Menuju konten utama

Label Teroris dan Eskalasi Konflik Bersenjata di Papua

Konflik bersenjata di Papua semakin masif setelah pemerintah melabeli OPM sebagai teroris. Pendekatan keamanan seperti ini dianggap keliru.

Label Teroris dan Eskalasi Konflik Bersenjata di Papua
Puluhan mahasiswa asal Papua menggelar aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/8/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Terjadi eskalasi konflik di Papua seiring dengan wacana pelabelan teroris terhadap kelompok bersenjata pro kemerdekaan dari pemerintah pusat. Situasi ini semakin mengaburkan rasa aman warga sipil sekaligus dianggap sebagai bukti bahwa pendekatan keamanan tidak tepat untuk mengatasi persoalan.

Wacana melabeli kelompok bersenjata--aparat dan pemerintah sebelumnya menyebut kelompok kriminal bersenjata (KKB)--sebagai teroris sebenarnya telah muncul bertahun-tahun yang lalu, namun baru direalisasikan oleh pemerintah lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD per 29 April 2021 lalu.

Rabu (19/5/2021) lalu, mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengatakan setidaknya ada lima kali kontak senjata beberapa hari sebelum pengumuman KKB sebagai teroris. Pertama di Ilaga pada 27 April dengan korban jiwa seorang anggota Brimob, lima anggota kelompok bersenjata, dan dua luka. Kemudian pada 13 Mei di Ilaga dengan korban jiwa satu anggota kelompok bersenjata.

Lalu 6 Mei di Ilaga dengan satu anggota kelompok bersenjata tewas; kemudian 18 Mei di Yakuhimo dan Pegunungan Bintang. Di Yakuhimo kontak senjata mengakibatkan dua TNI meninggal, lalu di Pegunungan Bintang empat aparat terluka.

Angka ini relatif tinggi mengingat peristiwa serupa sepanjang 2020 terjadi sebanyak 23 kali atau rata-rata kurang dari dua kali dalam sebulan.

Sementara berdasarkan data dari Gugas Papua UGM 2021, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodawardhani menyebut dari awal 2010 sampai April 2021 ada 299 kasus kekerasan terjadi di Papua dengan jumlah korban meninggal hingga 395 orang. "Dan 1.579 orang terluka akibat tembakan, terkena panah, atau bacokan senjata tajam," kata Jaleswari dalam diskusi daring, Kamis (6/5/2021).

Data itu menyebut pelaku kekerasan terbanyak adalah KKB (188 kasus), warga (65 kasus), orang tak dikenal (14 kasus), TNI (15 kasus) dan polisi (13 kasus). Korban terbanyak adalah warga sipil yakni 1.396 orang luka-luka (88 persen dari total korban) dan 275 meninggal (70 persen dari korban meninggal). Sebagai catatan, data ini belum memasukkan kasus saat kelompok bersenjata ditetapkan sebagai teroris.

Kejadian serupa mungkin akan bertambah karena Mahfud menegaskan bahwa "aparat keamanan akan terus mengejar dan melumpuhkan para pelaku teror," yang menurutnya demi "melindungi masyarakat agar merasa aman."

"Sekarang ini pemerintah terus berupaya menumpas habis kelompok teroris tersebut. Menumpas habis aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok teroris baik di Papua maupun teroris Mujahidin Indonesia Timur," kata Mahfud.

Ia menyebut kelompok-kelompok ini "semakin terdesak dalam operasi pengejaran."

Di sisi lain, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TNPB-OPM)--kelompok yang disebut pusat sebagai teroris--pun mendeklarasikan diri tak akan mundur. Juru Bicara TNPB-OPM Sebby Sembom menegaskan bahwa "kami akan terus berjuang sampai Papua merdeka penuh dari tangan pemerintah kolonial Indonesia."

Dia bilang dalam kontak senjata yang terjadi akhir-akhir ini pemerintah menutup-nutupi jumlah aparat yang meninggal dunia. "Kami TPNPB-OPM mengingatkan TNI/Polri jangan menutupi anggota yang tewas; harus mengaku karena mereka punya keluarga dan marga," kata Sebby, Rabu.

Bukan Pendekatan yang Tepat

Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar berpendapat kalau eskalasi konflik di Papua meningkat akibat pelabelan kelompok bersenjata sebagai teroris. Pada akhirnya situasi ini memicu hilangnya hak atas rasa aman warga sipil.

"Situasinya semakin diperparah dengan kondisi komunikasi yang terbatas," kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Rabu.

Internet di Papua tak dapat diakses karena kabel serat bawah laut putus pada 14 Mei lalu. Pemerintah menargetkan koneksi pulih pada Juni. Meski pemerintah menyebut itu karena gempa, Rivanlee khawatir itu "ada upaya pembiaran. paling tidak by design atau terstruktur untuk membiarkan kondisi di Papua seperti itu terus."

Dengan internet yang tak bisa diakses, ia khawatir publik kesulitan mendapatkan informasi yang sesuai fakta, apalagi kondisi Papua sudah buruk dari sisi kebebasan sipil, hak atas rasa aman, serta hilangnya banyak nyawa masyarakat.

Menurut Rivanlee, konflik Papua bisa diselesaikan dengan dialog, bukan dengan pendekatan keamanan seperti yang selama ini berjalan. Dialog harus dilakukan dengan dua syarat. Pertama menarik pasukan TNI-Polri. Pemerintah sudah mengirim ribuan pasukan untuk menangani kelompok bersenjata. Kedua, pemerintah harus memperbaiki ruang komunikasi.

"Paling enggak dua hal itu harus dilakukan jika memang negara masih ingin mendengar kritik atau masukan dari masyarakat sipil," kata Rivanlee.

Sementara pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat pemerintah sebenarnya sudah berupaya menggunakan pendekatan kesejahteraan dalam menangani Papua. Masalahnya adalah siapa yang menikmati pendekatan tersebut.

"Selama ini pendekatan itu lebih menunjukkan kepentingan Jakarta ketimbang kepentingan orang Papua. Bahkan bukan hanya Jakarta tapi sebagai kepentingan militer, aparat keamanan," kata Fahmi kepada reporter Tirto, Rabu.

Bersamaan dengan pendekatan kesejahteraan yang tak berhasil, pendekatan keamanan juga terus diintensifikasi dengan menetapkan OPM sebagai teroris, yang ujung-ujungnya tetap mengancam sipil.

"Kalau kita bicara teror secara filosofis--menimbulkan ketakutan yang meluas--saya kira ketakutan yang meluas tidak hanya datang dari aksi KKB tapi juga bagi masyarakat Papua itu juga datang dari aksi penindakan atau aksi operasi yang dilakukan oleh TNI-Polri," kata Fahmi.

Sama seperti Rivanlee, Fahmi pun mendorong dialog untuk penyelesaian kasus Papua. Toh sejarah mencatat banyak konflik berakhir dengan dialog. Misalnya konflik Aceh dan Maluku.

Selain itu ia juga mengingatkan kalau Indonesia juga pernah berada pada posisi seperti KKB saat perang kemerdekaan. Peristiwa Bandung Lautan Api, katanya, dianggap sebagai bentuk teror oleh Belanda.

"Menurut mereka, mereka sedang berjuang, sedang memperjuangkan kemerdekaan, memperjuangkan cita-cita. Ya, pasti mereka ngotot. Supaya mereka enggak ngotot, berarti harus gimana merayunya, gimana dialognya berjalan. Itu yang menurutku belum ketemu formulanya," kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino