Menuju konten utama
APBN Kita 2023

Target Tinggi Perpajakan di Akhir 2023, Realistis Bisa Tercapai?

Pengamat pajak dari CITA menilai target penerimaan perpajakan dalam Perpres 75/2023 masih dalam batas aman dan bisa dicapai.

Target Tinggi Perpajakan di Akhir 2023, Realistis Bisa Tercapai?
Petugas pajak melayani warga di Kantor Pelayanan Pajak Pratama, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (26/9/2023).ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp.

tirto.id - Presiden Joko Widodo merombak ulang target penerimaan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Perpres No 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023.

Perubahan ini mempertimbangkan hasil dari kesimpulan rapat kerja antara Badan Anggaran (Banggar) DPR, pemerintah, dan Gubernur Bank Indonesia dalam rangka pembahasan laporan realisasi semester I dan prognosis semester II pelaksanaan APBN 2023. Sehingga perlu dilakukan perubahan rincian.

“Bahwa untuk melakukan penyesuaian pendapatan negara, belanja negara, defisit anggaran, serta pembiayaan anggaran termasuk penggunaan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sesuai kesimpulan rapat perlu dilakukan perubahan rincian anggaran,” tulis Perpres tersebut sebagaimana dikutip Tirto.

Dalam Perpres tersebut, target penerimaan perpajakan ditetapkan Jokowi sebesar Rp2.118 triliun. Angka ini naik 4,8 persen atau hampir Rp100 triliun dari target awal di Perpres 130/2023 yang hanya senilai Rp2.021 triliun.

Jika dilihat dalam Perpres 75/2023, seluruh komponennya mengalami perubahan. Seperti Pendapatan Pajak Penghasilan (PPh) menjadi Rp1.049,54 triliun dari sebelumnya hanya Rp935,06 triliun. Angka ini terdiri dari PPh migas sebesar Rp71,65 tiliun dan PPh nonmigas Rp977 triliun.

PPh nonmigas tertinggi berasal dari pajak penghasilan (PPh) 21 atau identik dengan karyawan sebesar Rp201,8 triliun. Target tersebut meningkat 17,23 persen jika dibandingkan dengan target awal sebesar Rp172,1 triliun. Sedangkan terbesar pertama disumbang oleh PPh pasal 25/29 badan senilai Rp401,0 triliun.

Kemudian untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah ditargetkan senilai Rp731,04 triliun. Ini lebih kecil dari target awal sebesar Rp742,95 triliun. Lalu, PPN Dalam Negeri juga turun menjadi Rp438,79 triliun dari sebelumnya Rp475,37 triliun.

Pendapatan cukai pun ditetapkan turun menjadi Rp227,21 triliun dari sebelumnya Rp245,44 triliun. Pendapatan cukai hasil tembakau diturunkan menjadi Rp218,69 triliun dari sebelumnya Rp232,58 triliun, serta cukai minuman beralkohol turun menjadi Rp8,38 triliun dari Rp 8,66 triliun.

Sementara khusus untuk bagian pendapatan pajak perdagangan internasional, naik menjadi sebesar Rp72,89 triliun. Berasal dari pendapatan bea masuk yang naik menjadi Rp53,09 triliun dari sebelumnya Rp47,52 triliun, dan pendapatan bea keluar menjadi Rp19,80 triliun dari Rp10,21 triliun.

Realistis atau Tidak?

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai untuk target penerimaan perpajakan dalam Perpres 75/2023 sebenarnya masih dalam batas aman dan bisa dicapai. Hal ini mempertimbangkan realisasi penerimaan pajak sampai dengan September 2023.

Berdasarkan data APBN Kita, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp1.583,34 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp1.387,78 triliun serta penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp195,56 triliun.

“Sesuai outlook penerimaan pajak, kemungkinan besar dapat mencapai target, ±100 persen, terlebih dari Juli kinerja penerimaan pajak terus membaik," kata dia kepada Tirto, Rabu (22/11/2023).

Salah satu pendorong penerimaan pajak memungkinkan berasal dari PPh 21. Dalam beberapa bulan terakhir sumber pajak berasal dari karyawan ini tumbuh double-digit, Juli-September 2023 tumbuh rata-rata 14,7 persen. Triwulan I dan II tumbuh 15,6 persen dan 21,6 persen.

“Masih sangat diterima kalau targetnya kemudian meningkat menjadi 17,23 persen. Peningkatan ini sejalan dengan perbaikan penggunaan tenaga kerja dan upah di 2023, jadi ada peningkatan basis PPh 21," ucap dia.

Sementara khusus untuk target penerimaan cukai perlu menjadi perhatian pemerintah. Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) yang gagal dieksekusi maupun lesunya industri hasil tembakau (IHT) membuat target ditetapkan dalam Perpres 75/2023 bakal tidak terpenuhi.

"Untuk mencapai target penerimaan cukai dalam Perpres 75 tahun 2023 masih berat, proyeksi saya, realisasinya hanya 94 persen. Tapi akan membaik sejalan dengan perbaikan kinerja penerimaan cukai, yang terus membaik semenjak Juli 2023," ujar dia.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, mengamini target penerimaan perpajakan akhir tahun tertuang dalam Perpres 75/2023 cukup realistis. Sebab kenaikan itu didasarkan kepada realisasi sampai dengan saat ini yang cukup baik dengan prognosa hingga akhir tahun bisa melampaui target.

“Jadi kenaikan tersebut menurut saya realistis,” ucap Piter kepada reporter Tirto, Rabu (22/11/2023).

Sebaliknya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) justru menilai upaya pemerintah untuk menaikkan target penerimaan pajak dalam APBN 2023 saat ini momentumnya tidak normal. Sebab sejumlah menteri baik yang bukan pengurus atau juga pengurus partai politik di kabinet sudah mulai fokus dalam menghadapi Pemilu 2024, setelah penentuan tiga capres-cawapres oleh KPU.

Deputi Kepala Komite Tetap untuk Asia Pacific Kadin, Bambang Budi Suwarso, mengatakan untuk mencapai target tersebut tidak hanya tugas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saja, tapi semua kementerian dan lembaga (K/L) yang lain juga harus membantu agar target tersebut tercapai.

Ada beberapa K/L yang mempunyai peran langsung dalam peningkatan perekonomian misalkan BPKM, BI, OJK, KemenkopUKM, Kemen BUMN, tetapi juga ada Kemenlu yang bisa mendorong investasi dan perdagangan antar negara melalui penyediaan market intelligence.

“Yang jadi masalah saat ini, para menteri dari masing-masing kementerian dan lembaga sudah mulai fokus dalam menghadapi Pemilu 2024 dengan partai politiknya. Hal ini yang membuat target penerimaan pajak tersebut tidak bisa dicapai secara maksimal,” ujar Bambang dalam keterangannya.

Bambang menambahkan, jika target dinaikan, maka penerimaan pajak tahun ini akan didorong oleh kenaikan PPh minyak dan gas, tentunya hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kampanye pemerintah. Di mana salah satunya dekarbonisasi yang mendukung penggunaan energi terbarukan (renewable energy), sebagai bentuk energy transition. Kementerian Keuangan harus berjalan seiring dengan agenda utama pemerintah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

“Presiden Joko Widodo selalu menggaungkan kampanye energi terbarukan di Indonesia, sebagai komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon pada 2060 mendatang,” kata dia.

Optimisme Pemerintah

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, optimistis seluruh target penerimaan perpajakan yang dipatok dalam Perpres 75/2023 bisa tercapai pada akhir 2023. Hal ini didasari dari kondisi ekonomi domestik yang sampai hari ini masih cukup mengembirakan.

Misalnya dari segi dari sisi penerimaan PPh pasal 21 yang masih tumbuh positif double digit. Ini menunjukkan bahwa serapan tenaga kerja di Tanah Air masih masih cukup optimal. Di sisi lain, PPN dalam negeri juga masih tumbuh 13,4 persen.

“Artinya ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat masih berjalan dengan baik,” kata Yon Arsal, dalam acara Fintalk Series, secara daring, Rabu (22/11/2023).

Tidak hanya itu, dari sisi sektoral penerimaan pajak dari sektor jasa tumbuh dari 25,1 persen, transportasi tumbuh 43,4, persen dan dari Infokom yang tumbuh 10,6 persen. Ini menunjukkan bahwa kontribusi penerimaan pajak dari sektor tersier itu juga cukup baik.

“Dengan Perpres 75 kita memperkirakan penerimaan perpajakan kita masih akan cukup baik pada 2023 ini mudah-mudahan dapat mewujudkan target yang telah diamanatkan,” ucap dia.

Sementara untuk di 2024 sendiri, tampaknya pemerintah harus bekerja ekstra keras dalam mengejar target jumbo penerimaan pajak. Yon Arsal mengatakan, pemerintah harus mengejar target penerimaan pajak pada tahun depan sebesar Rp1.988,9 triliun.

"Ini menjadi tantangan tersendiri dan di sinilah kita mencoba melihat bagaimana kita perlu menjaga stabilisasi dan fungsi distribusi dari APBN sehingga penyusunan postur pendapatan dan belanja harus dilakukan secara prudent," ujar Yon Arsal.

Untuk mengejar target tersebut, pemerintah sudah mendesain berbagai kebijakan, seperti upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak, penggunaan teknologi informasi, serta memperluas basis pemajakan. Tidak hanya itu, reformasi perpajakan akan terus digaungkan sebagai upaya memperbaiki administrasi perpajakan serta meningkatkan penerimaan pajak.

Seperti yang diketahui, saat ini pemerintah juga tengah gencar melaksanakan program satu data Indonesia berupa implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain itu, pemerintah juga terus mematangkan sistem pajak canggih bernama core tax system yang siap meluncur pada pertengahan tahun depan.

Menurut Yon, reformasi perpajakan tidak bisa hanya berjalan dengan sendirinya, namun membutuhkan dukungan dari seluruh pihak, baik para stakeholder maupun seluruh wajib pajak.

“Tentu diharapkan tujuan reformasi kita dalam rangka merealisasikan penerimaan pajak yang lebih optimal sehingga memberikan ruang yang cukup bagi pemerintah untuk belanja-belanja yang efektif dan efisien dalam mencapai kemakmuran masyarakat juga bisa diwujudkan," tegas Yon.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz