tirto.id - “Joko Widodo bermain mata dengan TNI-Polri di Papua. Sehingga Jokowi tidak pernah sentuh soal kekerasan yang terus dilakukan TNI-Polri,” tuding Pendeta Benny Giay.
Benny Giay adalah salah seorang paitua paling dihormati oleh rakyat Papua. Ia adalah Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua. Giay berkata dalam setahun Jokowi rutin berkunjung ke Papua, bahkan bisa sampai dua kali, tetapi hanya untuk “promosikan pembangunanisme minus HAM.”
Pendekatan infrastruktur Jokowi di Papua itu, dalam istilah Giay, disebut "Joko Daendels". Ia mengidentikkan Jokowi dengan Gubernur Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Pada awal abad 19, Daendels mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa untuk membangun jalan raya sepanjang hampir 1.000 kilometer di pantai utara Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Tujuannya untuk kepentingan ekonomi dan politik kolonial.
Dalam pemerintahan Jokowi, pendekatan "pembangunan minus HAM" berupa Jalan Trans Papua telah memotong pegunungan di Wamena hingga Nduga, yang "diserahkan kepada TNI," ujar Giay.
Pendapat "pembangunan minus hak asasi manusia" di Papua dari Pendeta Benny Giay diperkuat oleh laporan penyelidikan terbaru Amnesty International Indonesia bertajuk “'Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati': Pembunuhan dan Impunitas di Papua". Organisasi nirlaba berfokus pada isu HAM yang berkantor pusat di London ini merinci temuannya bahwa sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018, ada 69 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua—atau dalam istilah hukum internasional disebut "unlawful killing."
Dan, dari puluhan kasus itu, 39 kasus pembunuhan sewenang-wenang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.
Ke-69 kasus pembunuhan tersebut minim pertanggungjawaban hukum. Para pelakunya tak tersentuh alias kebal hukum, menggambarkan impunitas alias kejahatan tanpa hukuman tumbuh subur di Papua.
Laporan menyebut tak satu kasus pun diproses lewat mekanisme penyelidikan atau penyidikan independen, oleh institusi independen dari lembaga yang anggotanya diduga melakukan pembunuhan.
Kasus-kasus itu menelan 95 korban jiwa; 85 di antaranya adalah etnis Papua, 10 korban lain dari etnis non-Papua. Sebanyak 34 kasus diduga dilakukan pihak kepolisian; 23 kasus diduga dilakukan pihak militer; dan 11 kasus diduga dilakukan kedua institusi tersebut.
Kasus-kasus yang dihimpun dalam laporan Amnesty itu termasuk 25 kasus pembunuhan tanpa investigasi bahkan tanpa penyelidikan internal. Sementara dalam 26 kasus lain, polisi dan militer mengaku telah menyelidiki secara internal tapi nihil mengumumkan ke publik. Hanya ada 6 kasus pembunuhan yang menggambarkan para pelakunya dimintai pertanggungjawaban.
“Papua merupakan salah satu lubang hitam pelanggaran HAM di Indonesia," ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam peluncuran laporan tersebut di Jakarta, Senin kemarin.
"Di wilayah Papua, pasukan keamanan membunuh wanita, pria, dan anak-anak selama bertahun-tahun, tanpa kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawaban dalam suatu mekanisme hukum yang independen,” lanjutnya.
Usman menjelaskan mayoritas kasus tak terkait aktivitas politik. Selain itu, aksi penembakan mematikan polisi dan militer seringkali tanpa ada tembakan peringatan.
“Sangat mengkhawatirkan melihat fakta bahwa polisi dan militer menerapkan taktik kejam dan mematikan yang mereka gunakan terhadap kelompok bersenjata kepada aktivis politik damai. Semua pembunuhan di luar hukum melanggar hak untuk hidup, yang dilindungi oleh hukum internasional dan Konstitusi Indonesia,” ujar Usman.
Hanya Dihukum Sanksi Disiplin
Bentuk pertanggungjawaban terhadap pelaku dari aparat keamanan Indonesia sebatas sanksi disiplin dan hukuman yang ringan, menurut laporan Amnesty.
Dalam kasus Kongres Rakyat Papua III di Abepura pada Oktober 2011, yang mengakibatkan tiga orang terbunuh, aparat keamanan merespons lewat pengerahan kekuatan bersenjata yang berlebihan.
Polda Papua menggelar empat sidang disiplin internal untuk mengusut para pelaku anggotanya. Pada November 2011, satu sidang disiplin memutuskan mantan Kapolres Jayapura bersalah melanggar "aturan disiplin karena ketidakmampuannya mengkoordinasi para petugas yang ia bawahi”.
Dalam sidang disiplin terpisah, 17 personel polisi, termasuk dua personel elite bersenjata Polri dari Brigade Mobil, dinyatakan bersalah karena melanggar aturan disiplin. Sidang itu memutuskan 15 pelaku menerima peringatan tertulis, sementara dua personel lain menerima hukuman 14 hari penjara. Tidak ada proses hukum berat atas sebuah tindakan yang menewaskan warga sipil.
