Menuju konten utama

Bahlil Sebut Divestasi Saham Freeport Jauh Lebih Kecil dari Vale

Menurutnya, hal itu terjadi karena sampai sekarang pemerintah masih mengusahakan agar tidak perlu membeli saham Freeport Indonesia.

Bahlil Sebut Divestasi Saham Freeport Jauh Lebih Kecil dari Vale
Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memaparkan realisasi investasi kuartal I 2024 di Jakarta, Senin (29/4/2024).ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

tirto.id - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 10 persen oleh pemerintah akan memiliki nilai jauh lebih kecil dibandingkan divestasi 14 persen saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

Menurutnya, hal tersebut terjadi karena sampai sekarang pemerintah masih mengusahakan agar tidak perlu membeli saham PTFI.

Perlu diketahui bahwa divestasi 14 persen saham Vale oleh pemerintah dilakukan melalui induk holding BUMN tambang PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID). Harganya dipatok Rp3.050 per lembar saham.

“Investasinya nanti cepat kok, divestasi. Nanti kita umumkanlah (nilainya). Ini sebenarnya harganya sangat kecil. 10 persen divestasi itu sebenarnya angkanya sekecil-kecilnya. Jauhlah, Vale mah (pemerintah) beli (sahamnya). Kita paksakan untuk enggak beli ini sebenarnya,” beber Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (7/6/2024).

Dengan divestasi 10 persen, pemerintah menargetkan kepemilikan saham Freeport Indonesia sebanyak 61 persen, naik dari kepemilikan saat ini yang sebesar 51 persen. Menurut Bahlil, pemerintah menargetkan kepemilikan 61 persen agar dapat benar-benar memegang kendali atas Freeport Indonesia.

Kita pingin untuk 60 persen, 61 persen. Nah, kalau sudah 61 persen, Freeport ini sudah milik Indonesia. Sekarang saja sudah milik Indonesia, sudah 51 persen,” imbuhnya.

Bahlil melanjutkan bahwa dengan dominasi kepemilikan saham ini, pemerintah berharap bisa meraup pendapatan lebih tinggi dari aktivitas eksplorasi perusahaan asal Amerika Serikat itu. Apalagi, nilai valuasi Freeport Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari US$20 miliar atau sekitar Rp324 triliun (asumsi Rp16.200 per dolar AS).

Karenanya, alih-alih mempermasalahkan siapa yang mengerjakan eksplorasi, akan lebih baik jika pemerintah berfokus untuk mendapat nilai tambah lebih besar.

“Nah terkadang gini, dalam mengelola korporasi, yang penting itu pendapatannya. Bukan siapa yang mengerjakan. Siapa yang mengerjakan itu penting, tapi jauh lebih penting pendapatannya,” tegas Bahlil.

Dia mencontohkan, sejak 2018 sampai saat ini, Indonesia setidaknya telah mengumpulkan pendapatan sekitar US$4 miliar dari dividen Freeport Indonesia. Selain itu, Bahlil pun memastikan bahwa dengan diperpanjangnya kontrak eksplorasi Freeport Indonesia melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, perusahaan itu akan melibatkan pengusaha dan tenaga kerja dari Papua.

"Jangan pengusaha Freeport ini dari gunting kuku sampai gunting rambut semua pengusahanya dari Jakarta. Kita ingin orang Papua harus juga mengambil bagian yang produktif dalam rangka kelanjutan daripada perpanjangan PT Freeport," katanya.

Sementara itu, soal investasi, kini Bahlil dengan tim negosiasi yang terdiri dari Menteri ESDM Arifin Tasfif, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir sedang membahas penambahan kepemilikan saham dengan Freeport Indonesia. Sampai saat ini, poin-poin yang sudah disepakati oleh kedua pihak telah mencapai 98 persen.

"Salah satu diantaranya adalah penambahan 10 persen saham, kemudian membangun smelter di Papua," beber Bahlil.

Baca juga artikel terkait PERTAMBANGAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi