Menuju konten utama

Kebenaran Telah Mati di Papua, Bagaimana Jurnalis Bersikap?

Berita yang selama ini Anda baca soal konflik di Papua sangat sering tidak diuji secara lebih mendalam.

Kebenaran Telah Mati di Papua, Bagaimana Jurnalis Bersikap?
Anggota Brimob Detasemen B Polda Papua memberi penghormatan terakhir kepada Brigadir Firman yang tewas ditembak oleh kelompok bersenjata di Mile 69, areal Freeport, saat prosesi pemakaman di Timika, Mimika, Rabu, 15 November 2017. ANTARA FOTO/Jeremias Rahadat

tirto.id - “Korban pertama ketika perang terjadi adalah kebenaran.”

Peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono, mengutip kalimat bersayap tersebut dari senator AS, Hiram Warren Johnson, pada awal abad 20 yang masih relevan hingga kini sekalipun dunia telah berkembang jauh.

Dalam peristiwa di Tembagapura belakangan ini, yang disebut Harsono sebagai “konflik dengan intensitas rendah,” informasi yang mendekati kebenaran amatlah sulit ketika kerja serius wartawan dan peneliti dihambat oleh lorong kegelapan yang panjang.

Harsono bekerja di sebuah lembaga nirlaba yang menyentuh isu Papua secara serius setidaknya sejak 1998, tahun politik yang panas ketika rezim Soeharto lengser, saat sejumlah kawasan di Indonesia tersuruk dalam kekerasan komunal dan tuntutan pemisahan diri, termasuk di Papua.

Ia bilang, untuk mengabarkan peristiwa konflik di Papua, “kita harus menembus lapisan propaganda, pelintiran informasi, dan pembelaan dari warga sendiri.”

Menurutnya, aparat keamanan perlu menyetir opini publik untuk melancarkan operasi militer; sedangkan Tentara Pembebasan Nasional – Organisasi Papua Merdeka perlu membela diri.

“Kedua belah pihak memelintir (informasi) tapi tidak imbang. Pelintiran dari pihak aparat jauh lebih besar daripada pihak Papua. Wartawan Indonesia celakanya gampang sekali termakan spin dari polisi,” katanya.

Sejumlah laporan dari tempat kerja Harsono sangat sering merekam pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Dari kekerasan negara terhadap warga sipil lewat pembakaran kampung dan pengusiran, dari pembungkaman aksi politik damai hingga pemenjaraan politik, dari penembakan-penembakan sporadis terhadap pemuda Papua hingga pembatasan kebebasan pers. Bahkan topik Papua selalu jadi poin pembahasan dalam setiap laporan tahunan Human Rights Watch mengenai kondisi masalah HAM di Indonesia.

Salah satu laporan Human Rights Watch soal restriksi pers bebas di Papua menyimpulkan bahwa wartawan-wartawan di Papua, terutama yang beretnis Papua, menghadapi “hambatan serius” saat menyentuh masalah sensitif.

“Meliput korupsi dan perampasan lahan bisa menjadi hal berbahaya di mana pun di Indonesia, tetapi wartawan nasional dan lokal yang kami wawancarai mengatakan bahaya itu menguat di Papua … Wartawan di Papua mengalami gangguan, intimidasi, dan kekerasan sewaktu-waktu dari aparat, anggota masyarakat, dan pasukan pro kemerdekaan,” tulis laporan itu.

Harsono mengatakan situasi di Tembagapura, lokasi tambang emas PT Freeport Indonesia, serta informasi buram terkait Papua, bermula dari penyerahan kekuasaan wilayah paling timur itu ke Indonesia pada 1963. Pada 1969, Papua resmi dalam wilayah Indonesia sesudah digelar satu jajak pendapat, yang diabsahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kekerasan mengikuti upaya politik dan ekonomi atas wilayah Papua. Sejak 1961 saat orang Papua berupaya membangun legitimasi dan otonomi atas kemerdekaannya, Indonesia melakukan operasi militer guna mengikis tuntutan rakyat Papua. Operasi ini dibangun dengan tiga tahap: infiltrasi, serangan terbuka, dan konsolidasi. Organisasi Papua Merdeka, kelompok gerilyawan yang terpencar dan berkekuatan minim hingga sekarang, terbentuk guna menuntut kemerdekaan Bangsa Papua Barat.

Pada 1967, Freeport mendapatkan tanda tangan kontrak tambang dengan Indonesia. Pada 1970-an, OPM terbentuk di Timika, bersamaan dengan operasi tambang salah satu penyumbang pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia itu berjalan.

Sepanjang 1963 hingga sekarang, ada banyak warga sipil yang terbunuh dan mengungsi. Beberapa pemuka Papua yang terbunuh termasuk musikus grup Mambesak dan antropolog Arnold Ap pada awal 1980-an, serta Ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001.

Baca juga:Pelanggaran HAM pada Zaman Megawati Berkuasa

'Pelaku Penembakan Bukan Aktor Tunggal'

Di lokasi pertambangan Freeport, situasinya jauh lebih rumit. Orang biasa dan wartawan tak diizinkan masuk ke kawasan itu karena alasan masuk akal yang bisa mengganggu operasional maskapai tambang dari Amerika Serikat tersebut.

Tetapi laporan-laporan yang muncul ke publik juga menyebut bahwa ada banyak penambang tradisional di sekitar areal itu, yang mendulang limbah tambang emas di sepanjang lima sungai—yang berbahaya bagi kesehatan karena sudah bercampur merkuri dan sianida.

Laporan Global Witness pada 2005 menyebut operasi tambang Freeport dijaga oleh militer Indonesia pada 1970-an guna “menekan pemberontakan kemerdekaan orang Papua.”

Relasi Freeport dan jasa proteksi dari pasukan keamanan Indonesia mulai ditanggapi dengan serius oleh perusahaan setelah insiden penembakan di Mile 63 pada akhir Agustus 2002, menewaskan dua guru Amerika Serikat dan seorang warga Indonesia, serta melukai sebelas orang lain. Antonius Wamang, dituduh gerilyawan Papua, dituntut sebagai aktor utama penembakan itu dan divonis penjara seumur hidup di pengadilan negeri Jakarta pada 2006.

Andreas Harsono, yang menyelidiki peristiwa penembakan dramatis itu bersama S. Eben Kirksey, antropolog AS yang meneliti Papua, dalam laporan investigasinya pada 2007 berjudul “Murder at Mile 63”, menulis bahwa Wamang tidak bekerja sendirian saat mendapatkan pasokan senjata untuk dipakai melancarkan aksinya. Ia menulis secara terang nama-nama aparat Indonesia, baik dari Polri maupun TNI, yang terlibat dalam transaksi senjata untuk Wamang di Jakarta.

Penyelidikan polisi mengabaikan keterlibatan kelompok di luar Wamang. Tetapi Freeport tidak bisa menutupi desakan para investornya untuk transparan soal dugaan mengucurkan dana buat jasa proteksi bagi aparat Indonesia. Pada akhirnya Freeport serius merespons desakan itu.

Laporan Global Witness dalam “Paying for Protection” merinci dugaan pihak mana saja yang kecipratan menerima biaya keamanan tersebut, termasuk menyebut angka 4,7 juta dolar pada 2001 dan 5,6 juta dolar pada 2002 untuk “ongkos keamanan” bagi polisi dan militer Indonesia.

Dalam konteks peristiwa terbaru di Timika sekarang, menurut Harsono, sudah sejak lama bila ada penembakan dari wilayah tambang Freeport selalu pelakunya bukanlah aktor tunggal. Sumber-sumber resmi dari Polri maupun TNI sering mempropagandakan pelakunya adalah “orang tak dikenal” dan belakangan “kelompok kriminal bersenjata.”

Di satu sisi, aparat keamanan Indonesia enggan mengakui istilah “TPN-OPM”, di sisi lain, tujuannya untuk menghapus “keterlibatan banyak aktor dengan banyak kepentingan” yang bermain di kawasan pertambangan tersebut.

“Tujuannya untuk melindungi bisnis legal maupun ilegal di sana,” kata Harsono kepada Tirto.

Baca juga:Eskalasi Kekerasan Bersenjata di Timika Belum Reda

Infografik Buram di Tembagapura

Permukiman Penambang Rakyat di 'Areal Vital Freeport'

Franky Samperante dari Yayasan Pusaka, sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada hak-hak masyarakat adat berbasis di Jakarta, mengatakan lokasi-lokasi yang jadi areal konflik—yakni di Kampung Banti dan Kembeli—berada di Desa Waa, di atas 2.000 mdpl, dikelilingi bukit berbatu.

“Di sana berkabut, sering hujan, dan longsor,” katanya.