Laporan menguraikan kasus penembakan di Deiyai, sebuah kabupaten di pegunungan tengah Papua, pada Agustus 2017. Para personel Polri menembaki kerumunan demonstran tanpa peringatan, yang melukai sedikitnya 10 warga, termasuk anak-anak. Ada 9 personel Polri dijatuhi hukuman disiplin. Hanya 4 personel yang menerima sanksi administratif, yakni mengajukan permohonan maaf di hadapan badan disiplin serta dimutasi ke wilayah lain.
Laporan Amnesty mengungkapkan kasus-kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan Indonesia terjadi di 27 kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat, atau nyaris separuh dari total kabupaten di kawasan ujung timur Indonesia tersebut.
Lokasi terbanyak pembunuhan yang terangkum dalam laporan terjadi di Kota Jayapura, sebuah pusat ekonomi dan politik warga Papua dan kaum migran ekonomi non-Papua. Rinciannya: ada sembilan kasus yang mengakibatkan 15 orang tewas.
“Kegagalan menginvestigasi dan mengadili pelaku akan membuat mereka percaya bahwa mereka berada di atas hukum,” tulis laporan.
Amiruddin Al Rahab, komisioner Komnas HAM, menanggapi laporan itu bahwa temuan Amnesty International harus mendapatkan perhatian serius. Komnas HAM, ujarnya, akan berkoordinasi dengan instansi pemerintah untuk menangani berbagai kasus yang dihimpun Amnesty International.
“Persoalan ini kalau tidak ada pemenuhan keadilannya tentu akan dipertanyakan terus-menerus,” ujar Al Rahab.
Bantah Ada Impunitas di Papua
Ifdhal Kasim, staf ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Jokowi, menanggapi laporan Amnesty Internasional Indonesia dengan menyatakan bahwa "tidak begitu benar" ada praktik impunitas alias kebal hukum di Papua.
“Mungkin proses penindakan hukumnya saja yang lama,” kata Ifdhal.
Menurutnya, jika polisi melakukan investigasi biasanya akan menemui jalan buntu karena tidak bisa memeriksa TNI. “Karena itu banyak kasus tidak bisa ada kemajuan dalam proses penyidikan. Itu bukan berarti tidak ada penyidikan dalam kasus-kasus itu,” bantah Ifdhal.
Selain menolak temuan bahwa ada kasus pembunuhan di luar hukum yang mengakibatkan 3 balita, 18 anak dan remaja terenggut nyawa, Ifdhal menilai polisi atau tentara tak akan bertindak jika targetnya tak memiliki motif politik. Padahal, dalam temuan laporan Amnesty, ada 41 kasus pembunuhan tak terkait aktivitas politik.
“Agak sulit mengatakan itu non-politik. Karena tidak ada dasar bagi polisi untuk melakukan penindakan pada orang yang tidak melakukan apa-apa,” bantahnya.
Sylvana Apituley, tenaga ahli utama Deputi V Kantor Staf Presiden, mengatakan pemerintah telah melakukan upaya penegakan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan untuk kasus-kasus yang diteliti Amnesty International Indonesia.
“Tetapi memang percepatan kami menangani itu harus diintensifkan supaya selevel dengan percepatan masalahnya sendiri. Masalah Papua memang tidak bisa kita bilang ini harus selesai langsung. Itu pelan-pelan,” ujar Apituley.
Mantan Ketua Gugus Kerja Papua Komnas Perempuan itu menjelaskan selama ini "Jokowi memerintahkan banyak hal penting kepada bawahannya" dalam menangani persoalan Papua. Beberapa di antaranya harus mendengarkan suara orang Papua terutama saat proses pembangunan.
“Yang kedua, menggunakan pendekatan budaya dan antropologi. Saya kira ini salah satu kunci untuk memahami persoalan Papua dan memahami jati diri orang Papua,” ujarnya, menambahkan upaya ketiga Jokowi adalah menemani dan memberdayakan pemerintah daerah.
Apituley mengakui belum satu pun pelanggaran HAM berat di Papua yang berhasil diungkap negara. Alasannya, problem besarnya "panjang, kompleks, saling mengunci, tidak bisa diselesaikan dengan cara cepat."
“Kami masih punya banyak PR yang serius di Papua untuk pembangunan HAM. Tapi kami juga mengakui kami bergerak, pemerintahan bekerja keras, terbuka, responsif, dan usaha seinklusif mungkin. Mendengar suara begitu banyak pihak,” terangnya.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto membantah laporan Amnesty menyangkut penyelidikan internal Polri yang sulit diakses publik.
"Ya maksud terbuka dan tidak bagaimana? Harus dijelaskan dulu. Kalau mau ditanyakan ke Polda Papua, silakan SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan) seperti apa?" kata Wasisto kepada reporter Tirto, Senin kemarin, 2 Juli 2018.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam