Menuju konten utama

Semua Membela Tanah Papua

Pekan lalu, kantor PBB di New York jadi ajang saling debat antara Indonesia dengan 6 negara di Pasifik. Mereka membahas soal Papua, sebuah tanah indah dan kaya tetapi sering diabaikan sehingga banyak yang ingin membelanya. Semuanya ingin Papua damai.

Semua Membela Tanah Papua
Warga mengarak jenazah Yulianus Okoare (18) dan Imanuel Marimau (23), korban tewas akibat ditembak anggota TNI di Jalan Ahmad Yani, Timika, Mimika, Papua, Jumat (28/8). Dua orang warga sipil tewas dan sejumlah lainnya luka-luka dalam insiden yang terjadi pada Jumat (28/8) dini hari. ANTARA FOTO/Husyen Abdillah.

tirto.id - Nara Masista Rakhmatia, diplomat muda utusan Indonesia dalam Debat Umum di Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-71 yang digelar di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pekan lalu tampak lugas membacakan sikap resmi pemerintah Indonesia terhadap tudingan perwakilan negara-negara Pasifik Selatan soal pelanggaran HAM di Papua.

“Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada yang lain, jari jempolnya secara otomatis menunjukkan pada wajahnya sendiri,” kata Nara.

Kalimat pamungkas ini dilontarkan begitu fasihnya dalam bahasa Inggris oleh Nara sambil mengangkat jari telunjuknya. Ini sebuah sindiran keras kepada 6 kepala pemerintahan di Pasifik, antara lain Perdana Menteri (PM) Vanuatu Charlot Salwai, PM Solomon Islands Manasseh Sogavare, PM Tonga Akilisi Pohiva, Presiden Nauru Baron Waqa, Presiden Marshall Islands Hilda Heine, dan PM Tuvalu Enele Sopoaga.

Aksi Nara menjadi viral lewat cuplikan video di Youtube. Banyak deskripsi yang mengiringi video itu membubuhkan kalimat apresiasi terhadap Nara. Dalam membacakan sikap pemerintah Indonesia, Nara menegaskan komitmen Indonesia terhadap HAM.

“Komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi,” tegas Nara.

Alasannya, Indonesia merupakan anggota pendiri dewan HAM PBB, penggagas komisi HAM antara ASEAN. Indonesia juga meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM yang sudah terintegrasi dengan sistem hukum di Indonesia.

Namun, laporan dari Koalisi Internasional untuk Papua atau International Coalition for Papua (ICP) yang baru dirilis tahun lalu menjawab dengan amat terbalik. ICP merupakan sebuah koalisi yang memperjuangkan HAM dan mempromosikan Papua tanah yang damai. Laporan yang berjudul Hak Asasi Manusia di Papua 2015, yang merekam peristiwa sejak April 2013-Desember 2014 mengungkap beberapa laporan.

Misalnya, pada 1 Mei 2013, saat masyarakat Papua memperingati 50 tahun pengalihan administrasi Papua kepada Indonesia. Dalam kurun waktu sebelum peringatan, 30 April sampai dengan 13 Mei tercatat 3 orang tertembak mati, 36 orang ditahan di Timika, Sorong, Biak, Abepura dan Jayapura, serta sedikitnya 12 orang terluka sebagai akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh pihak keamanan.

Laporan lainnya pada 26 November 2013, masyarakat Papua menggelar unjuk rasa mendukung pembukaan kantor Free West Papua Campaign serta peluncuran gerakan Sorong to Samarai yang dipimpin oleh Gubernur Port Moresby dari Papua Nugini. Sebanyak 80 orang ditahan di Jayapura, Sorong, Timika, dan Fak-fak. Satu orang pengunjuk rasa dilaporkan meninggal dunia, empat lainnya belum ditemukan, dan sembilan lainnya dilarikan ke rumah sakit karena menderita luka.

Gerakan Sorong to Samarai oleh Powes Parkop ini juga bertujuan untuk mengumpulkan dukungan nasional terhadap proses pengajuan keanggotaan Papua dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). Puncak dari aksi dugaan pelanggaran HAM tahun 2014 adalah tragedi berdarah di Distrik Enarotali di Kabupaten Pania. Dikutip dari Antara, kasus Paniai terjadi Desember 2014 yang menewaskan empat warga sipil.

“Koalisi ini melihat adanya suatu kebutuhan untuk mendukung mereka yang memperjuangkan pengakuan HAM dan mencari penyelesaian damai dalam kerangka pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri,” kata ICP.

Selain ICP yang menyoroti dugaan pelanggaran HAM di Papua, Amnesty International dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) juga memantau persoalan ini dan melakukan investigasi sejak Januari 2015. Mereka menyatakan menemukan bukti-bukti pelanggaran HAM yang berat sebagaimana yang didefinisikan oleh Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan merekomendasikan sebuah tim penyelidikan pro-yustisia untuk melakukan investigasi yang lebih rinci.

Amnesty International dan KontraS telah melayangkan hasil dan rekomendasi laporan ini kepada Luhut Panjaitan pada Desember 2015 lalu yang saat itu masih menjabat sebagai Menkopulhukam. Waktu itu, Luhut mengatakan pemerintah masih meneliti laporan tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua. Dikutip dari Antara, dari 16 kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan terjadi di Papua, sekitar delapan kasus yang tidak masuk kategori pelanggaran.

"Namun, untuk memastikannya saat ini masih terus dipelajari untuk dipilah-pilah," kata Luhut di Jayapura, Senin (28/3/2016).

Sementara itu, Presiden Jokowi termasuk yang dianggap sebagai sosok yang perhatian terhadap Papua termasuk soal HAM. Misalnya respons Jokowi terkait upaya pembebasan tahanan politik pada Desember 2015 lalu.

“Penyelesaian HAM di Papua tergantung dengan leadership dan kita memiliki presiden yang aware dengan Papua. Jarang sekali publik tahu bahwa sebetulnya itu terus dibahas dan tidak berhenti,” kata Deputi Staf Kepresidenan Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Dani Birmingham dikutip dari Antara.

Pernyataan Kantor Kepresidenan ini bukan klaim semata. Pada April 2016 Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat membenarkan dua kasus pelanggaran HAM di Papua siap dibawa ke pengadilan HAM setelah pihaknya berkomunikasi dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Komnas HAM sudah bertemu dengan penyidik di Kejagung dan dipastikan tidak ada kendala politik untuk menindaklanjuti kasus tersebut.

"Tidak ada lagi tarik ulur karena sudah ada ketegasan dari pemerintah untuk menindaklanjuti kasus tersebut," kata Imdadun dikutip dari Antara.

Papua merupakan tanah yang indah dan kaya, banyak pihak yang ingin membela tanah ini. Ini pula yang dilakukan para diplomat Indonesia dan enam para tetangga yang perhatian dengan tanah Papua. Namun, apabila ada pelanggaran HAM maka jalan terbaik adalah mengadilinya. Cara ini bisa menjadi jawaban untuk mencari penyelesaian damai di bumi cendrawasih.

Namun, adanya upaya mendorong Papua menggapai hak untuk menentukan nasib sendiri, justru akan melahirkan sebuah pertanyaan besar, yang belum tentu menghasilkan sebuah jawaban kedamaian sesungguhnya bagi rakyat Papua.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti