tirto.id - Satu peristiwa menunjukkan bahwa tak semua warga negara Indonesia mendapatkan asupan gizi layak. Sejak September 2017 hingga Januari 2018, Kementerian Sosial mencatat sebanyak 393 orang menjalani rawat jalan, 175 rawat inap, plus 63 anak meninggal dunia karena wabah campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua.
Alih-alih menerjunkan dokter, pemerintah Indonesia justru mengirim tentara untuk menangani kasus tersebut.
Menurut Pastor Yohanes Jonga, yang telah bekerja selama 30-an tahun di Papua, kehadiran campak dan gizi buruk di Asmat sebatas "fenomena gunung es." Ada wilayah lain di Papua yang mengalami hal serupa, katanya.
Selain itu, penerjunan aparat TNI untuk menangani isu kesehatan di Papua, menurutnya, adalah "tindakan salah kaprah." Itu juga menandakan pemerintah Indonesia gagal memahami kehendak rakyat Papua.
Pastor John Jonga, demikian sapaan akrabnya, telah menyaksikan beragam kesulitan yang dihadapi warga Papua, termasuk kekerasan dan pembunuhan. Salah satunya saat ia membantu menyelamatkan seorang anak usia 13 tahun yang ditembak tentara Indonesia di Kabupaten Keerom, wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini, yang menjadi daerah kerjanya pada 2009.
Berkat kiprahnya memanusiakan orang Papua dan keberaniannya menyuarakan praktik-praktik kekerasan di Bumi Cenderawasih, Pastor Jonga menerima Yap Thiam Hien Award pada 2009. Ia menjadi orang kedua di Papua setelah Mama Yosepha Alomang, perempuan pemberani dari Amungme, mendapatkan anugerah serupa pada 1999. Yap Thiam Hien merujuk pengacara dan pembela HAM terkemuka yang ikut mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Pada akhir Januari kemarin, pastor yang berasal dari Pulau Flores kelahiran 1959 ini datang ke Jakarta untuk sejumlah agenda, salah satunya diundang ke studio Metro TV dalam program gelar wicara mengenai "kejadian luar biasa" gizi buruk di Asmat. Reporter Tirto, Husein Abdulsalam, menemui Jonga di Pacenongan, Jakarta Pusat, sehari setelah acara tersebut, 30 Januari lalu. Jonga menerangkan kawasan yang menjadi bagian dari Indonesia sejak 1960-an tetapi paling sulit dipahami (dan diabaikan) oleh kebanyakan orang Indonesia. Berikut wawancaranya.
Sejak kapan anda tertarik dengan isu HAM dan sosial-budaya Papua?
Tahun 1990 saya kuliah. Di sana saya sambil belajar budaya tentang Wamena (di pegunungan tengah Papua, salah satu daerah terberat di Papua). Ketika menekuni itu, kemudian, saya mulai melakukan survei-survei pelanggaran HAM atau sebagai investigator.
Tahun 1995, waktu saya di Timika (lokasi tambang emas dan tembaga raksasa PT Freeport), saya melakukan survei pelanggaran HAM. Pimpinan kami, Uskup Jayapura, melaporkan itu ke KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Itu kasus penembakan dan penyanderaan di Pegunungan tengah.
Saya juga pernah menangani kasus penembakan di perbatasan pada 2003-2004. Waktu itu saya ke Vanimo (ibu kota Provinsi Sandaun, Papua Nugini) sebagai seorang yang mendokumentasikan kasus tersebut. Saya satu minggu di situ.
Aktivitas lain selain jadi investigator, saya juga seringkali ikut dalam pertemuan untuk melakukan negosiasi dan advokasi kepada pemerintah Indonesia.
Selama ini anda berkomunikasi dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (Organisasi Papua Merdeka)?
Iya. Saya berkomunikasi juga waktu kasus penembakan Kelly Kwalik di Timika. Saya diminta mencari data-data. (Kelly Kwalik adalah panglima legendaris TPN-OPM di Timika yang mati tertembak pada Desember 2009.)
Lalu waktu penaikan bendera Bintang Kejora di daerah perbatasan, saya diminta oleh Polda Papua untuk menjadi seorang negosiator untuk ngomong sama orang OPM supaya diturunkan bendera Bintang Kejora dengan baik, artinya tidak dengan peristiwa kekerasan. (Peristiwa ini pada 2009 di Keerom.)
Tokoh OPM siapa saja yang pernah Anda temui?
Saya pernah bertemu Lambert Pekikir waktu itu. Di Timika, saya bertemu bapak Kelly Kwalik.
Apa rasanya menjadi seorang negosiator?
Ngeri. Mengerikan. Karena kita masuk ke wilayah mereka. Itu bukan main. Lapis-lapis penjagaan mereka.
Sampai masuk ke hutan?
Iya, di hutan. Mereka tidak ada yang tinggal di kota.
Sebenarnya, posisi pastor atau pemuka agama di mata OPM seperti apa?
Mereka melihat kami sebagai semacam mediator yang bisa meneruskan apa yang mereka harapkan. Selama ini saya mengalami seperti itu.
Saya membawa suara mereka kepada pimpinan TNI dan Polri. Kalau kepada pemerintah rasanya kurang, misalnya ke bupati atau gubernur. Lebih banyak mereka membawa pesan untuk TNI dan Polri.
Sebenarnya mereka juga mau sampaikan pesan ke presiden, tetapi saya belum pernah dapat.
Kenapa lebih banyak ke TNI dan Polri?
Mungkin karena TNI dan Polri yang lebih banyak kontak bahkan menjadi lawan mereka.
Posisi anda terhadap pemerintah Indonesia seperti apa?
Karena saya lihat selama bertahun-tahun, yang menjadi musuh utama OPM adalah TNI dan Polri. Itu satu. Yang kedua, boleh dibilang selama bertahun-tahun sejak masa DOM (daerah operasi militer), TNI-Polri melihat OPM sebagai lawan.
Orang Papua sendiri juga takut dengan TNI-Polri. Sehingga kemarin saya sampaikan (di acara Metro TV) kepada Pak Usman, sebagai yang mewakili kementerian kesehatan, kenapa Menteri Kesehatan minta dukungan kepada TNI dan Polri?
Saya tanya kepada Pak Usman. Di punya alasan karena mereka (TNI-Polri) yang selalu siap.
Saya bilang, Bapak tahu kalau masyarakat Papua sudah punya pengalaman buruk dengan TNI-Polri? Mereka penuh trauma. Baik dulu masa DOM (sejak 1960-an) maupun masa kini terus-menerus terjadi kekerasan yang pelakunya TNI-Polri di Papua.
Meskipun OPM melakukan hal yang sama kepada mereka. Yang dilihat adalah TNI-Polri melakukan kekerasan. Mereka merasa tidak cocok jika Ibu Menkes (Nila Moeloek) mengajak instansi TNI-Polri untuk turun ke lapangan. Mudah-mudahan tidak terjadi peristiwa (kekerasan) baru.
Biasanya kasus semacam ini menjadi dalih agar TNI-Polri menambah personel di Papua?
Saya tidak mengerti dengan kebijakan penerjunan aparat TNI-Polri ini. Yang ada di dalam otak dan perasaan orang Papua: Lihat tentara itu takut. Sepuluh tahun lalu di daerah perbatasan, mereka kasih lapor kepada saya karena ada tentara dari pos tapal batas datang mengobati mereka. Mereka bilang takut minum obat yang dikasih tentara. Obatnya benar. Tapi secara psikis mereka masih trauma.
Saya mengerti masyarakat, sebagai manusia, tetap merasa curiga ketika mengenang pengalaman-pengalaman masa lalu saat DOM. Mereka melihat TNI-Polri melakukan tindak kekerasan kepada mereka. Ini tertanam dalam pikiran mereka. Sehingga tidak gampang untuk kita langsung tangani.
Kelompok pastor, seperti anda, apakah takut dengan aparat TNI-Polri di Papua?
Oh, tidak. Ini, kan, kami malah membantu TNI-Polri. Sebenarnya ini, kan, saya membantu mereka supaya komitmen sesuai undang-undang terpenuhi. Mereka wajib melindungi. Kan, orang Papua juga warga negara Indonesia. Tetapi perlakuan yang ada seringkali kayak bukan warga negara Indonesia.
Kami, dari gereja, sejauh ini pengalaman saya dan teman-teman lain, hanya untuk mempertahankan NKRI, tetapi kami melakukan itu dengan melihat dari perspektif orang Papua.
Namun, kadang-kadang juga anggota TNI-Polri melihat saya seperti memihak kepada OPM. Padahal tidak. Kami mau meluruskan komitmen bahwa negara wajib melindungi siapa pun.
Kalau ideologi mereka lain, itu cerita lain. Kalau kami menganggap orang yang tidak seideologi atau sealiran sebagai musuh—itu salah.
Soal ideologi lain itu, pemerintah biasa menyebut mereka "kelompok separatis." Mengapa terjadi seperti itu, pasti ada penyebabnya?
Sejak awal Papua betul-betul menghadapi ketidakadilan oleh negara.
Negara terlalu lama absen di hampir semua aspek kehidupan orang Papua, baik soal pelayanan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Negara tidak hadir dalam pergumulan penderitaan orang Papua. Negara tidak adil terhadap orang Papua. Negara melakukan diskriminasi terhadap orang Papua dalam banyak aspek.
Apakah ada pengalaman nyata yang paling anda ingat soal diskriminasi itu?
Saya bertugas di daerah perbatasan selama 12 tahun, tepatnya di Keerom. Yang saya maksud diskriminasi adalah pendidikan SD, SMP, SMA terjadi di daerah transmigrasi. Keerom adalah lokasi yang banyak transmigran datangi sejak tahun 1980-an. Sementara di kampung-kampung, distrik-distrik orang asli Papua (OAP), tidak ada. Baru berkembang akhir-akhir ini saja.
Soal listrik. Listrik di wilayah yang mayoritas dihuni OAP itu tidak ada. Hanya ada di lokasi-lokasi transmigrasi. Memang mereka sudah terfokus di satu wilayah. Tapi bagaimana pun harus adillah.
Pola pembangunan tidak adil lain juga banyak. Hampir semua kampung OAP tidak ada TK. Sementara di daerah transmigrasi itu semua lengkap, dari PAUD, TK, Pesantren, SD, SMP, dan SMA.
Untuk kasus Asmat. Di Kabupaten Asmat ada 27 distrik. Di sana ada 13 Puskesmas, yang punya dokter hanya 7. Rumah sakit daerah hanya 1 di Agats (ibu kota Asmat). Rumah sakit ini pun kondisinya sangat terbatas. Tidak bisa operasi. Kalau mau operasi harus dibawa ke Timika.
Jarak dari Agats ke Timika sekitar 20 menit menggunakan pesawat.
Sedikit dokter mungkin juga dipengaruhi soal honor. Tadi malam saya tanyakan berapa honor dokter di Papua ke Pak Usman? Dia juga tidak tahu.
Apakah faktor geografis berpengaruh, mungkin wilayahnya susah dijangkau?
Semua wilayah di Papua itu memang susah dijangkau. Termasuk di Timika. Tapi Kota Timika sudah dibangun Freeport. Tapi di luar Timika juga masih susah.
Dari Agats ke Timika kalau carter pesawat kecil biayanya Rp15 juta. Siapa yang bayar? Itu keluarga pasien banyak keluar duit. Saya berulang-ulang mengalami seperti itu.
Ada juga yang mesti dibawa ke rumah sakit di Jayapura. Saya pernah bawa pasien dari Wamena ke Jayapura.
Berapa banyak biaya yang dibutuhkan untuk itu?
Itu saya bawa 2 pasien. Yang satu, anak kecil mengalami patah kaki. Dia bisa duduk di satu tempat saja. Yang satu lagi, patah tulang tetapi lebih parah. Kami harus membayar 3 kursi untuk dia. Itu yang kami alami.
Sekarang 1 kursi pesawat dari Wamena ke Jayapura berharga Rp700 ribu. Dalam keadaan tertentu bisa Rp1 juta, bisa Rp1,5 juta. Kalau ada surat sakit dari Rumah Sakit Wamena, biaya pengobatan bisa ditanggung program Papua Sehat.
Asmat itu semacam gunung es kecil. Ada kasus yang hampir sama terjadi di seluruh Papua.
Ini semua sudah lama peristiwa begini. Sudah begitu banyak. Sampai saat ini tindakan pemerintah belum serius.
Padahal setiap tahun saat pidato kenegaraan, Jokowi selalu menyebut pembangunan yang telah dia lakukan di Papua.
Lucu. Lucu. Lucu sekali,
Di mana letaknya lucunya?
Saya sudah bilang, pemerintah jangan terlalu menghabiskan dana untuk infrastruktur. Orang Papua bilang, “Jalan raya kasih makan?” Artinya, apakah bangun jalan itu mendatangkan makanan bagi masyarakat?
Jalan Trans-Papua itu hanya sepenggal saja. Tidak ada dampak. Mungkin kalau sudah tembus, bakal ada perubahan sedikit.
Lalu ada program pembangunan. Dana-dana otonomi khusus dan lain sebagainya. Tapi pemerintah itu kayaknya tidak memahami.
Apa yang tidak dipahami pemerintah?
Pemerintah bangun yang lain. Masyarakat punya keinginan yang lain. Jadi, dalam orang Papua punya bahasa: Latian laen, maen laen. Antara yang dibangun dan apa yang diinginkan masyarakat Papua itu tidak sejalan.
Orang Jakarta sini, kan, lihat gubernur dan bupati di Papua itu orang Papua. Namun, perlu dilihat sejauh mana pemerintah pusat mengontrol program-program dan dana-dana. Antara pusat dan daerah kerap saling menuding.
Saya bilang uang itu bukan segala-segalanya. Orang Papua bilang, kamu boleh bagi uang berkarung-karung di Papua tetapi kalau penempatan dan pendekatannya yang dipakai salah, ya sama saja keliru.
Menurut saya, pendekatan yang baik, yakni datang ke kampung itu, latih masyarakat, dukunglah mereka, lalu mulai kasih kepercayaan. Pemerintah jangan sampai hanya menghalau asap tapi juga harus tahu sumbernya dari mana.
Untuk di Jawa, Joko Widodo mungkin presiden yang baik. Tapi di Papua, dia presiden yang kacau balau. Dia janji mau selesaikan masalah HAM di Papua. Sampai sekarang belum satu pun yang tercapai. Dia janji satu harga BBM. Dia datang, 'OK, bisa,' tetapi setelah dia pergi, harga kembali lagi. Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar dibuat dengan banyak dana tapi kalau petugasnya tidak ada? Sama saja tipu.
Bagaimana kondisi masyarakat Asmat?
Masyarakat Asmat itu masyarakat peramu. Mereka mengandalkan sumber daya alam yang tersedia di hutan. Tingkat pendidikan masih sangat rendah. SDM yang ada di pemerintah daerah mungkin juga masih kurang.
Tingkat kesulitan geografis cukup tinggi. Biaya untuk transportasi di daerah sana sangat mahal karena harus menggunakan speedboat.
Kalau kita dengar dana otonomi khusus (Otsus) untuk Asmat itu hampir Rp100 miliar lebih.
Di satu sisi, wilayah Asmat ini salah satu yang paling terkenal dari Papua. Ada Museum Asmat di TMII. Sempat ada pula Yayasan Kemajuan dan Pengambangan Asmat. Ukiran kayu Asmat juga terkenal...
Betapa luar biasanya Asmat di mata internasional!
Namun, soal gizi buruk, ketika dengar, orang juga tidak begitu heran. Karena mereka sudah lihat kondisi kesehatan orang Asmat. Sudah lama orang Asmat kurang gizi, dari dulu hingga sekarang.
Mereka dari awal makan sagu. Tetapi ketika kini ada program raskin, orang jadi malas potong sagu. Kebijakan ini sejak zaman Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebenarnya identitas adat tidak menjadi halangan. Tetapi kita tidak tahu mau membangun Asmat dengan cara apa. Pendekatan budaya sudah OK, hanya kurang disertai penyadaran-penyadaran lain, misalnya soal manajemen keuangan, pola hidup yang sehat. Program pemerintah bagus, tetapi saat tahap eksekusi tidak sampai ke masyarakat.
Bagaimana kondisi hutan di Asmat?
Orang Asmat tidak bisa hidup tanpa hutan. Mereka bukan petani. Tidak ada kebun. Tidak ada pisang seperti orang gunung. Mereka 100 persen hidup dari hutan.
Hutan di Asmat sudah ditebang sejak 1980-an. Ketika hutan ditebang, sagu juga turut mati. Ketika hutan mati dan gundul, bagi orang Papua itu penderitaan. Ulat sagu juga beri gizi tinggi. Ulat sagu juga mulai hilang karena sagu tidak ada. Mereka punya babi hutan dan kasuari juga hilang. Ya, mereka makan susah.
Menurut George Junus Aditjondro (dalam Harta Jarahan Harto), yayasan itu malah untuk menutupi kerusakan hutan yang terjadi di Asmat.
Saya pikir bisa jadi juga. Bisa jadi juga kematian akibat gizi buruk ini karena sesuatu. Menurut hasil survei, katanya, sekitar 40 miliar barel migas ada di Asmat. Kalau itu benar, dan ada orang menarik kaitan antara itu dan gizi buruk, menurut saya yang terjadi malah lebih bahaya lagi. (Beritanya ditulis oleh Victor Mambor, salah satu jurnalis terkemuka di Papua, pada 13 Februari 2014 di Jubi: Blok Minyak dan Gas Ditemukan di Asmat)
Ini saya belum tahu. Tetapi yang ini (soal gizi buruk) murni masalah penyakit, Kerusakan ekologi yang membuat mereka begini.
Pada 2005, The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibentuk. Saya perhatikan, aksi politik secara damai semakin gencar untuk menuntut keadilan di Papua. Bagaimana situasi politik di Papua?
ULMWP adalah badan khusus yang bisa menjadi wadah dialog untuk bicara dengan pemerintah Indonesia. Mereka yang mempersatukan kelompok gerakan-gerakan Papua yang menuntut merdeka.
Mereka menentukan untuk minta dialog dan komunikasi dengan pemerintah Indonesia. Mereka mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat dan juga mendapat simpatik dari negara-negara luar.
Namun, pemerintah Indonesia masih tidak mengakui. Ketika pemerintah Indonesia bertele-tele ambil peluang dialog, banyak persoalan dan kasus yang berlebihan terus-menerus terjadi di Papua.
Saya pikir, pemerintah Indonesia jangan terlalu alergi dengan gerakan-gerakan Papua untuk minta dialog. Baru-baru ini ditawarkan lagi untuk dialog sektoral tetapi kayaknya macam ragu-ragu pemerintah Indonesia. Masih tanda tanya banyak, macam kurang yakin begitu.
Ini ada proposal berasal dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan sudah diberikan kepada pemerintah Indonesia sejak SBY. Jokowi juga tahu tetapi semacam tarik-ulur.
Ketika Indonesia bersuara untuk Palestina dan Myanmar, negara lain tidak ada komentar. Tapi, ketika negara-negara Pasifik menyuarakan masalah Papua, pemerintah Indonesia marah dengan negara-negara itu. Itu lucu.
Opsi merdeka untuk Papua menurut anda bagaimana?
Sangat berbahaya. Bisa jadi perang suku yang mengorbankan banyak nyawa. Indonesia, secara khusus, tidak mau Papua merdeka. Nah, kalau tidak mau Papua merdeka, Indonesia mesti ambil kesempatan-kesempatan dialog yang ditawarkan orang Papua.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan