Menuju konten utama
Pdt. Benny Giay:

"Kami Orang Papua Lama-Lama Punah"

Salah seorang paitua paling dihormati di Papua meminta pemerintahan Indonesia berdialog secara bermartabat untuk membahas keadilan politik bagi Papua.

Ilustrasi Pendeta Benny Giay. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Sejak Papua Barat diserahkan ke pemerintah Indonesia lewat mekanisme internasional pada 1963, dan penentuan integrasi politik secara paksa pada 1969, sejak itulah kekerasan dan pengerahan militer ke Papua tak pernah surut. Terbaru, intensitas kontak senjata di kawasan tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Mimika, yang diklaim otoritas Indonesia sebagai "penyanderaan", menjadi sorotan media di tengah iklim buruk pers bebas dari dan ke Papua.

Pendeta Benny Giay, salah seorang paitua yang paling dihormati oleh rakyat Papua, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (KINGMI) di Tanah Papua, angkat bicara mengenai insiden tersebut. Ia juga bicara solusi penyelesaian masalah di Papua di mana “pemerintah Indonesia harus duduk berbicara” dengan rakyat Papua.

Di akhir pembicaraan, dan menjelang bulan perayaan Natal, Pendeta Benny menitip doa: “Saya berdoa supaya anak-anak Indonesia yang baru-baru, Mama-Mama Papua yang baru lahir, akan lebih baik. Saya percaya kepada Mama Jawa, Mama Sumatera, dan Mama-Mama yang lain dan Mama-Mama Papua yang masih ada sekarang lahir.

Asal mereka berpikir kritis, mereka tidak akan mewarisi budaya politik orang Indonesia yang penuh dengan rekayasa. Menari-nari dengan koruptor-koruptor. Mereka harus mendapat pendidikan yang humanis, pendidikan yang menyapa sesama. Bukan berdasarkan agama, warna kulit, rambut, tapi berdasarkan kemampuan."

Berikut wawancaranya kepada Arbi Sumandoyo via telepon, Kamis kemarin.

Bagaimana pendapat Anda mengenai penyelesaian untuk Papua?

Pertama, saya kira, negara ini, pemerintah ini, negara ini, rakyat Indonesia ini, sedang hanyut. Saya jelaskan: sedang hanyut dalam ideologi negara yang di awang-awang. Hidup di negara yang tidak manusiawi. Maksud saya: pemerintah ini, rakyat Indonesia ini, sedikit manusiawi, sedikit kaki masih di bumi, bisa berefleksi. Dia bisa ada gerakan untuk memeriksa diri 50 tahun.

Harusnya, kamu tidak memikirkan Papua, kamu bunuh saja, kami tidak bisa revolusi. Sudah 50 tahun, setelah peristiwa 65 itu. Jadi akar persoalan mengenai Papua itu sebenarnya ada di situ. Negara ini, rakyatnya, koran-korannya, medianya tidak mendidik. Tidak mendengar suara-suara kritis dari Pramoedya Ananta Toer.

Suara-suara kritis bisa menjadi masukan. Saya kira orang Indonesia ini—aduh—lebih baik kami pisah karena tidak bisa berpikir kritis terhadap sejarah. Pemimpin-pemimpin menipu. Kemarin saja di Timika, semua orang percaya bahwa delapan orang menyandera 1.300 orang. Itu bagaimana? Jadi Indonesia itu ada di Jawa, ada di rakyat Indonesia, ada di pemerintah, semua tipu oleh orang yang dikendalikan tentara, oleh militer. Bagaimana?

Akhirnya semua ikut ditipu, semua dikendalikan. Kapan rakyat ini, koran ini dapat berpikir kritis? Jadi rakyat Indonesia itu harus merevolusi. Penyelesaian itu ada di Jakarta. Kami di Papua tidak akan ngomong, tidak akan berbicara. Kami sudah komit, saya kira rakyat kami sudah komit.

Kami melihat pendidikan kami tidak baik, kesehatan kami tidak baik, kami disingkirkan, kami menerima dan menghormati itu semua. Kami tidak apa-apa mati karena harga diri. Kami hidup di negara yang—aduh—kemanusiaan tidak ada.

Semua bermula dari omong kosong. Semua yang dikendalikan oleh pikiran-pikiran yang bodoh itu. Kepentingan-kepentingan tentara, kepentingan golongan, kepentingan partai—mana untuk rakyat?

Menurut Anda, apa yang terjadi di Tembagapura kemarin?

Saya kira itu biasa: uang pembangunan ada, uang keamanan ada. Itu kami di Papua sudah tahu. Uang pengamanan sudah ada, kemudian bikin masalah di Freeport. Bagi kami itu sudah jelas. Jadi laporan beberapa orang itu dibesar-besarkan, sampai tadi saya bilang: Semua penipu habis.

Beberapa waktu lalu saya sudah bilang: semua koran ditipu dengan istilah "Kelompok Kriminal Bersenjata." Polisi dan tentara mencari keuntungan, jadi pakai istilah KKB.

Anda memandang kehadiran Freeport seperti apa?

Saya kira itu menjadi akar persoalan. Jadi, menurut kami, karena konflik-konflik ini, kami kemudian jadi rajin membaca sejarah. Kami duga, akar persoalannya orang Papua tidak diberi pendapat dari awal. Saya baca sejarah. Saya kira Indonesia lewat Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 hanya dikasih kepercayaan untuk mengamidministrasi. Biarkan orang Papua untuk menentukan pendapatnya pada 1969. Indonesia harus siapkan.

Rakyat Papua itu menentukan: apakah mau merdeka atau bergabung dan tinggal di Indonesia? Titik. Hanya itu. Tapi banyak orang-orang diarahkan untuk memilih Indonesia. Bagi kami, itu sudah salah. Kami orang Papua lama-lama punah. Jadi bagi kami, semua akar-akar persoalan itu ada di situ.

Jadi Anda mau menjelaskan muara persoalan Papua ada di Pepera?

Akar persoalan itu adalah penentuan pendapat rakyat (Pepera). Jadi, tahun 1960, Belanda harus angkat kaki. Belanda bilang ke PBB: Tidak. Kalau begitu: arahkan orang Papua untuk memilih, menentukan pendapat. Penentuan pendapat itu, kan, ada aturannya, masyarakat harus disiapkan. Indonesia masuk tahun 1963—itu untuk menyerang Papua. Nah, tahun 1969 baru orang Papua disuruh menentukan dan ini terjadi dengan paksaan.

Jadi, pemerintah harus duduk berbicara. Saya sudah bertemu presiden beberapa kali. Pertama, presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Desember 2011. Kedua, pada 26 Desember 2014, bertemu dengan Pak Jokowi.

Saya kasih tahu: Pak, kenapa dengan Aceh, kenapa dengan GAM, NKRI bisa duduk dan berdialog? Kenapa Papua tidak bisa?

"Tidak, tidak, NKRI tidak bisa,"—presidennya tidak bisa duduk dan berdialog dengan orang Papua.

Mereka selalu bilang: Orang Papua mau berbicara dengan siapa?

Sekarang sudah ada ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), kenapa orang Indonesia tidak bisa berbicara dan duduk dengan orang Papua? Kami meminta keadilan.

Apa jawaban SBY dan Jokowi ketika Anda menemui keduanya?

Kalau Pak Jokowi itu diam, tidak bicara banyak, hanya banyak menipu dan banyak pencitraan. Ini menandakan takut sama tentara, sama polisi, karena tidak banyak bicara soal kekerasan.

Kalau SBY bilang banyak ultranasionalis di Jakarta yang tidak mau dialog, tidak mau komunikasi. Dia mau bikin Jakarta sentris. Berpusat di Jakarta terus dan mereka mau Jakarta yang atur terus.

Soal lain: akar persoalan itu, saya kira, orang-orang menganggap warga kulit hitam ini warga negara kelas dua. Coba Anda baca komentar-komentar soal gubernur pertama Papua, Frans Kaisiepo. Itu orang Papua pertama pendukung NKRI dan gambarnya ditaruh pada uang kertas sepuluh ribu rupiah. Orang-orang anggap dia—komentar-komentar di Facebook—aduh, kami malu. Itu Mama Kaisiepo harus tanggapi itu. Saya mau kasih tahu anaknya. Bapaknya dulu pelopor integrasi NKRI; sekarang dianggap "kera."

Kenapa orang seperti Frans Kaisiepo dianggap kera kemudian bukan dianggap pahlawan? Kasih tahu kami, to!

Kami memang sudah dari sang pencipta, sang sejarah, sudah menciptakan kami. Hitam keriting itu ciptaan Tuhan. Sekarang Kaisiepo jadi pahlawan integrasi dan Indonesia ambil Papua dan sekarang dia dituding balik sebagai monyet. Saya kira, bangsa ini, negara ini, pemerintah ini, koran-koran ini, masyarakat sipil, gereja-gereja ini, aneh.

Baca juga: Mengenang Perjuangan untuk Papua dalam Selembar Rp10 Ribu

Kenapa aneh?

Saya kira mereka sudah tidak ada nurani. Ras dan kemanusiaan serta HAM tidak ada dalam opini-opini kemiliteran. Opini-opini sang diktator. Kita harap Indonesia berubah. Berubah karena dirinya sendiri.

Saya sedang baca laporan-laporan tahun 1964 yang dibawa ke Jawa untuk diindoktrinasi. Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sukarno kasih pengantar di situ soal Pancasila. Tetapi pelaksanaan tidak ada. Jadi negara ini juga bukan hanya untuk presiden, menteri-menteri; tapi juga suku Badui, orang Ahmadiyah, orang Syiah, semua milik kita negara ini.

Upaya-upaya apa untuk bicara dengan pemerintah soal Papua?

Kita terus meminta untuk duduk berbicara—tapi, ya sudah. Yang jelas, media sosial ada sekarang. Kami orang Papua juga banyak masalah, karena kami bukan malaikat, Indonesia juga banyak masalah, kami bukan suci dan kami juga harus koreksi diri. Kami sudah lama meminta dialog untuk duduk berbicara.

Bagaimana Anda melihat upaya pemerintahan Jokowi untuk membangun Papua yang diklaim memperhatikan Papua?

Saya pikir pembangunan yang Indonesia bikin di Papua itu dilandaskan atas Pancasila, minus sila pertama ("ketuhanan yang Maha Esa"), minus sila kedua ("kemanusiaan yang adil dan beradab"), dan minus sila kelima ("keadilan sosial"). Sehingga (minus-minus ini) melahirkan nasionalisasi Papua.

Kembali soal peristiwa terbaru di Tembagapura, Anda memandangnya bagaimana?

Saya kira memang ada masalah bahwa Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) membuat kegiatan di situ. Kami juga berkelahi dengan bahasa kami. Kami juga tolak militer karena bikin kami kacau. Tapi ya itu sudah: negara ini juga jalan sendiri. Ini semua, kan, kita tidak atur. Sudah banyak kepentingan. Semua kekerasan di Papua. Dan kita juga salah untuk tidak melihat insiden-insiden ini secara kritis.

Kalau angkat senjata itu kasih kesempatan kepada tentara dan polisi untuk betul-betul memanfaatkan. Kami juga curiga, mereka-mereka yang ikut kegiatan TPN-OPM juga ada kerja sama dengan TNI dan Polri.

Bagaimana soal klaim dari otoritas Indonesia?

Tidak ada penyanderaan di Tembagapura. Saya punya jemaat di situ. Saya cek. Menurut saya, itu hanya bahasa politik bikin heboh saja.

Soal peristiwa kemarin di Tembagapura, kami ada kenangan yang sama. Bulan Desember, tanggal 25, tahun 1994. Itulah yang melahirkan Agustus 1995. Uskup Agung membuat pelaporan pelanggaran HAM di Timika. Jadi kami marah itu kemarin kepada kelompok bersenjata.

(Catatan: Peristiwa ini dikenal "Tragedi Timika", Uskup Agung Jayapura, Mgr. H.F.M. Munninghoff, O.F.M. membuat laporan pelanggaran HAM yang disampaikan ke Komnas HAM di Jakarta. Baca di sini.)

Jadi sebetulnya Anda tidak sepakat ada gerakan senjata di Papua?

Iya. Sekarang jalannya sudah ada: jalan perundingan. Dialog. Sudah bermartabat.

Baca juga artikel terkait HAK ASASI MANUSIA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam