Menuju konten utama

Mengurut Asal dan Motif Rencana Memasukkan OPM ke Daftar Teroris

Rencana memasukkan OPM sebagai teroris telah muncul bertahun lalu. Para politikus mengatakan dunia internasional semestinya turut memberangus OPM.

Mengurut Asal dan Motif Rencana Memasukkan OPM ke Daftar Teroris
Puluhan mahasiswa asal Papua menggelar aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/8/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan ‘kelompok kekerasan bersenjata’ (KKB) di Papua dimasukkan ke dalam kategori ‘teroris’. Hal tersebut langsung disampaikan oleh Kepala BNPT, Boy Rafli Amar—yang pernah menjadi Kapolda Papua—saat rapat dengan Komisi III DPR RI, Senin (22/3/2021) lalu.

“Kami terus menggagas diskusi dengan beberapa kementerian/lembaga berkaitan dengan nomenklatur kelompok bersenjata, untuk kemungkinan apakah ini bisa dikategorikan sebagai organisasi terorisme,” kata Boy.

Ia menilai ragam ulah yang dilakukan oleh KKB bisa disejajarkan dengan aksi-aksi teroris karena menggunakan kekerasan, ancaman, pemakaian senjata api, hingga menimbulkan ketakutan bagi publik.

Boy mengatakan selama ini ada rencana membentuk Forum Koordinasi Penanggulangan Teroris di Papua dan Papua Barat, namun masih terhambat karena perbedaan pemahaman soal kelompok bersenjata.

Hal serupa juga pernah diajukan oleh salah satu anak buah Boy, Direktur Deradikalisasi BNPT Irdan Idris, pada 16 Januari lalu. Kata dia, selama ini label ‘teroris’ hanya ditujukan kepada kelompok yang menggunakan simbol keagamaan, padahal entuk radikalisme memiliki tiga macam: politik, keyakinan, dan tindakan. Ia mengatakan apa yang dilakukan KKB masuk ke kategori politik dan tindakan.

“Itu justru lebih berbahaya karena kalau dibiarkan terus-menerus akan menghabisi wilayah Republik Indonesia,” kata dia.

Wacana yang dimunculkan oleh BNPT sebenarnya bukan hal baru. Setidaknya gagasan ini bisa dilacak sejak November 2017. Orang yang pertama kali mengusulkan adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, yang saat itu menjabat sebagai Ketua MPR RI. “Kenapa yang seperti itu tidak dibilang teroris?” kata dia.

Saat itu ia berkomentar terkait penyanderaan yang dilakukan KKB kepada 1.400 warga sipil di Kabupaten Mimika, Papua.

Satu tahun setelahnya, sekitar Desember 2018, giliran Ketua DPR RI Bambang Soesatyo yang mengusulkan hal serupa. Ia berkomentar setelah terjadi penembakan terhadap karyawan PT. Istaka Karya—salah satu BUMN—saat pembangunan jembatan di Nduga, Papua. “Kalau kita mau, kita bisa mendesak Peserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk memasukkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai organisasi teroris, sebagaimana definisi PBB itu sendiri,” kata Bamsoet. Ia seperti menekankan pentingnya peran dunia internasional.

Sekarang, Bamsoet adalah Ketua MPR RI dan Zulkifli Hasan adalah salah satu wakilnya.

Beberapa pekan setelah usulan Bamsoet, giliran mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono yang berbicara. Kata dia, sudah seharusnya OPM dimasukkan ke kategori teroris, bukan KKB lagi. Sama seperti Bamsoet, Hendro mencoba membawa narasi bahwa OPM seharusnya menjadi musuh bersama.

“Mestinya OPM itu sudah masuk ke list teroris internasional karena dia sudah membunuh rakyat yang tidak mengerti apa-apa. Mereka bunuh tentara, polisi, rakyat juga dibunuh. Hal ini bisa sangat sulit dipecahkan,” kata dia, 24 Desember 2019.

Ia bilang bahwa pasukan khusus yang pernah dipimpin oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bisa menyelesaikannya.

Mendukung omongan Bamsoet dan Hendro, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin—yang berasal dari partai yang sama dengan Bamsoet, juga mengatakan hal serupa. Ia menegaskan dengan mengutip UU Terorisme yang bisa memasukkan secara definitif tindakan OPM. “Mencermati definisi UU di atas, agaknya kelompok bersenjata di Papua memenuhi beberapa kriteria yang dimaksud,” kata dia 20 Januari 2020.

Satu tahun setelahnya, 17 Februari lalu, Azis mengatakan hal yang kurang lebih serupa. Ia mengatakan memasukkan OPM ke dalam definisi terorisme menjadi penting agar “secara otomatis mengunci kemungkinan lahirnya dukungan masyarakat internasional atas gerakan mereka.”

Pemerintah Harus Selesaikan Akar Masalah

Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai pemberian label atau upaya memasukkan kelompok OPM atau KKB di Papua sebagai kelompok ‘teroris’ tak akan menyelesaikan masalah. Kata itu, upaya tersebut tidak akan mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh orang Papua.

“Banyak di antaranya diduga dilakukan oleh aparat keamanan negara,” kata Usman lewat keterangan tertulis, kemarin (24/3/2021).

Usman menduga upaya pelabelan tersebut akan menjadi dalih untuk semakin membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul di Papua lewat UU Terorisme.

“Dalam tiga bulan pertama 2021 saja, sudah ada setidaknya tiga kasus dugaan pembunuhan di luar hukum, atau unlawful killing, oleh aparat keamanan, dengan total 5 korban. Pemerintah seharusnya fokus menginvestigasi kasus-kasus ini dan menghentikan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM lainnya di Papua dan Papua Barat,” kata dia.

Hal senada juga diungkap kan oleh pewakilan Forum Akademisi untuk Papua Damai (FAPD) Elvira Rumkabu. Ia mengatakan upaya pelabelan teroris perlu diambil secara bijak dan tepat mengingat eskalasi kekerasan di Papua terus terjadi.

“Yang mendesak adalah melakukan jeda kemanusiaan karena semakin banyak warga sipil yang menjadi korban karena konflik dua aktor keamanan dominan yakni TNI dan TPN-PB,” kata Elvira saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu sore.

Elvira meminta pemerintah untuk memikirkan konsekuensi dan efek keamanan yang akan dirasakan warga jika ingin memberlakukan penyebutan teroris.

“Lalu yang paling berbahaya adalah pengubahan status ini akan menyederhanakan kompleksitas isu Papua, yang bukan sekadar persoalan keamanan,” kata Elvira, sembari mengutip penelitian LIPI yang menyebut akar konflik Papua dari mulai status politis, marginalisasi, kekerasan, hingga kegagalan pembangunan dan eksploitasi.

“Oversimplifikasi persoalan Papua pada gilirannya akan mematikan berbagai upaya resolusi konflik tanpa kekerasan seperti dialog atau pun KKR. Sekali lagi ini menunjukkan tidak ada niat baik pemerintah untuk selesaikan masalah Papua secara bermartabat,” kata Elvira.

Baca juga artikel terkait ORGANISASI PAPUA MERDEKA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino