga masih besar.

Belum lagi perubahan iklim, Indonesia adalah penyumbang sampah terbesar di dunia, kita masih juara. Masih lima besar dunia penyumbang sampah plastik, sampah di laut, di sungai dan kita juga menerima impor sampah.

Tapi paslon yang ada terlihat enggak concern perubahan iklim?

Paslon Ganjar-Mahfud sangat concern.

Bagaimana membuktikannya?

Saya rasa banyak yang sudah dilakukan oleh Pak Ganjar. Melakukan mitigasi terhadap erosi yang terjadi karena air rob. Banyak program-program sudah dilakukan, tapi ini memang nggak bisa jangka pendek. Ini [sifatnya jangka] panjang, penanaman bakau.

Banjir itu tidak bisa diatasi hanya oleh satu daerah saja. Masalah sampah juga sama, air ini kan dari mana-mana. Nah, jadi bahwa kalau saya melihat ada komitmen Pak Ganjar, ada keinginan kuat untuk mengatasi masalah itu. Karena saya sempat berdialog dengan beliau, bahwa hasilnya belum maksimal ya karena butuh waktu.

Tapi yang jelas kalau saya tertariknya gini, Pak Mahfud kalau kita bicara soal perubahan iklim misalnya gitu ya, kemudian soal pembalakan hutan. Ini kuncinya lagi-lagi di di penegakan hukum, pembalakan hutan ya pak Mahfud track record-nya sih orangnya tegas soal penegakan hukum. Nah, jadi ada harapan kesana gitu.

Jaringan Barikade Gus Dur sebagai orang-orang yang menerima inspirasi nilai dari Gus Dur, apa PR yang besar saat ini soal kebangsaan?

Soal radikalisme dan intoleransi itu memang masih masalah besar. Terutama melihat situasi dunia saat ini di mana politik identitas makin menguat. Nah, konflik-konflik dunia, politik-politik di dunia, masih sangat didominasi oleh politik identitas.

Politik identitas yang sangat membelah dan bisa mengakibatkan pengkotak-kotakan di masyarakat. Identitasnya bisa berdasarkan agama, bisa berdasarkan suku. Ini kalau orang sudah bicara soal agama, soal suku etnis dan lain sebagainya. Itu biasanya udah enggak pakai otak, pakainya emosi.

Ini yang bahaya kalau tidak kita intervensi dengan penyadaran-penyadaran bahwa enggak usah baper. Tidak usah terbawa emosi. Itu kan harus ada penyadaran itu. Dan kita harus mengedepankan keutuhan bangsa di luar kepentingan politik praktis.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri