Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Debat Cawapres Singgung Regulasi, Tapi Jauh Panggang dari Api

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai upaya para cawapres menyinggung regulasi dalam debat keempat justru menunjukkan bahwa mereka tidak paham soal itu.

Debat Cawapres Singgung Regulasi, Tapi Jauh Panggang dari Api
Aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (22/9/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

tirto.id - Pada debat keempat Pilpres 2024 yang digelar Minggu (21/1/2024), ketiga cawapres beradu gagasan dalam tema “Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup, Sumber Daya Alam dan Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa”.

Ketiganya, tidak hanya memperdebatkan tema yang sudah ditetapkan KPU, tapi juga membahas sejumlah legislasi. Dalam catatan Tirto, dua cawapres yakni Gibran dan Mahfud saling berbicara soal hukum.

Pada sesi pertama, saat pemaparan visi-misi, Gibran menyinggung soal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.

"RUU Masyarakat Hukum Adat akan didorong agar lebih berkeadilan karena sesuai dengan prinsip sustainable development goals yaitu leave no one behind," kata Gibran.

Pada sesi ketiga, saat ditanya soal penanganan perampasan tanah adat, Gibran kembali menyinggung soal urgensi RUU Masyarakat Adat.

Di sisi lain, Mahfud mengaku hal tersebut juga menjadi salah satu program mereka yang akan diselesaikan.

"Nah, tentang RUU Hukum Masyarakat Adat sudah masuk di dalam program kami, di visi kami. Memang itu sudah sejak 2014 tidak jalan, akan kita jalankan," kata Mahfud dalam debat sesi ketiga.

Sebagai catatan, RUU Masyarakat Adat memang masih belum selesai. Mengutip data dari laman DPR RI, undang-undang ini masih dalam tahap pembahasan tingkat pertama.

Pengusulnya antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan, Fraksi Gerindra, Fraksi PAN, PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), Komnas HAM, dan Komite I DPD.

Undang-undang ini dibentuk dengan dasar Pasal 28D ayat (1) mengenai setiap orang berhak atas perlindungan yang sama di hadapan hukum. Juga Pasal 28I ayat (3) UUD NRI mengenai identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Rancangan undang-undang yang resmi dibahas sejak 2017 ini memiliki sejumlah tujuan, antara lain penguatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap eksistensi hak adat dalam masyarakat adat.

Kedua, membentuk peraturan undang-undang untuk mengatasi konflik yang banyak terjadi antara masyarakat dengan pemerintah atau investor yang bersumber pada sengketa hak adat. Ketiga, memperkaya prinsip serta nilai yang perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum nasional.

Selain RUU Masyarakat Adat, Gibran juga menyinggung soal Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2023 tentang pengakuan hutan adat. Ia mengklaim ada 1,5 juta hektare hutan adat telah diakui berkat aturan tersebut.

Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial (PDF) yang disahkan pada 30 Mei 2023 oleh Presiden Jokowi memuat masalah pengelolaan perhutanan sosial.

Pasal 5 perpres tersebut mengatur upaya pemerintah dalam distribusi pengelolaan hutan sosial yang mencapai 7 juta hektare lebih.

"Target untuk percepatan distribusi akses legal Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (l) huruf a adalah diberikannya Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial untuk areal seluas 7.380.000 (tujuh juta tiga ratus delapan puluh ribu) hektare sampai tahun 2030," bunyi pasal 5 Perpres tersebut.

UNJUK RASA MASYARAKAT ADAT KINIPAN DI PALANGKARAYA

Masyarakat adat Laman Kinipan dan Gerakan Solidaritas Untuk Kinipan melakukan ritual adat Dayak Tomun saat berunjuk rasa di depan Pengadilan Tipikor Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (31/1/2022). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/hp.

Tak hanya itu, Gibran juga menyinggung soal penegakan hukum dalam menghadapi pertambangan dan pembalakan liar sumber daya alam. Ia menilai pemerintah bisa mencabut izin usaha pertambangan (IUP) mengacu pada Undang-Undang Dasar dan Pancasila.

"Dari pasangan Prabowo-Gibran simpel saja, solusinya IUP-nya dicabut, izinnya dicabut. Simpel karena sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 dan 4, juga Pancasila Sila 4 dan 5. Kita ingin sumber daya alam ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan juga kita harus menjalankan Peraturan Menteri Investasi Nomor 1 Tahun 2022," kata Gibran di sesi dua debat.

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, memang mengamanatkan pengelolaan sumber daya demi kepentingan publik.

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," bunyi pasal 33 ayat 3.

Sementara itu, pasal 33 ayat 4 baru dimasukkan setelah revisi keempat UUD 1945.

Sedangkan Peraturan Menteri Investasi No 1 tahun 2022 membahas soal sanksi administrasi apabila pengusaha tidak menjalankan sesuai aturan.

Akan tetapi, peraturan dengan nama Peraturan BKPM Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kemitraan di Bidang Penanaman Modal Antara Usaha Besar dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Daerah per 10 Februari 2022 yang ditandatangani Bahlil Lahadalia tidak mengatur spesifik besaran sanksi.

Di kubu lain, Mahfud menyinggung momen pro rakyat saat menjadi hakim konstitusi. Ia bercerita pernah mengeluarkan vonis pro-rakyat soal pengelolaan sumber daya manusia.

"Pada 16 Juni 2011, sebagai Ketua MK saya sudah mengatakan apa-apa yang diperlukan. Saya membuat vonis pada 16 Juni bahwa sumber alam itu untuk memihak rakyat ukurannya ada empat. Satu, memihak rakyat. Dua, pemerataan. Tiga, partisipasi masyarakat. Dan kemudian penghormatan terhadap hak-hak yang diwariskan leluhur kita," kata Mahfud.

Pernyataan Mahfud merujuk pada Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 (PDF) tentang pengujian UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam putusan yang dibacakan pada 16 Juni 2011, permohonan yang dilayangkan KIARA, KPA, YLBHI, dan sejumlah pihak itu dikabulkan sebagian oleh Mahfud selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dan delapan hakim, di antaranya Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan Maria Farida.

Sementara itu, cawapres Muhaimin Iskandar sempat menyinggung bahwa pemerintah sudah memiliki regulasi soal redistribusi tanah. Ia mengacu pada Perpres 86 Tahun 2018.

"Bahwa redistribusi lahan ini bukan tidak sama dengan sertifikasi. Pemerintah sebetulnya sudah memiliki Perpres 86 tahun 2018 yang menentukan lokasi prioritas reformasi agraria, sehingga sebetulnya sederhana, laksanakan itu dengan sungguh-sungguh maka akan terdistribusi hak-hak tanah," kata Muhaimin dalam sesi debat ketiga.

Perpres 86 tahun 2018 memang berbicara soal reformasi agraria. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria itu diteken Presiden Jokowi pada 27 September 2018. Akan tetapi, regulasi ini telah dicabut dan diganti dengan Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.

ilustrasi konflik agraria

ilustrasi konflik agraria. FOTO/iStockphoto

Minim Rencana Langkah Strategis

Ketua YLBHI, M. Isnur, menilai upaya para cawapres menyinggung regulasi dalam debat keempat adalah bukti bahwa mereka tidak paham tentang regulasi. Ia mencontohkan bagaimana regulasi yang disinggung tidak pro kepada masyarakat adat.

"Terlihat para cawapres kurang mengetahui substansi secara mendalam mengenai regulasi tersebut. Justru sebenarnya di beberapa regulasi itu dalam praktiknya menjadi hambatan dalam pengakuan masyarakat adat," kata Isnur, Senin (22/1/2024).

Menurutnya, peraturan Mendagri yang terbit soal hukum adat malah menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemenuhan hak hukum adat dan cenderung politis.

Isnur juga menyinggung soal Perpres 86 yang disampaikan Muhaimin. Ia menilai, aturan terebut adalah reforma agraria palsu karena menimbulkan banyak masalah dalam pelaksanaan, apalagi ada ketentuan Program Strategis Nasional dan lain-lain.

Ia lalu menyoroti narasi Gibran lewat penyelesaian hutan sosial. Menurut Isnur, kebijakan perhutanan sosial menghilangkan hak adat.

"Itu kan sebenarnya bukan mengakui hak masyarakat, tetapi mengakui meneguhkan pengakuan hak negara. Masyarakat disuruh menyewa, masyarakat disuruh membayar, dan terkait masyarakat hukum adat juga sama," kata Isnur.

Terkait RUU Masyarakat Adat, Isnur mengritik ketiga cawapres. Menurutnya, Muhaimin sebagai Ketua Umum PKB, Mahfud yang menjabat sebagai Menkopolhukam, maupun Gibran yang notabene anak Presiden Jokowi, seharusnya bisa mendorong RUU Masyarakat Adat bisa selesai lebih cepat, bahkan dengan substansi yang tepat.

"RUU pun isinya lagi-lagi bermasalah. Jadi kalau dipercepat tanpa mengubah substansi, tanpa mengubah isi, malah berbahaya karena cenderung tidak menyelesaikan masalah yang ada di lapangan," kata Isnur.

Maka itu, dalam RUU Masyarakat Adat, Isnur meminta agar regulasi dibuat sesuai kebutuhan masyarakat adat dan bukan demi kepentingan investor dan pejabat DPR.

"Akhirnya apa? Justru bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah, apalagi dengan hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Minerba. Ya, kan, Undang-Undang IKN semua justru merampas tanah, hutan, lingkungan hidup, ruang hidup masyarakat adat," kata Isnur.

"Jadi, di satu sisi undang-undang yang mau dibuat sangat lambat dan tidak menyerap masalah yang inti. Kedua, banyak undang-undang lain yang justru menghantam kepentingan atau hak masyarakat adat," ungkapnya.

Deputi Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Fajri Nursyamsi, menilai para cawapres sudah mengetahui regulasi yang akan dibahas dalam debat. Akan tetapi, Fajri menyayangkan mereka tidak berani membahas soal strategi penggunaan hukum atau solusi masalah dalam tema debat.

"Penggunaan berbagai regulasi itu sebatas menjelaskan substansi hukum saja, tetapi tidak disertai dengan strategi atau langkah langkah penanganan permasalahan," kata Fajri, Senin (22/1/2024).

Fajri mencontohkan, cawapres Mahfud MD selaku Menkopolhukam saat ini paham masalahnya, tetapi menurutnya Mahfud hanya menjelaskan sampai pemetaan masalah, belum sampai kepada apa langkah strategis yang akan diambil.

Sementara itu, tambahnya, Muhaimin Iskandar memahami permasalahan dan memiliki visi besar arah perubahan, tetapi lagi-lagi tidak cukup kesempatan untuk menjelaskan langkah-langkah jangka pendek dan panjang yang akan diambil.

"Selain itu, untuk Gibran paham isunya, tetapi sepertinya memang masih perlu jam terbang untuk memahami situasi yang kompleks di lapangan. Sehingga beberapa upaya penjabaran langkah-langkah yang akan diambil tidak menyentuh perbaikan permasalahan," tutur Fajri.

Khusus untuk RUU Masyarkat Adat, Fajri menyayangkan tidak ada yang menerangkan mengapa RUU tersebut selama ini tertunda. Mereka juga tidak menunjukkan komitmen penyelesaian RUU yang sampai saat ini mandek.

"Selain itu, komitmen yang disampaikan untuk melanjutkan pembahasan tidak diikat dengan komitmen partai pendukungnya, sehingga seolah terlihat hanya sekadar janji kampanye saja," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - News
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irfan Teguh Pribadi