tirto.id - Jerih payah José R. Martínez Cobo tak sia-sia. Laporan berjudul Study of the Problem of Discrimination Against Indigenous Population yang ditulis pada 1982 menginisiasi peristiwa penting yang terjadi lebih dari dua dekade kemudian, yakni disahkannya Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP) pada 13 September 2007, persis hari ini 14 tahun yang lalu.
Laporan Cobo menyentak perhatian banyak orang. Ia menjabarkan tatkala kelesuan ekonomi melanda dunia awal 1980-an, ada kelompok manusia yang selalu didiskriminasi oleh negara dengan segala kebijakannya, yaitu, sebagaimana judul laporan, masyarakat adat. Ia lantas memberikan solusi, yaitu pemulihan atas 10 hak: tanah, kesehatan, perumahan, pendidikan, bahasa, sosial-budaya dan pranata hukum, pekerjaan dan pelatihan, hak politik, hak beragama, dan keadilan administrasi melalui pendampingan hukum.
Pada tahun itu juga PBB membentuk kelompok kerja masyarakat adat yang berada di bawah naungan Sub-Komisi untuk Hak Asasi Manusia. Tugas utamanya adalah membuat rancangan deklarasi.
Kelompok kerja pertama kali mengajukan draf deklarasi kepada Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas pada 1994. Draf tersebut dikirim untuk dipertimbangkan ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB bidang Ekonomi Sosial dan Budaya. Draf ini kemudian diperinci oleh kelompok kerja antar-sesi untuk diadopsi di Majelis Umum PBB.
Karena sepanjang 1995-2004 kelompok kerja gagal mengurai draf deklarasi pertama, masa kerja mereka ditambah dua dekade lagi, yaitu 2005-2015–meski rampung hanya beberapa tahun kemudian.
Pada 29 Juni 2006, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengadopsi Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat. Kemudian, pada 28 Desember 2006, Komite Ketiga Majelis Umum bidang Sosial Ekonomi dan Budaya mengadopsi rancangan resolusi yang didukung oleh beberapa negara Eropa dan Amerika Latin. Namun inisiatif yang dipimpin oleh Namibia, bersama oleh sejumlah negara Afrika, menghasilkan rancangan perubahan. Dalam bentuk barunya, rancangan tersebut meminta Majelis memutuskan “untuk menunda serta mempertimbangkan secara matang Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, juga memberi waktu untuk konsultasi lebih lanjut di tiap-tiap perwakilan negara.”
Akhirnya, pada 13 September 2007, Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat diadopsi oleh 144 negara. Sebanyak 11 negara abstain (Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, Burundi, Kolombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Rusia, Samoa, dan Ukraina).
Sementara yang menentang hanya empat negara, yaitu Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Ketika itu empat negara tersebut sulit mengakui suku asli di negaranya sebab masih kental dengan ekspresi white supremacy. Beruntung mereka berangsur-angsur membalikkan posisi dan menyatakan dukungan untuk Deklarasi Masyarakat Adat.
Dengan demikian, upaya merancang instrumen perlindungan masyarakat adat di seluruh dunia dilakukan kelompok kerja selama 24 tahun. Prosesnya berjalan sangat lambat karena kekhawatiran negara-negara terhadap beberapa ketentuan inti dari rancangan deklarasi, yaitu hak masyarakat adat menentukan nasib sendiri dan penguasaan sumber daya alam di atas tanah-tanah adat.
Negara yang abai atas adanya pluralisme hukum termasuk hukum-hukum lokal khawatir terjadi disintegrasi jika menyetujui deklarasi tersebut. Padahal, menurut Dashlibroon dan Zamani dalam Journal of Critical Reviews (2020), sistem peradilan non-pemerintah dan adat justru hampir menangani semua konflik. Diperkirakan setidaknya 80 atau 90 persen konflik di negara-negara transisi demokrasi diselesaikan oleh sistem peradilan tidak resmi atau tradisional.
“Supremasi hukum dalam masyarakat yang berada dalam transisi kediktatoran menuju demokratis amatlah konfrontatif. Hal ini dikarenakan kapasitas hukum nasional di negara transisi tersebut tidak dapat menangkap hukum lokal di negaranya. Sementara itu mekanisme formalisme atau informalisme hukum tidak dapat efektif karena dalam situasi yang selalu berlawanan. Sistem hukum yang adaptiflah yang seharusnya dikembangkan,” tulis mereka.
Revivalisme Adat di Indonesia
Inspirasi gerakan masyarakat adat pada medio 1980-an sampai ke Indonesia. Di tengah proyek swasembada pangan dan berbagai kebijakan pembangunan Orde Baru, gerakan masyarakat adat muncul secara sporadis. Situasi ini menggugah keprihatinan banyak aktivis dan akademisi. Dalam rangka konsolidasi kekuatan, pada 1993 di Toraja, Sulawesi Selatan disepakati pembentukan wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum, dan aktivis.
Hasil lain dari pertemuan itu adalah menyepakati “indigenous peoples” dalam konteks Indonesia sebagai “masyarakat adat”. Pertemuan ini menegaskan bahwa masyarakat adat adalah sekelompok manusia bermartabat dan memiliki hak konstitusional untuk diperlakukan layaknya warga negara lain. Ini merupakan perlawanan terhadap Orde Baru yang menggunakan istilah melecehkan terhadap masyarakat adat seperti “suku terasing”, “masyarakat perambah hutan”, “peladang liar”, “masyarakat primitif”, dan “penghambat pembangunan”.
David Henley dan Jamie S. Davidson (2008) mengatakan ada gerakan di desa-desa yang menolak keras menyerahkan tanah adat untuk tujuan pembangunan. Bahkan dalam kasus-kasus tanah komunal atau tidak bersertifikat biasanya yang menempati tak mendapat kompensasi apa pun. Kelompok ini kemudian menjadi sasaran intimidasi, penahanan, dan kriminalisasi.
Gerakan Reformasi 1998 yang menuntut pengalihan kekuasaan dari pusat ke pinggiran (desentralisasi) memunculkan gerakan kebangkitan kembali (revivalisme) adat. Menurut Adam D. Tyson (2010), hal ini dipicu karena kebijakan terpusat tidak memberikan tempat bagi partisipasi publik dan otonomi dianggap mampu memberikan ruang pengakuan dan pemulihan hak masyarakat adat.
Reformasi juga dijadikan momentum untuk memajukan gerakan. Pada 17-22 Maret 1999, untuk pertama kalinya dilaksanakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) di Hotel Indonesia, Jakarta. Lebih dari 400 pemimpin dan pejuang masyarakat adat hadir dalam KMAN I untuk melakukan konsolidasi dan identifikasi cita-cita bersama. KMAN I mendiskusikan berbagai permasalahan masyarakat adat, seperti: pelanggaran hak asasi manusia; perampasan tanah, wilayah, dan sumber daya; pelecehan terhadap budaya adat; dan kebijakan pembangunan yang meminggirkan masyarakat adat.
KMAN I juga membahas dan menyepakati visi-misi, asas, dan program kerja bagi masyarakat adat. KMAN I menghasilkan Pandangan Dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 tentang “Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara” yang dengan keras menegaskan bahwa masyarakat adat telah lebih dulu eksis sebelum Indonesia. Posisi itu ditampilkan dalam jargon: “jika negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak akan mengakui negara.” KMAN I pun memberikan landasan kesetaraan gender dalam gerakan masyarakat adat.
Dari KMAN I inilah terbentuklah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan masyarakat adat. Organisasi ini eksis sampai sekarang. Hari pertama kongres juga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan sekaligus Hari Ulang Tahun AMAN.
Menggugat melalui Hukum
Secara global, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menggugah keberanian masyarakat adat untuk membawa kasus mereka ke ranah hukum.
Di Indonesia, AMAN, Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu di Banten, dan Masyarakat Adat Kuntu di Riau pernah mengajukan uji materi UU Kehutanan (UU 41/1999). Hasilnya, pada Juni 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan penggugat untuk mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Situs resmi MK menyatakan “harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat.” Sementara pada hutan negara “negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum,” pada hutan adat “wewenang negara dibatasi.” Ringkasnya, hak mengelola dan memanfaatkan ada pada masyarakat adat, bukan negara.
Dua tahun kemudian, masyarakat adat Wampis Peru menggugat konstitusi dengan menyatakan memiliki pemerintah adat yang otonom dan mempertahankan 1,3 juta hektare wilayah mereka dengan hukum adat. Di Kenya pada 26 Mei 2017, Pengadilan Hak Asasi Afrika memenangkan komunitas Ogiek melawan pemerintah. Berkat kemenangan ini mereka berhak atas tempat tinggal di kawasan hutan madu sekaligus mempercepat pengesahan Undang-Undang Tanah Masyarakat atas Wilayah Tenurial Adat. Ada pula putusan-putusan pengadilan yang menyiratkan hal-hal positif seperti keputusan Pengadilan HAM Inter-Amerika terhadap Suriname yang menyoroti hak-hak masyarakat adat Saamaka.
Semua keputusan tersebut sebagian besar merujuk pada Deklarasi 2007. Hal ini tentu menjadi yurisprudensi (rujukan melalui peradilan) bahwa sebagian besar instrumen hukum menegaskan kembali masyarakat adat sebagai subjek hukum. Kemajuan-kemajuan ini dapat memberikan inspirasi masyarakat adat di belahan bumi lain untuk terus berjuang mempertahankan hak mereka.
Namun di sisi lain para perampas lahan juga terus memikirkan strategi formal untuk menguasai tanah-tanah adat. Skema invasi dengan mengatasnamakan lahan pangan, ekonomi hijau, dan pembangunan ramah lingkungan sering jadi dalih bahwa mereka telah menghargai hak adat. Karenanya tekanan bagi masyarakat adat terus ada dan bahkan meningkat. Mereka tetap terancam penggusuran, perampasan tanah melalui dalih legalisasi, dan perampasan tutupan hutan yang semakin tinggi.
Cara-cara perampasan non-legal pun tetap terjadi. Defender of the Earth dari Global Witness melaporkan terdapat lebih dari 200 pembela tanah dan lingkungan–hampir 40%-nya adalah masyarakat adat–yang mengalami diskriminasi dan kekerasan. Hingga 2016 bahkan telah terjadi pembunuhan di 24 negara karena masyarakat adat mempertahankan tanah mereka dalam situasi konflik.
Dampaknya, selain tanah itu sendiri, bahasa dan religi adat juga telah banyak musnah terutama di wilayah Amerika Latin dan Asia Pasifik.
Hari-hari ini pemulihan masyarakat adat acap kali hanya bersifat artifisial. Kita lebih banyak melihat upacara simbolis para pejabat menyerahkan penghargaan yang diiringi pesta dan tari-tarian tapi minim merasakan adanya partisipasi masyarakat adat dalam pembangunan. Kebutuhan dasar pun masih jauh dari kata terpenuhi.
Selain itu, kebijakan bagi kelompok adat juga kerap bersifat karitatif (kasihan) dan uniformitas (seragamisasi). Masyarakat adat dianggap satu kesatuan tunggal yang itu tak sesuai dengan kenyataan. Perempuan adat–yang memiliki pengetahuan tentang wilayah domestik mereka sendiri–misalnya, jelas berbeda dengan para elite adat.
Karena masyarakat adat pun beragam, maka semestinya kebijakan yang ada harus atas dasar asas non-aggression principle (NAP). Prinsip non-intervensi adalah posisi etis yang menyatakan bahwa agresi atau pelanggaran terhadap hak dan wilayah otonomi orang lain adalah kesalahan. Tanpa prinsip ini, kelompok perempuan adat mengalami kekerasan bertubi. Prinsip NAP juga semestinya menyasar kelompok rentan lain seperti pemuda adat, kaum difabel adat, hingga anak-anak adat.
Dengan NAP, maka inklusi sosial lebih mungkin tercapai. Inklusi sosial juga dapat memperkuat gerakan masyarakat adat global dan bisa saja lebih kompatibel dengan prinsip lokalisme yang menyadari pentingnya skalabilitas di dalam menerapkan prinsip etis/politis di dalam hidup bermasyarakat (berbuat adil terhadap lingkup kecil terlebih dahulu sebelum menerapkan keadilan sosial skala besar).
Pada akhirnya, belasan tahun setelah deklarasi, masyarakat adat masih terpinggirkan. Hingga kini gugatan masyarakat adat pada dunia terus-menerus dilakukan dan semakin keras, tapi kebijakan pemulihannya begitu malas.
Editor: Rio Apinino