tirto.id - “Saya masih ingat dengan baik, waktu itu saya duduk dengan tenang dan senang melihat bintang-bintang berkilau di langit, dan mendadak Charron membelok tajam, meluncur tak terkendali dan hanya tuhan yang tahu apa yang terjadi...”
Wartawan surat kabar De Locomotief Semarang, Du Croo menceritakan kesialan perjalanan bersejarahnya saat bersama tiga orang lainnya, termasuk Decnop menjalani misi memecahkan rekor touring dengan mobil Charron Batavia-Surabaya 11 Mei 1911 silam. Decnop, yang merupakan importir mobil Charron menggeber mobil tanpa atap itu secara non stop hingga momen sial tersebut terjadi pada sebuah tikungan tajam di malam gelap gulita daerah Gunung Masigit, Cianjur, Jawa Barat.
“Sacre nom c'est le premier accident dans ma vie.” umpat Decnop dalam bahasa ibunya. Kira-kira kurang lebih artinya “Ya tuhan, ini kecelakaan terhebat dalam hidup saya.”
“C'est fini” (selesai sudah),” timpal Van der Hoeven.
Kecelakaan ini hanya beberapa jam setelah empat orang—Van der Hoeven, Decnop, Du Croo, dan seorang asisten pribumi dengan kendaraan Charron meninggalkan wilayah yang kini bernama Matraman, Jakarta Timur, saat hari mulai gelap menjelang magrib. Mereka melesat ke selatan menuju Bogor yang waktu itu masih bernama Buitenzorg. Sebelum sampai di Bogor, mereka harus melewati Cibinong, dengan melaju pada kecepatan rata-rata sekitar 40 km/jam—jangan membayangkan kondisi jalan saat itu semantap sekarang.
Sebuah kecepatan yang bisa mematikan bagi siapa saja yang melintas malam gelap gulita saat itu, tak kecuali anjing-anjing sial yang melintas di jalan. Dalam catatan Du Croo, saat perjalanan baru berlangsung 3 jam, sudah empat anjing nahas terlindas roda keras Charron.
Untungnya kecelakaan di Cianjur yang sempat membuat Charron terbalik tak menghambat perjalanan mereka, mobil pun diperbaiki. Hingga pukul 23.00, mereka sudah tiba di Cimahi menjelang Bandung, dan berhenti di Hotel Preanger.”Di sana sudah menunggu bensin, oli, dan air, Penduduk Kota Bandung keluar ke jalan menyaksikan kedua mobil berlomba,” tulis Du Croo seperti disarikan oleh James Luhulima mengutip “Kreta Setan, Autopioners van Insulinde, karya F.F. Habnit, Moesson Reeks, (1977)
Selain mobil Charron, aksi perlombaan gila ini diikuti oleh mobil Delaunay Belleville, yang dikendarai oleh Van Tienen, Verhagen, Karel Wybrands wartawan Het Nieuws van de dag Batavia, dan seorang pribumi.
Menjelang subuh, pukul 04.00 Charron dan Delaunay Belleville sudah mengaspal di Kota Tegal yang sebelumnya melintasi Sumedang dan Cirebon. Berselang tiga jam setelahnya mereka tiba di Semarang. Sayangnya, mobil Delaunay Belleville kecelakaan, membuat wartawan nahas itu terlempar dari mobil lalu membentur sebuah batu hingga harus berakhir di bangsal rumah sakit. Nasib Delaunay pun tamat, Charron pun melenggang sendiri menuju Kudus, Demak, lalu menyeberangi Sungai Bengawan Solo dengan rakit menuju Surabaya.
Mereka akhirnya sampai ke Surabaya dengan waktu tempuh 19 jam, dan 16 menit. Aksi empat orang nekat dengan mobil Charron-nya merupakan cikal bakal touring sekaligus perlombaan lintas kota pertama di Jawa yang sudah punya infrastruktur jalan. Setelah itu, aksi nekat dan konyol melintasi Jalan Raya Pos Batavia-Suraya belum berakhir.
Gerrit de Raadt menempuh Batavia-Surabaya dengan motor Reading Standard, dalam waktu 20 jam dan 45 menit pada 7 Mei 1917 atau tepat 100 tahun silam. Rekor ini memang masih di bawah capaian mobil Charron yang bisa menempuh dalam waktu yang lebih cepat. Namun, untuk kelas sepeda motor saat itu, capaian Gerrit de Raadt sudah paling cepat.
Semenjak aksi Gerrit de Raadt, orang-orang lain mencoba mematahkan rekor yang ditorehkannya. Tercatat beberapa perjalanan kendaraan roda dua menempuh Batavia-Surabaya yang berjarak 845 km, berhasil mencatatkan rekor-rekor baru. Tak rela rekornya jadi piala bergilir buat orang-orang, Gerrit de Raadt, kembali nekat dengan melakukan perjalanan yang sama pada 1932 atau berselang 15 tahun semenjak perjalanan perdananya. Ia sukses mengukir rekor baru dengan catatan gemilang, Batavia-Surabaya hanya 10 jam dan 0,1 menit.
Rekor mobil pun kembali pecah, berselang dua tahun setelahnya, pada 1934 HG de Sluis dengan mobil Fiat Balilla memetik rekor untuk mobil dengan catatan hanya 10 jam dan 10 menit. Sayangnya berselang empat tahun rekor baru terpecahkan lagi, F Viehs dengan mobil Fiat Balilla mampu melibas Batavia-Surabaya hanya 8 jam dan 49 menit pada 28 November 1938.
Kunci gemilang dari rekor ini tak terlepas dari pembangunan infrastruktur baru pada masa kolonial Belanda, saat ruas jalan baru Pantai Utara Jawa (Pantura) Pamanukan meliputi Karawang-Cikampek-Pamanukan mulai dibuka pada 1934—jalur Jakarta menuju Cirebon atau sebaliknya tak perlu memutar lagi ke Batavia-Cibinong-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung-Sumedang-Cirebon.
Namun, memecahkan rekor touring tersebut di masa kini sepertinya sulit mengingat kondisi jalanan yang macet dan belum terhubungnya Trans Jawa.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti