tirto.id - Bara polemik di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK) tampaknya masih akan terus menyala. Beredar dokumen surat keberatan yang disebut dilayangkan tim kuasa hukum bekas Ketua MK, Anwar Usman. Dalam salinan yang diterima Tirto, Rabu (22/11/2023), surat tersebut dikirim oleh kuasa hukum Anwar Usman, tertanda Franky Simbolon dan Rekan.
Surat tersebut ditujukan untuk Ketua MK disertai keterangan keberatan atas putusan MK Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK 2023-2028. Suhartoyo memang terpilih menggantikan Anwar Usman, yang diberhentikan dari jabatan pimpinan MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) karena terbukti melanggar etik berat.
Surat yang diteken oleh Anwar Usman dan tiga kuasa hukumnya pada 15 November 2023 itu menilai putusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Putusan itu disebut merugikan Anwar Usman alias klien dari Franky Simbolon dan Rekan.
Kuasa hukum meminta MK meninjau ulang putusan Nomor 17 tahun 2023 soal pengangkatan Ketua MK, Suhartoyo. Mereka minta putusan itu dapat dibatalkan.
Tirto sudah mencoba meminta konfirmasi pihak Franky Simbolon dan Rekan, lewat nomor ponsel yang tertera dalam surat tersebut. Namun, pesan yang dikirimkan ke nomor tersebut hanya bertanda ceklis satu atau belum terkirim ke penerima.
Kendati demikian, pengajuan surat keberatan administratif Anwar Usman itu dikonfirmasi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Dia juga membenarkan bahwa surat keberatan tersebut mempermasalahkan pengangkatan Ketua MK, Suhartoyo.
“Ya betul, ada surat keberatan dari Yang Mulia Anwar Usman atas surat keputusan Nomor 17 Tahun 2023 tanggal 9 November 2023 tentang pengangkatan Yang Mulia Suhartoyo sebagai Ketua MK 2023-2028,” tutur Enny dalam keterangannya, Rabu (22/11/2023).
Ia menambahkan, jajaran hakim konstitusi tengah membahas surat keberatan Anwar Usman melalui rapat permusyawaratan hakim (RPH). Anwar Usman disebut tidak mengikuti RPH tersebut dan pembahasan surat keberatan itu masih belum menemui kesimpulan.
Surat keberatan administratif yang dilayangkan Anwar Usman menandai rentetan serangan balik dia setelah dicopot dari jabatan Ketua MK. Anwar dilengserkan dari posisi pimpinan pada 7 November 2023. MKMK menyatakan, Anwar melanggar kode etik dan perilaku saat menangani perkara Nomor 90/2023.
Perkara kontroversial yang diketok Anwar itu telah melenggangkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden. Anwar sendiri merupakan adik ipar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Setelah dicopot dari Ketua MK, Anwar sempat mengaku bahwa dirinya telah difitnah karena disebut memiliki konflik kepentingan dalam putusan MK Nomor 90/2023. Ia mengklaim tidak akan mengorbankan diri serta harkat dan martabatnya untuk meloloskan pasangan capres-cawapres tertentu.
“Fitnah yang amat keji, dan sama sekali tidak berdasarkan atas hukum,” kata Anwar saat konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2023).
Tidak hanya itu, Anwar bahkan membeberkan perkara-perkara MK terdahulu yang disebutnya memiliki isu konflik kepentingan dari para hakim konstitusi yang memutus perkara tersebut. Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, hingga Saldi Isra, adalah beberapa mantan hakim dan hakim konstitusi yang dicontohkan Anwar.
“Jadi sejak zaman Prof Jimly mulai tahun 2003 sudah ada pengertian dan penjelasan tentang conflict of interest,” tutur Anwar.
Sikap Anwar yang bersikukuh tidak menerima putusan etik MKMK seolah menegaskan nilai-nilai etika yang disepelekan. Alih-alih, menerima dengan lapang atau bahkan mundur sebagai hakim konstitusi –seperti yang didesak banyak pakar hukum– Anwar justru bersikeras mempertanyakan pemberhentian dirinya dari pucuk pimpinan MK.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengaku terkejut dengan keputusan Anwar yang melayangkan surat keberatan administratif. Meski ini merupakan hak dalam alam demokrasi, dia menilai sikap yang dilakukan Anwar memalukan.
“Menurut saya dia sudah tidak pantas lagi menjadi hakim MK. Sudah melanggar etik berat tidak mundur, sekarang sudah tidak jadi ketua malah keberatan. Ini orang yang sangat memalukan bagi saya,” kata Fadli dihubungi reporter Tirto, Rabu (22/11/2023).
Budaya Mundur karena Malu dan Gagal
Budaya mundur sebab merasa gagal dan malu karena terlibat urusan etik sebetulnya sudah banyak dicontohkan oleh para negarawan dunia. Di Indonesia sendiri, hal ini didukung oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Di dalamnya disebutkan, pejabat publik harus siap mundur dari jabatannya apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Bila harus menyebut segelintir contoh negarawan dunia, sebut saja salah satunya Perdana Menteri Jepang, Yukio Hatoyama pada 2010. Dia mengundurkan diri lantaran gagal memenuhi janjinya saat kampanye pemilu untuk memindahkan sebuah pangkalan militer Amerika Serikat keluar dari wilayah Okinawa.
Penggantinya, Naoto Kan, juga ikut mundur setelah merasa gagal memulihkan Jepang yang dihantam tsunami pada Maret 2011 dan menyebabkan krisis nuklir.
Di Yunani, ada George Papandreou yang tak menyelesaikan kepemimpinannya sebagai Perdana Menteri lantaran merasa bertanggung jawab atas krisis berkepanjangan di Yunani kala itu.
Namun tak perlu jauh-jauh ke negeri seberang, Indonesia juga punya segelintir contoh pejabat yang mengundurkan diri karena merasa gagal dan malu tidak bertugas sesuai amanat. Utamanya, mereka mundur karena merasa bertanggung jawab secara moral dan etika.
Ada Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito yang pada 1 Desember 2015 menyatakan mundur dari jabatannya. Dia merasa gagal memimpin instansi akibat tidak tercapainya target pajak tahun 2015.
Selain itu, ada pula Wakil Bupati Garut, Dicky Chandra yang memutuskan mundur dari jabatannya pada September 2011. Dicky merasa tidak banyak membantu bupati dalam melaksanakan tugas dan memilih melepas jabatannya. Hal serupa dilakukan oleh Lucky Hakim baru-baru ini.
Wakil Bupati Indramayu itu mengundurkan diri karena malu merasa menerima gaji buta. Lucky juga merasa dirinya tidak banyak bekerja membantu bupati dalam membenahi Indramayu.
Sederet contoh di atas merupakan bukti bahwa budaya mundur akibat malu dan merasa gagal dari pejabat negara bukan merupakan hal tabu. Mereka yang melepas jabatannya karena berat menanggung beban moral dan etika yang telah luntur bukanlah seorang pecundang.
Justru dengan mundur, ada proses perbaikan demokrasi agar dapat diisi harapan-harapan yang baru. Pada tataran Mahkamah Konstitusi (MK), tentunya demi menyelamatkan muruah “penjaga konstitusi” negeri ini yang diemban MK. Hal yang sayangnya, tidak dilakukan Anwar Usman.
Bukan Seorang Negarawan
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, menilai sikap Anwar Usman yang melayangkan surat keberatan administratif, bukan merupakan cerminan seorang negarawan. Padahal, kata dia, sudah ada contoh dari kasus Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri karena malu terbukti melanggar etik.
“Mengajukan keberatan seperti ini malah mengganggu ritme kerja MK yang baru saja menemukan momentum reformasi internal,” ujar Violla dihubungi reporter Tirto, Rabu (22/11/2023).
Violla menambahkan, bernegara bukan hanya soal mematuhi hukum semata. Di atas hukum masih ada moral dan etika, yang semestinya dipahami oleh para pejabat dan elite negeri ini.
“Arahnya (Anwar Usman) ini mau mengajukan gugatan TUN (Tata Usaha Negara), ini perlu diantisipasi agar tidak mengganggu performa MK dalam menjalankan kewenangannya ke depan,” ungkap Violla.
Hal senada diungkapkan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Ia menilai surat keberatan administratif Anwar Usman, merupakan ancang-ancang untuk melayangkan gugatan ke Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN). Dia merasa sikap Anwar semakin menunjukkan keburaman pemahamannya perihal etik.
“Ini jelas menunjukkan bahwa Anwar Usman tidak paham soal etik dan dia tidak punya kualitas negarawan,” kata Bivitri dihubungi reporter Tirto, Rabu (22/11/2023).
Lebih jauh, sikap Anwar dinilai Bivitri semakin menunjukkan kualitas pejabat di Indonesia yang semakin jauh dari sifat negarawan. Banyak pejabat publik, kata dia, tidak paham konsep etik dan mencampur adukan antara jabatan yang sifatnya publik dengan hal-hal yang sifatnya privat.
“Padahal yang namanya etik ya memang sesuatu yang bahkan menurut saya melampaui hukum. Dia jauh lebih besar daripada hukum,” jelas Bivitri.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, menilai surat keberatan administratif tersebut semakin menunjukkan kedangkalan pemahaman Anwar Usman terhadap etika penyelenggaraan negara.
Selain itu, kata dia, hal yang dilakukan Anwar sama saja dengan tidak mengakui putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang sejatinya telah dibuat sendiri oleh MK.
“Taat hukum tapi tidak taat etik, sama seperti mayat hidup,” kata Castro kepada reporter Tirto.
Menunggu Hasil RPH
Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, menyampaikan bahwa MK sudah menerima surat keberatan administratif Anwar Usman. Ia sendiri belum dapat membeberkan langkah selanjutnya yang akan diambil MK.
“Iya, MK sudah menerima surat keberatan administratif itu, saya sudah baca juga,” kata Fajar dihubungi reporter Tirto, Rabu (22/11/2023).
Perkembangan perihal keberatan Anwar Usman akan segera disampaikan setelah para hakim konstitusi selesai melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH). “Nanti kalau sudah ada info lagi, saya update,” lanjut Fajar.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz