Menuju konten utama

Salah Kaprah Jokowi Tangani Konflik di Nduga Papua

Presiden Jokowi dan Komnas HAM didesak membentuk tim investigasi independen untuk menuntaskan kekerasan bersenjata di Nduga.

Salah Kaprah Jokowi Tangani Konflik di Nduga Papua
Ilustrasi: Operasi Nduga Papua. tirto.id/Lugas

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengakui taruhan membangun proyek Trans Papua adalah nyawa. Namun, usai penembakan pekerja Trans Papua di daerah Nduga, Jokowi ngotot meneruskan proyek itu.

Bahkan, ia mengutus TNI dan Polri mengejar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang dianggap menjadi pelaku pembunuhan pekerja Trans Papua itu.

Akibat titah Jokowi itu, empat warga asli Papua menjadi korban, menurut Ketua DPRD Kabupaten Nduga Anthi Gwijangge.

“Rakyat di sana masih keadaan trauma dalam Natal ini. Mereka tidak bisa mengadakan Natal karena masih di hutan-hutan,” kata Gwijangge melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Rabu (19/12).

Ia menuntut penjelasan Presiden Jokowi soal operasi TNI-Polri di Nduga: apakah sebuah operasi militer, operasi negara melawan negara, atau bagaimana? Selain itu, apa batasan tindakan aparat keamanan di Nduga, yang bisa menjamin tak ada korban sipil yang tewas?

“Semua rakyat di Nduga dianggap WNI atau bukan? Tidak ada kemanusiaan,” tutur Gwijangge.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai Jokowi cenderung memakai pendekatan ala militer untuk menuntaskan konflik di Nduga. Dampak negatifnya mulai tampak: warga sipil menjadi korban dan sebagian besar lari ke hutan karena ada penyisiran militer.

“Menurut saya, mengesampingkan terlebih dulu pendekatan militer. Otoritasnya ada pada Presiden Jokowi. Dan mengoptimalkan peran kepolisian untuk penegakan hukum atas pembunuhan yang terjadi tempo hari itu,” kata Usman kepada reporter Tirto, Kamis (20/12).

Bentuk Tim Investigasi Independen untuk Kasus Nduga

Direktur Aliansi Demokrasi Papua Anum Latifah Siregar menegaskan harusnya Jokowi dan Komnas HAM segera membentuk tim investigasi independen. Sebab, yang terjadi di Nduga, TNI-Polri dan TPNPB-OPM saling klaim, misalnya terkait pekerja Trans Papua itu TNI atau sipil.

“Kalau tidak ada investigasi independen, akan terus terjadi klaim antar berbagai pihak. Ini yang sudah terjadi sejak 2 Desember sampai sekarang, tidak ada jalan tengah atau yang melihat kasus itu secara netral atau proses yang rasional,” kata Anum melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Kamis (20/12).

Anum berharap, jika hasil investigasi itu menyatakan TNI-Polri maupun TPNPB-OPM membunuh sipil atau melanggar pidana, maka proses hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu.

“Kami berharap pemerintah, presiden memberikan ketegasan. Karena sejauh ini presiden bicara konteksnya mengejar pelaku, memprosesnya. Tapi, kami belum mendengar suara pemerintah Indonesia tentang bagaimana melindungi korban dan masyarakat yang ada di Nduga,” ujarnya.

Selain itu, menurut Anum, harusnya Jokowi berdialog dengan warga terkait apakah benar proyek Trans Papua merupakan prioritas kebutuhan warga asli Papua.

“Mereka nyaman tidak kalau pembangunan tetap dijalankan dengan menambah aparat? Apakah justru mereka makin tidak aman karena saling curiga dan saling klaim tidak selesai. Jadi masyarakat yang menjadi korban,” ujarnya.

Di sisi lain, berbagai pelanggaran HAM berat dan masa lalu yang tak kunjung dituntaskan Jokowi, membuat mata rantai kekerasan tak putus. Pelanggaran HAM masih terjadi di Papua.

“Presiden harus sungguh-sungguh menuntaskan permasalahan HAM di Papua, tidak hanya menjadi janji politik. Dia harus membuktikan dalam bentuk proses hukum, bukan retorika politik,” tegasnya.

Usman Hamid mengkritik pola pendekatan Komnas HAM yang sejauh ini sebatas melayangkan kecaman atas peristiwa kekerasan bersenjata di Nduga. Menurutnya, Komnas HAM dan Jokowi minim inisiatif membentuk tim investigasi menangani kasus di Nduga.

“Padahal yang dibutuhkan adalah langkah investigasi di lapangan,” kata Usman. “Jadi bila Komnas HAM tidak turun [ke lapangan], semakin sulit menemukan fakta yang benar.”

Saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis (20/12), Kepala Perwakilan Komnas HAM di Papua Frits Bernard Ramandey belum tahu kabar soal empat warga Nduga yang meninggal. Sejauh ini Komnas HAM belum bergerak, ujar Ramandey.

Infografik HL Indepth Operasi Nduga Papua

Infografik Alternatif Solusi Konflik Nduga Papua

'Jangan Korbankan Warga Sipil'

Direktur Yayasan keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesenggem mendesak agar Jokowi menarik pasukan TNI-Polri dari Nduga. Setelah itu, para pihak mencari solusi bersama untuk membuat kondisi Nduga kembali damai.

“TPN-OPM tidak bisa berpindah kalau TNI-Polri ada di sana. Mereka merasa TNI-Polri itu musuh. Dampaknya ke warga, yang takut terhadap TNI-Polri,” ujar Hesenggem melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Kamis kemarin (20/12).

Jika Presiden Jokowi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, maupun Menkopolhukam Wiranto menyatakan TPNPB-OPM harus diberantas, menurut Hesenggem, justru tak akan menyelesaikan masalah.

Jika TNI-Polri dan TPNPB-OPM ingin berperang, jangan pernah korbankan masyarakat sipil, ujar Hesenggem.

Kepala Penerangan Kodam XVII/Cendrawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi menganggap kehadiran personel TNI-Polri di Nduga bukanlah sumber konflik. Maka, usulan menarik aparat keamanan di Nduga, yang dikerahkan untuk memburu TPNPB-OPM, tidak masuk akal.

“Sumber konfliknya bukan karena ada TNI-Polri. Sumber konfliknya karena ada saudara kita yang berbeda haluan yang mengangkat senjata secara ilegal,” kata Aidi.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN NDUGA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam