Menuju konten utama

Pulau Antariksa di Biak, Apa Risikonya Untuk Masyarakat Adat?

Warga Biak tetap menolak proposal "Pulau Antariksa" karena warga dan dewan adat tidak dilibatkan dalam perencanaannya.

Pulau Antariksa di Biak, Apa Risikonya Untuk Masyarakat Adat?
Ilustrasi Roket. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sewaktu menemani ahli geologi Forbes Wilson menjelajah mencari stok bijih di Lembah Tsinga hingga Lembah Waa pada 1960, Mozes Kilangin sepertinya tidak pernah menyangka bahwa penjelajahan itu kelak mendatangkan lubang neraka di tengah pegunungan suci bak surga bagi kaumnya, orang Amungme, dan membuka pintu kesengsaraan massal: perampasan tanah, rumah, lahan berburu, sumber daya alam, hingga nyawa.

Pada 1967, hasil ekspedisi itu membawa Freeport Sulphur Company kepada serangkaian pertemuan dengan Menteri Pertambangan dan Perminyakan Jenderal Ibnu Sutowo. Freeport mengusulkan permohonan untuk melakukan operasi tambang di wilayah “gunung bijih” yang dijelajahi oleh Wilson pada 1960, dan sebelumnya oleh Jean Jacques Dozy pada 1936. Berkat mahakarya Soeharto, UU Modal Asing (UU No. 1/1967), pada tahun yang sama Freeport berhasil mendapatkan izin tambang dan kontrak karya pertamanya (KK-1) dengan waktu operasi selama 30 tahun sejak 1973. Orang Amungme tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pembuatan kontrak karya tersebut. Dalam KK-1, Freeport diberikan kewenangan yang luas untuk mengurus bakal lahan tambang tanpa kewajiban berkonsultasi dengan masyarakat Amungme yang sudah sejak lama sekali tinggal di sana.

Puluhan tahun berselang, kisah-kisah serupa menghiasi hubungan masyarakat adat Papua dengan pemerintah Indonesia. Belakangan, santer kabar soal pembangunan proyek yang digadang-gadang akan menyulap Biak menjadi “Pulau Antariksa”. Rencana ini pertama kali diungkapkan oleh Kepala Badan Riset Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro dalam “Webinar Nasional Kebijakan Penerbangan dan Antariksa V” tahun lalu (16/9/2020). Disebutkan bahwa Indonesia sudah memiliki wacana untuk membangun bandara antariksa di Biak, sebab pulau itu dinilai menguntungkan berkat posisinya yang dekat dengan ekuator. Posisi ini membuat biaya peluncuran roket menjadi lebih murah karena bisa menjangkau Geostationary Earth Orbit (GEO) dengan lebih mudah.

Menjelang Desember 2020, wacana itu agak bergeser. Jika sebelumnya wacana pembangunan bandara antariksa ini disebut hanya untuk riset, pengembangan dan inovasi di bawah LAPAN, menjelang akhir tahun 2020 proyek ini mulai dikaitkan dengan perusahaan antariksa internasional milik triliuner Elon Musk, SpaceX. Sebagaimana dilaporkan oleh The Guardian, pada Desember 2020 Jokowi menawarkan Biak sebagai ‘Pulau Antariksa’ bagi peluncuran roket dan penerbangan komersial SpaceX. Laporan itu juga menyebut tawaran Jokowi terkait dengan promosi cadangan tembaga dan nikel di Papua yang bisa digunakan sebagai material pembuatan roket bagi SpaceX dan baterai mobil listrik Tesla.

Biak Menolak

The Guardian melaporkan penolakan dari masyarakat Biak yang khawatir jika proyek itu mengacaukan tatanan kehidupan warga setempat yang sangat bergantung pada alam. Menariknya, ternyata pada 2002 masyarakat Biak pernah mengalami hal serupa. Waktu itu, Rusia berencana menjadikan Biak sebagai situs peluncuran untuk 2024. Warga Biak menolak, lalu ditangkap dan diinterogasi. Sekarang, mereka khawatir kejadian yang sama mesti terulang. Ini dikatakan oleh kepala suku Manfun Sroyer. Manfun Sroyer mungkin tidak ingin kejadian yang menimpa Mozes Kilangin dan orang Amungme menimpa orang Biak.

“Pada 2002, Rusia menginginkan tanah kami untuk peluncuran satelit,” katanya kepada The Guardian. “Kami memprotes, banyak yang ditangkap dan diinterogasi, sekarang mereka membawanya kembali, gangguan dan intimidasi ini masih berlangsung.”

Menanggapi kabar itu, LAPAN memberikan klarifikasi kepada BBC pada 23 Maret lalu. LAPAN menyebutkan bahwa tanah di Desa Saukobye, Distrik Biak Utara sudah dimiliki oleh LAPAN untuk disiapkan menjadi situs peluncuran roket sejak 1980-an. Saat ini, persiapan itu hendak dimatangkan mengingat situs peluncuran roket LAPAN yang ada di Pameungpeuk, Garut tidak mendukung peluncuran roket skala besar akibat padatnya penduduk. Adapun terkait keterlibatan SpaceX, LAPAN menyebut bahwa perusahaan itu hanya akan berinvestasi untuk membangun landasan penerbangan komersial di Biak, bukan peluncuran roket atau satelit. Meski demikian, warga Biak tetap menolak usulan ini karena warga dan dewan adat tidak dilibatkan dalam perencanaannya.

Di samping kebutuhan akan riset dan inovasi untuk bidang antariksa di Indonesia, beberapa peneliti menilai proyek ini mesti ditinjau secara hati-hati apalagi jika melibatkan perusahaan sekaliber SpaceX. Mereka juga berharap ada upaya mendudukkan masyarakat Biak sebagai subjek yang punya kehendak penuh atas tanah dan kehidupannya. Jika tidak, proyek ini akan memperpanjang episode penyingkiran dan pembungkaman masyarakat adat Papua dalam berbagai macam agenda pembangunan Indonesia, yang dalam kasus ini lagi-lagi melibatkan perusahaan raksasa. Pasalnya, secara historis—mulai pertambangan Grasberg sejak beberapa dekade lalu, hingga perkebunan monokultur massal di Merauke belakangan—proyek pembangunan seperti ini cenderung menyingkirkan masyarakat adat di Papua.

'Invasi Alien' dari Grasberg hingga MIFEE

Kesepakatan yang diteken Freeport pada 1967 kini menyisakan tambang Grasberg yang menganga di tengah gunung suci orang Amungme. Di pesisir, operasi tambang itu juga berdampak pada orang Kamoro yang sama-sama menggantungkan hidup pada alam.

Seperti dilukiskan oleh pengamat lingkungan dan industri ekstraksi Abigail Abrash dalam Cultural Survival Quarterly (Vol. 25, No. 1, 2001), kehadiran tambang Grasberg dan operasi Freeport datang mengacaukan tatanan kehidupan orang Amungme bak invasi alien. Dengan perkembangan kota tambang Tembagapura, tercatat sejak 1990-an populasi di area itu meledak sebanyak lebih dari 60.000 jiwa. Para migran datang dari daerah lain di Papua, bahkan kebanyakan dari luar Papua.

“Amungme dan Kamoro menjadi lebih terlantar dan terpinggirkan—secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya—olehorang luar yang berkerumun ke area ini dengan “ledakan ekonomi” yang diciptakan oleh tambang dan infrastrukturnya,” imbuh Abrash.

Invasi ini juga disokong kekuatan militer yang menurut Abrash telah melakukan pelanggaran HAM terhadap orang Amungme sejak 1972. Selama dekade 1970-an, setidaknya ada 150 orang Amungme yang dibunuh. Dugaan pelanggaran HAM itu diperkuat dengan laporan Komnas HAM pada 1995 yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM di Timika “terhubung langsung ke [tentara] yang bertindak sebagai pelindung untuk bisnis pertambangan PT Freeport Indonesia.” Selain pembunuhan, Abrash mencatat pelanggaran itu meliputi penghilangan orang, penculikan, penghancuran rumah, gereja, dan bangunan lain. Puluhan tahun selepas lubang tambang dibuka oleh Freeport dan pemerintah Indonesia, masyarakat adat Papua di tempat lain ternyata masih harus menerima invasi serupa yang tampil dalam wujud berbeda.

Di Khalaoyam, Merauke, tempat orang Marind hidup, 'invasi alien' itu mengambil wujud perkebunan sawit berskala besar yang dijalankan di bawah program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Antropolog asal University of Sydnes Sophie Chao menceritakan pengalamannya saat ia bertemu dengan orang Marind yang merasa dihantui oleh perkebunan sawit.

“Pohon sawit itu seperti tentara: berbercak hitam dan hijau. Mereka membunuh. Mereka kuat. Mereka orang Indonesia, bukan Papua. Mereka memakan kita,” ucap Rosalina salah seorang Marind saat menceritakan mimpinya dimakan pohon sawit. Demikian yang dituturkan oleh Sophie Chao dalam studinya “In the Shadow of the Palm: Dispersed Ontologies among Marind, West Papua” yang dimuat di Cultural Anthropology (Vol. 33, No. 4, 2018). Chao melaporkan selama masa tinggalnya di Khalaoyam sejak 2011, warga Marind sering mendapati mimpi buruk tentang sawit yang menghancurkan rumah dan hutan mereka. Sayangnya, itu tidak sekadar mimpi, namun memang terjadi betulan.

Berdasarkan keterangan Chao, sekitar 1–2 juta hektar lahan di Papua diberikan konsesinya kepada perusahaan perkebunan monokultur, terutama sawit di bawah program MIFEE sejak 2008. Orang Marind adalah salah satu populasi yang mesti terdampak akibat program ini. Wawancara Chao bersama orang Marind mengungkap bahwa sejak program itu digalakkan, orang Marind tidak dilibatkan, dan program berjalan tanpa persetujuan mereka.

Salah satu dampak terbesarnya tentu adalah kerusakan ekologi di sekitar komunitas Marind. Sebelum kedatangan MIFEE, orang Marind menggantungkan penghidupan pada hasil hutan, misalnya sagu. Setelah MIFEE, Chao menyebut orang Marind menghadapi ancaman krisis pangan dan polusi air. Karena tidak bisa memanen hasil hutan sebaik sebelumnya, mereka diperkenalkan kepada produk-produk instan dari pasar. Akibatnya, muncul pola hidup baru: konsumerisme. Di sisi lain, mereka tidak memiliki banyak uang untuk hidup dengan pola seperti itu.

Selain itu, kedatangan sawit juga mengganggu aspek kultural orang Marind. Salah satu yang ditemukan Chao adalah kacaunya sistem kosmologi dan relasi multispesies orang Marind dengan hutan. Setiap klan Marind memiliki kerabat masing-masing yang menjelma tetumbuhan di hutan seperti amai (kakek) dan saudara kandung (namek). Ini bukan sekadar hubungan kekerabatan tanpa makna. Hubungan dengan tetumbuhan di hutan menjaga relasi mutual antara orang Marind dengan alam, sehingga menyokong kehidupan subsisten warga.

Amai tumbuh untuk mendukung manusia dengan memberi mereka makanan dan sumber daya lainnya,” tulis Chao. “Sebagai imbalannya, memberi hormat dan menjalankan pantrangan ketika mereka berinteraksi dengan Amai di hutan, mengingat kisah-kisah mereka, berburu, mengumpulkan, dan mengonsumsinya.”

Bagi orang Marind, sawit adalah 'spesies alien' yang invasif, sebab sawit didatangkan dari luar dan mengonsumsi air dalam jumlah besar, kemudian meninggalkan kerabat tumbuhan orang Marind menjadi sengsara dan mati di hutan.

“Terputus dari hutan, kita hidup dalam kesepian. Terputus dari hutan, kita juga mati dalam kesepian,” kata seorang perempuan Marind dalam catatan lapangan Chao lain yang dimuat di kolom editorial Cultural Anthropology (2021).

Infografik Pulau Antariksa di Biak

Infografik Pulau Antariksa di Biak

Pulau Antariksa, Kekhawatiran Invasi Lain

Peneliti seperti Chao khawatir jika episode penyingkiran masyarakat adat Papua seperti yang terjadi pada orang Amungme, Kamoro dan Marind masih akan terus berlanjut, salah satunya melalui proyek pembuatan situs peluncuran roket di Pulau Biak. Dalam tulisan lainnya yang dimuat di The Conversation, Chao memberikan perspektif masyarakat Biak mengenai rencana “Pulau Antariksa” ini.

Dari hasil wawancara sepanjang Maret dan April 2021, Chao menyebut penduduk Biak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. Mereka juga menuntut hak untuk menentukan arah pembangunan itu. Ini dinilai penting mengingat orang Biak, sama seperti Marind atau Amungme, memiliki keterikatan multispesies dengan lingkungannya. Mereka khawatir keterikatan ini akan terganggu.

“Beberapa masyarakat yang diwawancarai menjelaskan bahwa klan dan suku di Biak berbagi leluhur dengan tanaman, spesies dan lokasi di lanskap yang berbeda, yang juga menjadi tanggung jawab mereka untuk dijaga dan dilindungi,” tulis Chao.

Selain itu, Chao juga menyoroti risiko penggusuran dan konflik yang akan terjadi. Desa Soukabye yang digadang-gadang sebagai target pembangunan merupakan area berpenduduk. Maka, ada kemungkinan penggusuran atau pemindahan populasi. Sementara itu, penduduk Biak mengatakan bahwa pemindahan populasi di pulau itu bisa menyebabkan konflik dan sengketa antara satu suku dengan suku lain.

“Salah satu tetua Biak yang saya wawancarai menyatakan bahwa memindahkan suku ke wilayah lain akan menyebabkan masalah dengan suku-suku yang sudah berdiam dan memiliki lahan di daerah tersebut,” ungkap Chao.

Di samping risiko ketegangan, Chao juga khawatir jika risiko konflik akibat proyek tersebut akan membangkitkan trauma dan luka lama masyarakat Biak terkait pembantaian massal pada 1998 yang melibatkan aparat keamanan Indonesia di pulau itu. Menurut Chao, warga Biak masih mencita-citakan agar ada pengakuan terhadap tragedi itu secara nasional dan internasional. Mereka juga ingin para pelakunya segera diadili. Sayang, alih-alih mendapatkan perhatian, Chao melihat sejarah kelam itu berisiko terkubur wacana ajaib “Pulau Antariksa”. Di sisi lain, perasaan traumatis yang dialami masyarakat Biak masih bertahan.

Sementara itu, seperti diwartakan oleh Jubi pada Maret lalu seorang aktivis dan pengacara asli Biak Imanuel Rumayom mengatakan bahwa yang paling penting saat ini adalah keterbukaan informasi dari pemerintah pusat, daerah dan institusi lain yang terlibat. Pasalnya, Imanuel berpendapat selama ini warga Biak tidak mendapatkan kabar jelas soal rencana seperti apa yang akan dijalankan di pulau yang mereka tinggali.

“Bagaimana kita bisa memutuskan jika pemerintah belum memberikan informasi yang jelas kepada orang-orang Biak?” ucap Imanuel kepada Jubi (30/03/2021)

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Mochammad Naufal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Mochammad Naufal
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Windu Jusuf