tirto.id - Hampir sebulan peristiwa penembakan terhadap pekerja konstruksi PT. Istaka Karya di Nduga berlalu, namun bingkai wacana “NKRI Harga Mati vs separatisme” belum juga hilang dari pembicaraan publik.
Sudah bisa diduga, para pejabat Indonesia ramai-ramai bicara tentang pendekatan keamanan.
Setelah meminta TNI-Polri melakukan verifikasi, Presiden Jokowi menginstruksikan bahwa kelompok separatisme harus “ditumpas sampai akar-akarnya”. Wapres Jusuf Kalla menegaskan Kepolisian dan TNI harus melakukan “operasi besar-besaran” karena terjadi pelanggaran HAM oleh kelompok separatis. Seorang petinggi militer memberikan nasehat kepada separatis: “menyerah atau berhadapan dengan moncong senjata". Bahkan Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI menekankan bahwa “..urusan HAM kita bicarakan setelah masalah selesai".
Pembunuhan terhadap para pekerja di Nduga jelas bukan tindakan manusiawi dan tidak bisa dijustifikasi dengan alasan apapun. Para korban adalah manusia yang punya hak untuk hidup. Siapapun pelakunya harus ditangkap dan diadili sesuai hukum positif yang berlaku.
Masalahnya, segala pembicaraan tentang keamanan dalam bingkai “NKRI Harga Mati” telah membuat kita mengabaikan konteks besar Papua. Problemnya, apakah pendekatan keamanan betul-betul akan berhasil menumpaskan separatisme sampai akar-akarnya seperti yang dimaklumatkan Presiden Jokowi? Ataukah kita sedang memunculkan siklus kekerasan baru atas nama pemberantasan separatisme?
Sejarah telah membuktikan betapa pendekatan keamanan di Papua sekadar melahirkan lingkaran setan kekerasan tanpa menyentuh akar permasalahan.
Papua pertama kali berkenalan dengan Indonesia melalui kampanye militer Tri Komando Rakyat (Trikora) yang bertujuan untuk mengibarkan merah putih di seluruh Irian Barat. Padahal, ketika misi ini dideklarasikan oleh Soekarno pada 1961, status politik Irian Barat masih menjadi sengketa internasional. Setelah gagal mendorong penyelesaian masalah Irian Barat baik lewat jalur diplomasi bilateral baik dengan Belanda maupun lewat forum PBB (1954-1960), mobilisasi militer Indonesia pun dilakukan. Jakarta mengirim 75 ribu personel militer ke Irian Barat melalui kapal-kapal perang yang dibelinya dari Eropa Timur.
Meskipun akhirnya Indonesia dan Belanda menyelesaikan status Irian Barat pada 1962 dan 1969, kehadiran Indonesia di Papua terus mendapat perlawanan dari kelompok pro-kemerdekaan. Setelahnya, kekerasan episodik menjadi bagian dalam sejarah kelam Papua.
Pendekatan keamanan dengan mengedepankan operasi militer di Papua awalnya dianggap sebagai pilihan yagn tepat oleh Jakarta. Sepanjang Orde Baru, sebagaimana dicatat Timo Kivimaki (PDF), beberapa operasi berskala besar untuk menjawab separatisme telah dilakukan, mulai dari Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi militer di Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-84), Operasi Sapu Bersih (1985), hingga penetapan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (1989-1998).
Hasilnya? Militerisasi cuma menciptakan siklus kekerasan tanpa akhir. Kasus Biak Berdarah (1998), Wasior Berdarah (2001), Wamena berdarah (2003), dan Paniai (2014) adalah beberapa contoh tindakan represif aparat terhadap warga Papua. Bahkan Kasus Paniai, Wasior dan Wamena telah diakui sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Separatisme memang tidak terbukti berhenti hanya karena operasi militer besar-besaran. Pendekatan keamanan terbukti hanya melanggengkan kekerasan di Papua; korbannya bukan hanya kelompok bersenjata, tetapi juga masyarakat sipil baik orang asli Papua maupun pendatang.
Terbunuhnya dua seniman Arnold Ap dan Eduard Mofu pada 1986 diikuti oleh mengungsinya 12.000 masyarakat Papua ke Papua Nugini dan mendorong kristalisasi gerakan Papua merdeka. Kaum intelektual di perkotaan memilih lari ke hutan dan bergabung dengan OPM. Beberapa pemimpin Papua lari ke pengungsian di luar negeri dan menghidupkan kembali asprirasi merdeka melalui gerakan politik. Perjuangan Papua merdeka lantas bertransformasi menjadi resistensi bersenjata yang dilakukan TPN/OPM dan gerakan politik yang digencarkan oleh para intelektual Papua di pengasingan.
Miskin Akuntabilitas
Melihat Papua dalam bingkai separatisme—seperti yang telah dipertontonkan oleh politisi Jakarta dan banyak media nasional—adalah penyederhanaan atas kompleksitas persoalan Papua. Kacamata separatisme yang dipakai Jakarta kenyataannya hanya menjustifikasi berbagai pendekatan keamanan. Walhasil, konteks mengapa separatisme dan gerakan perlawanan sipil semakin menguat di Papua semakin tak terpahami.
Sejak era otonomi khusus, resistensi masyarakat sudah bertransformasi melalui aktor-aktor politik kaum sipil seperti mahasiswa, pemuda, organisasi adat, LSM, dan gereja. Kekuatan sipil orang Papua (OAP) yang selama ini tak punya ruang bersuara dan sulit menyampaikan aspirasi, muncul ke permukaan secara sporadis. Mereka memobilisasi massa dan melakukan kampanye untuk menyuarakan hak-hak masyarakat adat, mengecam deforestasi, land grabbing, menolak militerisme, serta keberadaan korporasi dan kebijakan negara yang semakin menyudutkan orang asli Papua. Perlawanan sipil ini tidak hanya mengecam berbagai kekerasan episodik yang dilakukan di Papua, tetapi juga kekerasan struktural dan kultural yang terjadi secara tidak langsung mematikan identitas manusia Papua dalam jangka panjang.
Kekerasan struktural ini muncul dalam kebijakan-kebijakan pemerintah terkait izin-izin pertambangan, kehutanan dan perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan lindung; eksploitasi sumber daya alam; land grabbing, pembangunan infrastruktur yang melanggar hak masyarakat adat, pemiskinan masyarakat asli Papua, hingga sulitnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan.
Pendeknya, ada resistensi bersenjata seperti yang diusung TPN/OPM dengan tujuan kemerdekaan dan resistensi sipil yang mendorong agenda-agenda demokratis lainnya tanpa melalui kekerasan. Negara tidak lagi berhadapan dengan musuh tunggal yang secara sporadik melakukan serangan, tapi juga perjuangan sipil untuk menentukan nasib sendiri dalam konteks yang lebih luas (ekonomi, sosial dan budaya).
Sulit memastikan bahwa pelanggaran HAM tidak akan terjadi di Nduga dalam operasi yang dilakukan TNI-Polri. Ketiadaan jurnalis dan pemantau independen menyulitkan verifikasi kebenaran peristiwa dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM baik oleh pasukan keamanan maupun kelompok bersenjata. Bukankah kurangnya akuntabilitas internal dalam tubuh militer dan sistem peradilan yang tidak berfungsi dengan baik terbukti telah menjadikan pelanggaran HAM sebuah kewajaran di Papua?
Betul ada pergerakan separatisme yang ingin memerdekakan Papua dari Indonesia. Namun, resistensi sipil dalam isu ekonomi, sosial, dan budaya juga tak bisa diabaikan. Perjuangan bersenjata dan gerakan masyarakat sipil di Papua tidak lahir dari ruang hampa, tapi berakar dalam konteks politik, ekonomi, diskriminasi sosial dan budaya sejak sebelum dan selama terintegrasi dengan Indonesia.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.