Di Waa Banti, kebanyakan pemukimnya adalah pendatang dari Toraja (Sulawesi Selatan), Maluku Tenggara, dan Jawa. Suku asli Papua, yakni Amungme, Mee, Kamoro, tergolong minoritas.

Areal steril PT Freeport Indonesia dimulai dari Terminal Bus Gorong-Gorong di Mile 26. Wilayah ekslusif ini sepanjang lebih dari 46 mil. Jalan beraspal hanya sampai sekitar wilayah Kuala Kencana. Setelahnya, jalanan berupa tanah dan batu cokelat-kuning yang rata tanah hingga ke pusat pertambangan.

Dari Mile 72 hingga pelabuhan menjalar Sungai Aikwa. Sungai ini diisi tailing atau limbah tambang, berwarna abu-abu, dan bikin sungai menjadi dangkal. Sebagian besar warga Kembeli dan daerah terdekat sungai mendulang tailing untuk mencari emas.

“Itu area vital. Tidak boleh masuk. Kenapa ada orang di situ?” ujar Samperante.

Baca juga:'Masalah Papua Cuma Bisa Diselesaikan oleh Jokowi dan Dunia Internasional'

Victor Mambor, mungkin jurnalis Papua terkemuka saat ini dan pemimpin umum Tabloid Jubi, sumber berita online terdepan soal Papua, menjelaskan bahwa para jurnalis tertahan di Mile 26, atau sekitar 46 mil dari lokasi kejadian.

Menurut Mambor, tanpa izin dari perusahaan, bisa saja wartawan memasuki Tembagapura, sekitar 3 mil dari lokasi kejadian. Namun, tak ada yang bisa menjamin keamanan mereka menerjang bentang alam ekstrem dan ancaman peluru nyasar.

Ia berkata bahwa jurnalis di Papua sebenarnya “tahu betul” bagaimana seharusnya menguji informasi yang tersebar via grup-grup WhatsApp wartawan. Tapi, mekanisme menguji kualitas informasi ini kalah cepat dari desakan media arus utama yang berpusat di Jakarta untuk segera menayangkan.

“Jadi mereka tidak punya kesempatan untuk memverifikasi informasi. Kode etik wartawan sudah tidak dipakai lagi,” katanya.

(Disclosure: Beberapa rilis dari sumber-sumber resmi soal Papua dan peristiwa di Timika juga dipakai dan dilansir oleh Tirto. Meski tidak selalu, redaksi Tirto juga akan memakai sumber berita Antara, dari kerja sama berlangganan.)

'Ujilah Informasi soal Konflik di Papua'

Suwarjono, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen, mengibaratkan bahwa meliput peristiwa di Papua bak “mengabarkan dari alam gelap.” Di wilayah dengan kekerasan hak asasi manusia yang masif itu, akses jurnalis dibatasi.

“Publik harus dikasih (informasi) dari kedua belah pihak. Kalau tidak bisa, lebih baik menahan informasi supaya tidak menimbulkan hoax atau fake news,” katanya.

Ia mendesak agar pihak keamanan dan Freeport Indonesia membuka akses kepada para jurnalis nasional maupun internasional.

“Beri ruang kepada jurnalis independen untuk memilah informasi secara ketat, karena tidak ada di muka bumi ini yang bisa ditutup-tutupi,” tambah Suwarjono.

Baca juga:Hari Kebebasan Pers Dunia tanpa Papua

Nezar Patria dari Dewan Pers meminta para jurnalis melakukan peliputan secara “seimbang dan objektif.” Ia meminta media di Jakarta mengirimkan wartawan ke daerah konflik, bukan mengabarkan dari jauh.

“Untuk melihat kebenaran dan fakta di lapangan, sesuai observasi yang dilakukan wartawan media tersebut,” ujar Nezar.

Ia bilang, jurnalis harus jujur dalam mengabarkan; harus menulis secara jelas bahwa informasi itu versi Polri atau TPN-OPM; harus memberitahukan kepada publik bahwa bila satu informasi belum bisa dikonfirmasi, harus diikuti penyingkapan bahwa mereka terhalang memasuki daerah tersebut.

“Daerah konflik itu sensitif. Dampaknya jauh ke wilayah persatuan bangsa, pelanggaran HAM, dan sebagainya. Maka, harus hati-hati,” kata Nezar.

Baca juga:TPN-OPM di Timika: Tidak Benar Ada Perkosaan dan Penyanderaan

Baca juga artikel terkait KASUS TEMBAGAPURA atau tulisan lainnya dari Fahri Salam

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam