tirto.id - Keempat belas perempuan itu bernama Marama Davidson, Ruiha Epiha, Talafungani Finau, Lelani Kake, Moe Laga-Fa’aofo, Genevieve Pini, Amiria Puia-Taylor, Leilani Salesa, Luisa Tora, Mele Uhamaka, Asenaca Uluiviti, Leilani Unasa, Julie Wharewera-Mika, dan Elyssia Wilson-Heti.
Mereka adalah anggota suku asli Maori yang menghuni wilayah Selandia Baru. Pada Sabtu (8/8/2014) mereka turut menyemarakkan Festival Pasifika di Western Springs Lakeside Park, Auckland, dengan menampilkan sebuah performance art bermodal cat hitam yang dipakai untuk mewarnai tubuh, tali untuk mengikat tangan, dan bendera Bintang Kejora kecil untuk menutup mulut. Sepanjang penampilan gerakan tubuh keempat belas perempuan itu amatlah minim.
Kepada Tabloid Jubi Marima Davidson menjelaskan bahwa penampilan tersebut berjudul “Oceania Interrupted Action 3: Free Pasifika – Free West Papua”. Mereka mendukung kemerdekaan bagi rakyat Papua dan setiap detail dalam pertunjukan mereka adalah simbol atas apa yang sedang terjadi pada saudara-saudara sesama sub-ras Melanesia di Papua.
Baca juga: Semua Membela Tanah Papua
Mulut yang terbungkam, tangan yang terikat dan gerak tubuh yang sedikit adalah simbol minimnya kebebasan untuk mengungkap pendapat politik, ditutupnya kesempatan untuk mengkampanyekan penentuan nasib sendiri, minimnya akses terhadap sumber daya alam yang merata, dan kurangnya akses terhadap media yang bebas serta independen dalam memberitakan apa yang sebenarnya terjadi di tanah Papua.
Tubuh yang dicat hitam, bagi perempuan, adalah simbol berkabung. Penampil lain, Julie Wharewera-Mika, berkata bahwa “Kebebasan kita sebagai perempuan Maori dan Pasifik asli di Aotearoa, Selandia Baru terikat erat dengan kebebasan saudara dan saudari kami di Papua.”
Sejarah dan Korban Kolonialisasi Modern
Secara geografis, Papua yang berada di samping Papua Nugini sesungguhnya telah dipecah menjadi dua provinsi: Papua dan Papua Barat. Orang-orang Melanesia dengan kemiripan kultural dan etnis yang menghuni Papua juga tersebar di berbagai kepulauan di Pasifik. Hingga hari ini situasi politik di Papua masih bergejolak atas narasi "kolonialisasi modern" yang dituduhkan masih dilakukan Republik Indonesia atas Papua.
Setelah Perang Dunia II, Belanda yang masih punya kontrol atas Papua mulai melakukan persiapan untuk memerdekakannya, sementara pemerintah Indonesia yang telah merdeka di bawah kepemimpinan Sukarno juga mengklaim wilayah tersebut dan berupaya memasukkannya ke dalam teritori Indonesia.
Pada tahun 1961 orang Papua mengangkat bendera Bintang Kejora, menyanyikan lagu kebangsaan mereka, dan mengumumkan kemerdekaan. Tak lama setelahnya, Indonesia yang mendapat sokongan senjata dari Uni Soviet melakukan operasi militer.
Takut akan penyebaran komunisme dan terganggunya kepentingan perusahaan tambang di Papua, Amerika Serikat melakukan intervensi melalui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB mengajukan Perjanjian New York, memberikan kontrol sementara atas Papua kepada Indonesia (di bawah pengawasan PBB) pada tahun 1963 hingga dilaksanakan referendum.
Dalam catatan jurnalis Gemima Harvey yang dimuat di The Diplomat, beberapa tahun setelah referendum, kurang lebih 30.000 rakyat Papua dibunuh oleh militer Indonesia. Ada misi pembungkaman yang brutal atas cita-cita kemerdekaan di sana. Saat referendum dilaksanakan pada 1969 pun terdapat kecurangan, sebab hanya satu persen dari total populasi yang bisa urun suara. Hasilnya dapat diduga: Papua resmi masuk teritori Indonesia.
Baca juga: Filep Karma: Kami Sudah Tidak Percaya Pemerintah Indonesia
Setengah abad setelahnya muncul berbagai dinamika politik di tanah Papua. Satu hal yang pasti, praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia kepada rakyat Papua tetap langgeng. Dua tahun kemarin, Papua tercatat wilayah yang paling disesaki tentara dengan jumlah sekitar 45.000 personel dan beberapa ratus lain di perbatasan Papua Nugini.
Dalam catatan Human Right Watch, hingga hari ini ada lebih dari 500.000 warga Papua yang telah direnggut nyawanya secara sistematis, dan ribuan lain mengalami diskriminasi rasial, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemenjaraan, dan pemerkosaan.
Baca juga: HAM dan Papua yang Raib dalam Pidato Kenegaraan Jokowi
Tuntutan penentuan nasib sendiri semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa kekayaan alam Papua dikeruk bukan untuk keuntungan rakyat Papua, tapi bagi korporat asing yang kontraknya disetujui Jakarta.
Dukungan Internasional dari Inggris hingga Pasifik
Akhir Mei lalu dukungan lain untuk kemerdekaan Papua juga datang, masih dari Selandia Baru, namun kali ini berasal dari sebelas anggota parlemen yang terdiri dari empat partai politik, yakni Partai Hijau (Catherine Delahunty, Barry Coates, Mojo Mathers, Jan Logie dan Steffan Browning), Partai Buruh (Louisa Wall, Carmel Sepuloni, Adrian Rurawhe, dan Aupito S’ua William Sio), Partai Nasional (Chester Burrows), dan Partai Maori (Marama Fox).
Kesebelas perwakilan tersebut menandatangani Deklarasi Westminster yang dibawa oleh pemimpin dan pelobi internasional untuk kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Masa kecil Benny--putra asli Papua--yang tenang di Lembah Baliem diusik tentara Indonesia sejak akhir 1970-an. Kakinya bahkan dikabarkan hilang satu dalam sebuah serangan udara.
Benny telah berjuang untuk kemerdekaan tanah kelahirannya sejak Orde Baru berkuasa. Sebagaimana rekam jejak pejuang kemerdekaan Papua Barat lain, ia pernah dipenjara, tepatnya pada tahun Juni 2002 di Jayapura atas tuduhan yang sumir. Usai melewati persidangan yang cacat hukum, tiga bulan kemudian ia berhasil kabur berkat bantuan seorang kawan. Ia kemudian mendapat suaka politik dari Inggris dan sejak itu meneruskan perjuangan dari Eropa.
Catherine Delahunty, perwakilan Partai Hijau yang selama karier politiknya konsisten mendukung perjuangan Benny Wenda, menyatakan pada Asia Pacific Report bahwa pertemuan dengan Anggota Parlemen Internasional untuk Papua (IPWP) itu termasuk “menakjubkan”.
“Ini momen yang sangat kuat. Benny mengatakan bahwa sangat penting baginya untuk bepergian ke dunia sehingga dia benar-benar dapat bertemu dengan para politisi dan bahwa sebenarnya para politisi, yang berasal dari berbagai macam partai, mau untuk menandatangani deklarasi tersebut,” katanya.
Deklarasi Westminster untuk mendukung penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua lahir dalam pertemuan IPWP dengan delegasi dari berbagai negara di House of Parliament London, Inggris (3/5/2016). Turut hadir salah satu pendiri IPWP dan pemimpin oposisi Partai Buruh yang digadang-gadang sebagai calon kuat perdana menteri Inggris, Jeremy Corbyn.
“Intinya, yang kami lihat adalah sekelompok orang yang tidak menikmati hak mereka selama periode dekolonialisasi, tidak menikmati hak yang diberikan kepadanya berdasarkan piagam PBB dan berbagai statuta dekolonialisasi. Sebagai anggota parlemen saya mendukung mereka (rakyat Papua), juga sebagai anggota dari kelompok ini dan sebagai mantan wakil ketua HAM semua partai,” ujar Corbyn sebagaimana dikutip The Guardian, Jum'at (6/5/2016).
Yang tak boleh dilupakan, perjuangan kemanusiaan dan kemerdekaan Papua juga didukung oleh negara-negara di kepulauan Pasifik sebagai tetangga terdekat. Perdana Menteri Vunuatu Charlot Salwai, misalnya, selalu konsisten bersikap untuk mendukung penghentian praktik pelanggaran HAM dan kemerdekaan orang-orang Melanesia di Papua (22/12/2016).
Sementara itu, atas nama tujuh negara Pasifik (Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu, Kepualauan Marshall, Nauru dan Kepulauan Solomon), Menteri Kehakiman Vanuatu Ronald Warsal pada awal Mei lalu melancarkan tuduhannya pada pemerintah Indonesia yang dinilai telah melakukan pelanggaran HAM serius terhadap orang asli Papua di sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss (2/3/2017).
Sebagaimana dilaporkan SBS, selama 15 tahun terakhir Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh pasukan keamanan Indonesia di tiga wilayah utama di Papua, yakni Wasior, Wamena, dan Paniai. Selain meminta Dewan HAM PBB untuk menghasilkan laporan aktual di Papua, Warsal juga harus membuat rekomendasi agar pola pelanggaran HAM di Papua bisa berhenti sepenuhnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan