Menuju konten utama

Diinterogasi di Bandara, Filep Karma: Bintang Kejora Simbol Papua

Personel keamanan bandara Soekarno-Hatta memaksa, membentak, dan menggebrak meja agar Filep Karma melepas pin Bintang Kejora.

Diinterogasi di Bandara, Filep Karma: Bintang Kejora Simbol Papua
Filep Karma, mantan tahanan politik Papua yang dipenjara dua kali (1998-1999 & 2005-2015) karena menyuarakan ekspresi politik secara damai. RNZI/Koroi Hawkins

tirto.id - Filep Jacob Semuel Karma, mantan tahanan politik Papua, diperiksa paksa oleh personel TNI Angkatan Udara dan petugas keamanan di Bandar Udara Soekarno-Hatta pada Selasa malam kemarin. Karma diintimidasi dari jam 9 malam sejak dia tiba di Bandara Soetta karena memakai pin Bintang Kejora yang tersemat pada bagian dada pakaiannya. Ia dibebaskan sekitar pukul 1 dini hari Rabu, 3 Januari 2018.

Karma datang ke Jakarta sesudah menghadiri reuni bersama kawan lama SMA di Yogyakarta. Dalam penerbangan dari Yogya ke Jakarta, ia duduk di kursi nomor 18 dan mengenakan pakaian khas PNS—baju yang selalu ia pakai saat bepergian—dan selalu menyematkan pin Bintang Kejora. Ia sempat pergi ke toilet pesawat bagian depan dan saat kembali ke tempat duduk, katanya, "tentu menghadap ke nyaris seluruh penumpang pesawat."

Di pesawat, seorang penumpang, personel AURI, memintanya melepaskan pin Bintang Kejora. Karma menolaknya.

Tiba di Bandara Soetta, setelah mengambil barang bawaan, Karma dicegat seorang penumpang dari personel AURI itu, yang melaporkan Karma ke lima personel TNI AU lain, dan beberapa pihak keamanan bandara. Salah satu dari aparat menenteng senjata api laras panjang.

“Mereka teriak, memaki-maki saya: 'Teman kamu itu OPM bunuh orang.' Saya bilang, 'Saya pejuang sipil, saya tidak ada urusan,” ujar Karma mengisahkan kejadian itu kepada reporter Tirto. “Saya tidak mau berjuang dengan kekerasan, saya berjuang dengan jalan damai.”

Para personel keamanan itu memaksa Karma menuju ruang keamanan bandara. Karma menjelaskan bahwa Indonesia menerapkan sistem demokrasi, dan ia tidak melakukan kekerasan atau membuat kerusuhan.

“Tapi kalau berbicara dengan (personel) level di bawah begitu, kan, tidak mengerti dia, maunya marah dan gertak sampai pukul meja,” ungkapnya.

Karma menjelaskan kepada para tentara Indonesia itu bagaimana ia ditangkap sebagai tahanan politik. “Kalau mau," katanya, "bapak penjarakan saya lagi!”

Mereka bingung sekaligus marah. "Kamu ini melawan saja! Goblok! Bodoh!" ujar Karma menirukan ucapan personel keamanan bandara tersebut.

Mereka juga berkata rasis dengan menyebut Karma "monyet".

“Sifat seperti ini yang membuat kami tidak senang, merasa tidak nyaman hidup di Indonesia,” kata Karma menyebut "kami" sebagai "rakyat Papua."

Karma meminta izin ke personel keamanan bandara agar menyentuh pin Bintang Kejora. Tangan itu disentuhkan ke pin, “Ada pusing enggak, ada kunang-kunang enggak?" tanya Karma.

"Enggak," si personel berkata.

Tetapi salah satu personel TNI-AU mengatakan bahwa Filep Karma telah "memancing perhatian" dengan memakai pin Bintang Kejora. Karma membantah dengan memberi contoh bahwa seorang artis pun, ketika di bandara, selalu berusaha menarik perhatian dan tak dipermasalahkan oleh para petugas.

Mereka terus mendesak. Karma diminta menyerahkan identitasnya. Karena ia tak membawa KTP, ia pun menyerahkan kartu mahasiswanya yang lama dan kartu NPWP. Karma difoto beberapa kali dan ditanyai beramai-ramai.

“Saya ditanya kiri-kanan, dikeroyok, saya jadi bingung jawab yang mana,” kata Karma.

Menurut Filep Karma, bendera Bintang Kejora adalah simbol kebangsaan Papua. Ia selalu mengenakan pin Bintang Kejora sejak 6 Juli 1998 dalam peristiwa yang dikenal "Biak Berdarah". Saat itu ia memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora secara damai di Tower Air Minum, dekat Puskesmas Biak. Para demonstran diberondong senjata oleh pihak keamanan Indonesia. Kepala Karma ditendang dan dipopor senjata. Karma divonis penjara selama 6,5 tahun—kemudian bebas dalam sidang banding setahun kemudian—tanpa mendapatkan perawatan medis meski kakinya ditembak peluru karet.

“Di dalam penjara saya pakai (pin Bintang Kejora), sampai keluar bertemu gubernur pun saya pakai,” ujarnya.

Karma terus memakai simbol Bintang Kejora tersebut, begitupun setelan seragam PNS yang selalu jadi ciri penampilannya, sekalipun ia ditangkap lagi setelah melakukan demonstrasi damai menolak otonomi khusus pada 1 Desember 2004. Karma divonis 15 tahun penjara pada 2005.

Pada 2010, saat ia berobat sebagai tahanan politik untuk menjalani operasi prostat di Rumah Sakit Cikini, Jakarta, ia tetap mengenakan pin Bintang Kejora. Ia dibebaskan oleh Presiden Joko Widodo pada 2015 meski Karma menolak bahwa dia melakukan kesalahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Karma tidak bersalah dan harus dibebaskan tanpa syarat.

Praktis, sejak Karma memakai pin Bintang Kejora di bagian dada pakaiannya kemana pun ia pergi, baru kali ini ia mendapatkan masalah karena aksesori tersebut.

Setelah sekitar 3 jam dalam intimidasi para personel AURI dan petugas keamanan bandara, salah satu dari mereka menelepon petugas Polres Bandara Soekarno-Hatta. Perlakuan dari pihak kepolisian lebih manusiawi. Saat Filep Karma akan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Uchok Sigit Prayogi, pendamping hukumnya, datang.

“Awalnya mau diinterogasi di kepolisian. Tapi saya tanya dasar interogasi, mereka pun tidak bisa menjawab,” ujar Prayogi kepada Tirto. “Setelah diskusi dengan pimpinannya, baru mereka membebaskan tanpa interogasi.”

Prayogi menegaskan Karma tak melakukan kekerasan dan simbol Bintang Kejora yang dia pakai sebagai aksesori bukanlah ancaman. Maka, pihak TNI-AU dan petugas keamanan bandara tak perlu melakukan intimidasi, pemeriksaan paksa dengan membawa senjata api laras panjang.

“Karena kebebasan berekspresi sudah dijamin konstitusi, baik dalam Undang-Undang Dasar maupun Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik,” kata Prayogi, yang tergabung dalam perkumpulan pengacara hak asasi manusia bernama Civil Liberty Defenders.

Kasat Reskrim Polres Bandara Soekarno-Hatta Kompol Mirzal Maulana mengatakan kepada reporter Tirto bahwa Polres hanya tahu kejadian yang menimpa Filep Karma setelah mendapatkan "limpahan", bukan "penangkapan", dari petugas polisi militer TNI AU dan keamanan bandara karena Karma memakai atribut Bintang Kejora.

Polres mendata identitas Karma, serta mengajukan beberapa pertanyaan termasuk alasan Karma memakai atribut Bintang Kejora. "Kami tanya dia dari mana dan mau ke mana, tidak ada kaitannya dia sebagai aktivis," kata Maulana.

"Setelah diinterogasi lisan, kami menetapkan peristiwa itu bukan tindak pidana," tegas Maulana.

Rasialisme dan Kekerasan terhadap Orang Papua

Bukan sekali ini Filep Karma menjadi korban perlakuan rasis dan merendahkan martabat manusia dari aparat keamanan Indonesia. Karma kekeh bahwa Indonesia harus membiarkan Papua menjadi negara mandiri sebab "hanya itu cara terbaik memutus rantai kekerasan negara di Papua."

Ia menilai aparat Indonesia memiliki wawasan sempit soal perbedaan pandangan. “Ada hal-hal di mana kita berbeda, ya sudah, tidak perlu dipaksakan jadi satu,” ujarnya.

Veronica Koman dari Civil Liberty Defenders mengatakan insiden soal aksesori bendera Bintang Kejora Filep Karma mencerminkan tebalnya diskriminasi rasial terhadap orang Papua.

“Orang Papua memang kerap jadi korban intimidasi, penangkapan, interogasi yang sewenang-wenang,” katanya kepada reporter Tirto.

Koman merujuk laporan Aliansi Mahasiswa Papua di Jawa dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Manado yang telah diverifikasi para peneliti Papuan Behind Bars (Orang Papua di Balik Jeruji). Selama September hingga Desember 2017, menurut laporan tersebut, ada penurunan jumlah tahanan politik orang Papua tetapi tidak mengurangi insiden kesewenang-wenangan, gangguan, dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua.

“Mahasiswa Papua di Jawa dan Sulawesi rutin didatangi dan diintimidasi tanpa alasan yang jelas,” ujarnya.

Di Sulawesi Utara, misalnya, pada 17 September 2017, polisi-polisi Indonesia, berpakaian sipil maupun berseragam lengkap dan bersenjata, mendatangi dua asrama mahasiswa Papua di Manado. Beberapa jam setelahnya 25 mahasiswa Papua ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi.

Di Bandung, beberapa kali polisi Indonesia mendatangi asrama dan menginterogasi, menggeledah kamar tidur, serta memeriksa telepon genggam mahasiswa Papua.

Di Malang, Jawa Timur, pada awal November 2017, kegiatan orientasi mahasiswa Papua agar mereka mudah beradaptasi dengan lingkungan baru di perantauan didatangi oleh personel keamanan Indonesia, dan mereka diminta menyerahkan daftar nama mahasiswa yang ikut kegiatan tersebut.

Di Jember, Jawa Timur, pada 17 November 2017, lebih dari selusin aparat keamanan Indonesia mendatangi rumah kontrakan mahasiswa Papua, termasuk tiga mahasiswa dipukuli dan digeledah. Keesokan harinya mereka digelandang ke Polres Jember.

Peristiwa serupa terjadi di berbagai daerah lain di luar Papua yang jadi kantong-kantong mahasiswa Papua menempuh studi di Jawa, Bali, dan Sulawesi.

Praktik rasialisme terhadap orang Papua ini berlangsung sejak kawasan Papua barat dipaksa integrasi secara politik ke dalam negara Indonesia pada 1960-an.

“Kami dipaksa berwarganegara Indonesia. Tapi kami dibunuh dan dirampok terus, diperlakukan tidak manusiawi. Kami tetap pilih merdeka,” ujar Filep Karma setelah peristiwa terbaru yang menimpanya di Bandara Soetta, kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Felix Nathaniel
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam