Menuju konten utama

TPN-OPM di Timika: Tidak Benar Ada Perkosaan dan Penyanderaan

Klaim-klaim dari Polri dipakai sebagai dalih pengerahan pasukan untuk menyisir kampung-kampung di Tembagapura, areal tambang emas Freeport.

TPN-OPM di Timika: Tidak Benar Ada Perkosaan dan Penyanderaan
Freeport di Mimika, Papua. Foto/ANTARA/Muhammad Adimaja

tirto.id - Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) membantah tudingan bahwa pihaknya sebagai pelaku pemerkosaan yang terjadi di Tembagapura, sebuah distrik di Mimika, lokasi tambang emas PT Freeport Indonesia. Bantahan ini disampaikan oleh Hendrik Wanmang, Komandan Operasi TPN-OPM III Timika, kepada redaksi Tirto.

Menurut Hendrik, ia sudah mengecek ke lokasi yang disebut-sebut sebagai tempat pemerkosaan—lokasinya di Kampung Banti atau di Mile 68—dan ke seluruh unit komando TPN-OPM.

Dalam pengecekan itu, kata Hendrik, ia justru menemukan fakta sebaliknya.

“Yang benar adalah mata-mata yang ditanam TNI-Polri dan pemerintah justru sengaja melakukan pemerkosaan untuk merusak TPN-OPM,” katanya kepada redaksi Tirto, Sabtu (11/11).

Selain menanggapi berita pemerkosaan, Hendrik juga mengomentari kabar soal perampasan uang Rp100 juta. Menurutnya, perampasan ini memang terjadi. Tapi, katanya, tindakan itu dilakukan karena anggota TPN-OPM emosi kepada “pihak ketiga” di daerah tersebut.

“Sementara berjalan tugas, kami diikuti, dimata-matai, dengan kamera atau HP. Akhirnya emosi,” kata Hendrik, yang menegaskan “pihak ketiga” adalah “mata-mata” TNI-Polri.

Namun, Hendrik memastikan, uang itu sudah dikembalikan kepada pemiliknya. Hal ini untuk menunjukkan pertempuran yang dilakukan TPN-OPM bukan dilatari masalah duit atau ekonomi.

“Tapi menuntut kedaulatan atas bangsa Papua Barat. Jadi, jangan kau negosiasi dengan kami. Karena perjuangan TPN-OPM itu menuntut kedaulatan. Bukan meminta uang, jabatan, atau meminta makanan,” imbuh Hendrik.

Ihwal masalah kedaulatan ini, Hendrik Wanmang mendesak Presiden Joko Widodo dan Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya, agar tidak menyederhanakan masalah. Pangkal soal bukan tentang penghidupan ekonomi seperti yang disebutkan keduanya.

Hendrik pun meminta Presiden Jokowi dan Kogoya tidak memprovokasi warga Papua dengan pernyataan soal ekonomi tersebut.

“Saya dengan tegas menolak omongan itu. Bahasa yang dikeluarkan Lenis Kogoya itu hanya mengacaukan persatuan rakyat bangsa Papua. Bukan suatu kebenaran. Masyarakat Papua hanya menginginkan kemerdekaan,” kata Hendrik.

Keinginan merdeka ini yang menurut Hendrik diwujudkan dalam bentuk Organisasi Papua Merdeka. OPM, katanya, bukan sembarang organisasi. Sebab, kata Hendrik, selama ini pemerintah sering memberi label sebagai organisasi 'Tak Dikenal”, “Gerakan Pengacau Keamanan”, atau belakangan disebut ““Kelompok Kriminal Bersenjata” (KKB).

“Itu istilah yang tidak benar semua,” tegas Hendrik.

Munculnya Berita Perkosaan dan Bantahan TPN-OPM

Pernyataan Hendrik ini menyusul beredar informasi soal perkosaan dan perampasan uang pada 31 Oktober 2017. Informasi ini diberitakan oleh sejumlah media online yang berbasis di Jakarta.

Dalam berita ini, seorang perempuan berinsial E, warga Kampung Banti, diperkosa tiga orang yang diduga “anggota Kelompok Kriminal Bersenjata”—sebagaimana diklaim Polri. KKB ini juga yang dituding menjadi pelaku penembakan yang kerap beraksi di Distrik Tembagapura.

Pemberitaan soal pemerkosaan ini dilansir oleh media-media di Jakarta dengan mengutip Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Pol AM Kamal. Isinya bahwa “ketiga orang” itu “berpura-pura belanja di kios tempat korban berjualan” dan “membawa paksa korban ke tempat gelap” ke Kampung Banti.

“Dengan di bawah ancaman, para pelaku melakukan perbuatan keji tersebut secara bergantian,” kata AM Kamal.

Namun, menurut Hendrik Wanmang dari Markas Komando Operasi TPN-OPM III Timika, informasi itu tidak benar. Ia bilang, informasi soal perkosaan itu dipakai oleh aparat keamanan Indonesia sebagai dalih untuk mengerahkan personel bersenjata ke kampung-kampung di Distrik Tembagapura.

TPN-OPM Membantah Klaim Polri soal Sandera

Selama sepekan terakhir, situasi di Distrik Tembagapura dalam sorotan setelah Polri mengklaim ada penyanderaan terhadap “1.300 warga” yang dilakukan oleh “Kelompok Kriminal Bersenjata”.

Klaim itu dibantah juga oleh Hendrik Wanmang dari TPN-OPM sebagaimana disampaikan ke redaksi Tirto.

Hendrik berkata, masyarakat di Kampung Banti dan Kembeli—yang berjumlah sekitar 1.300 orang—“tidak perlu mengungsi” karena “perang” yang dilancarkan oleh TPN-OPM hanya terhadap TNI-Porli, bukan sipil. Kedua kampung ini terletak di dekat lokasi Freeport di Tembagapura.

Dari sumber informasi mengenai kronologi "konflik bersenjata" di Mimika, yang diterima redaksi Tirto, ada 11 kali penembakan sepanjang Agustus hingga Oktober 2017 di lokasi Freeport, termasuk menewaskan seorang personel Brimob pada 22 Oktober 2017.

Sejak peristiwa personelnya tertembak, Polri merespons dengan mengerahkan pasukan lebih besar. Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar mengatakan pihaknya sudah “menambah jumlah ratusan TNI-Polri” ke Distrik Tembagapura.

Hendrik Wanmang menyampaikan kepada redaksi Tirto, sejak ada penambahan jumlah pasukan keamanan Indonesia, aktivitas warga terutama di Kampung Banti dan Kembeli sulit bergerak leluasa. Personel Polri dan TNI melakukan pemeriksaan di sepanjang jalan termasuk di Mile 68.

Pos pemeriksaan dari Polri dan TNI itu, menurut Hendrik, bahkan menghambat upaya bantuan sembako dari Pemprov Papua untuk penduduk Kampung Banti. Alasannya, Polri tidak mau bantuan sembako jatuh ke tangan OPM.

“Warga mau beli sesuatu ke bawah dan pulang ke atas diperiksa oleh TNI-Polri,” kata Hendrik.

Hendrik juga menyampaikan bahwa klaim Polri soal warga kampung “disandera” dan menyebut TPN-OPM sebagai “Kelompok Kriminal Bersenjata” dipakai sebagai dalih untuk membenarkan pengerahan dan penyisiran pasukan keamanan Indonesia ke kampung-kampung di Distrik Tembagapura.

Saat bantahan Hendrik Wanmang ini diverifikasi kepada Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon, termasuk soal situasi di lapangan, pesan singkat yang redaksi Tirto kirimkan kepadanya hanya dibaca. Dan setelah berkali-kali ditelepon, Kapolres Mimika menjawab dengan berkata bahwa ia “tidak mau memberi informasi” kepada redaksi Tirto.

Konteks Freeport dan Papua

Lokasi tambang Freeport di Tembagapura menjadi salah satu kawasan yang paling sering terjadi baku tembak antara TPN-OPM dan TNI-Polri. Perusahaan tambang emas dari New Orleans, Amerika Serikat, itu meneken kontrak dengan pemerintah Indonesia pada 7 April 1967—atau dua tahun sebelum penyerahan Papua ke Indonesia.

Organisasi Papua Merdeka, sebutan umum untuk beragam kelompok perlawanan bersenjata, berdiri pada 1965, empat tahun sebelum Papua secara resmi dikontrol Indonesia. Para gerilyawan OPM, yang memiliki persenjataan tempur tingkat rendah, kerap menargetkan para personel keamanan Indonesia dalam aksi-aksinya, dan sesekali menyerang para pendatang dan transmigran non-Papua serta wartawan dan pekerja internasional.

OPM di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, pernah dipimpin oleh Kelly Kwalik, seorang panglima legendaris, yang mati tertembak pada Desember 2009. Sesudahnya kepemimpinan TPN-OPM di Timika berganti-ganti, salah satunya kini diemban oleh Thenny Kwalik.

Lokasi Freeport menjadi kawasan yang sering jadi sasaran TPN karena dinilai menjadi “akar masalah” di Papua, seperti disampaikan Hendrik Wanmang kepada redaksi Tirto.

Baca juga:

Papua—atau kerap disebut Papua Barat—adalah juga satu-satunya provinsi di Indonesia yang paling tertutup bagi kalangan pengamat kemanusiaan dan wartawan internasional. Sejak 1960-an, pemerintah Indonesia menguasai kawasan ini lewat Jajak Pendapat yang dianggap rakyat Papua berlangsung curang. Aktivitas politik damai orang Papua dibatasi, bahkan dihadapi oleh kekuatan bersenjata berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Puluhan orang Papua dipenjara karena dituduh "makar".

Presiden Joko Widodo pernah berjanji pada 2015 bahwa pemerintahannya membuka akses luas bagi wartawan ke Papua, bersamaan dengan langkahnya membebaskan tahanan politik Filep Karma di Penjara Abepura, Jayapura. Namun, hingga kini, mekanisme kebebasan pers yang independen di Papua masih dibatas-batasi. Ini termasuk ketika wartawan ingin mendapatkan sumber-sumber kredibel di lokasi kejadian.

Baca juga:

Imbasnya, kebanyakan informasi dari Papua, terlebih bila menyangkut peristiwa kekerasan atau penembakan, hanya mengandalkan sumber resmi dari kepolisian atau militer Indonesia.

Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 16 penembakan di Papua sejak Agustus 2016. Sebagian besar pengusutan kasus ini belum memenuhi rasa keadilan.

Peristiwa kekerasan terbaru termasuk terjadi di Kabupaten Deiyai, Papua Barat, pada awal Agustus 2017, yang menewaskan pemuda Yulius Pigai. Pelakunya adalah personel Polri dan hanya dihukum "minta maaf" kepada keluarga korban.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait FREEPORT INDONESIA atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Politik
Reporter: Mufti Sholih
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Fahri Salam