tirto.id - Pendeta Ishak Onawame dari Gereja Kemah Injil Indonesia (Kingmi) di Tanah Papua Klasis Mimika mengatakan kepada redaksi Tirto bahwa ketegangan di Tembagapura—sekitar dua jam dari Kota Timika—hanya bisa diselesaikan lewat pemerintah pusat dan dunia internasional.
Dia bilang, apa yang terjadi antara TNI-Polri dan TPN-OPM di wilayah pertambangan Freeport Indonesia bukan kali ini saja. Sejak ia ditempatkan di Mimika pada 1980-an, penembakan di sepanjang jalan utama Timika-Tembagapura selalu dalam intensitas naik-turun—kadang tembakan terjadi sekali, tetapi kadang lima kali dalam sebulan.
Karena itu, masalah di Tembagapura tak bisa diselesaikan lewat persuasi pihak keamanan Indonesia. Sebabnya, masalah tersebut terkait tuntutan sejarah politik Papua.
“Dorang tuntut kedaulatan hak Papua, bukan karena hal-hal lain,” ia bilang. “Masalah ini tidak akan pernah berhenti. Terus-menerus. Satu peristiwa selesai, besok akan muncul peristiwa yang sama.”
Sejak awal Agustus hingga hari ini, dari sumber yang menghimpun eskalasi peristiwa di Mimika yang diterima redaksi Tirto, setidaknya sudah terjadi 12 kali penembakan. Pelakunya diklaim oleh polisi sebagai “orang tak dikenal”. Belakangan mulai muncul sebutan “kelompok kriminal bersenjata” yang lantas diamplifikasi oleh pers.
Penembakan terbaru terjadi pada Selasa pagi ini, sekitar pukul 08.00 waktu Papua. Tembakan mengarah ke kendaraan PT Puncak Jaya Power, perusahaan pemasok listrik untuk PT Freeport Indonesia, di areal antara Mile 68 dan Mile 72. Menurut keterangan polisi, insiden ini mengakibatkan seorang karyawan bernama Raden Totok Sadewo mengalami luka pada paha kanan.
Baca juga: Satu Karyawan Freeport Terluka, Kapolres: Situasi Masih Kondusif
Satu peristiwa penembakan dramatis terjadi pada 22 Oktober lalu, dan menewaskan seorang personel Brigade Mobil. Dampaknya adalah munculnya konsentrasi penjagaan di areal Tembagapura, tempat Freeport beroperasi.
“Freeport juga tidak bisa kerja dengan aman,” ujar Onawame, yang tinggal di Timika.
Menurut Onawame, situasi baku tembak antara Polri-TNI dan TPN-OPM harus mematuhi wilayah medan “perang”, sehingga bisa menghindari nyawa warga sipil.
“Kedua, Amerika Serikat, yang punya kepentingan, dan pemerintah Indonesia dengan Presiden Jokowi, harus bisa selesaikan masalah ini secepatnya.”
Ada sebuah teori yang bisa dipakai terkait hal ini. Sejalan aktivitas pertambangan Freeport pada 1971 dan menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia, setiap peristiwa penembakan di kawasan itu rentan terkait jasa pengamanan. Tiap terjadi insiden kekerasan, yang diikuti eskalasi ketegangan, mendorong Freeport untuk mengeluarkan ongkos pengamanan secara stabil.
Baca juga: Membandingkan Kontribusi Freeport, Telkom, dan TKI
Laporan dari Global Witness berjudul “Paying for Protection” pada Juli 2005 menyebutkan bahwa Freeport Indonesia membayar 5,6 juta dolar AS pada 2002 untuk “aparat keamanan Indonesia”. Uang itu dipakai buat ongkos infrastruktur, logistik, perjalanan, administratif, dan bantuan komunikasi polisi dan militer Indonesia. Dalam satu keadaan, PT Freeport Indonesia pernah memakai 3.000 personel keamanan.
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict pada 31 Oktober lalu menulis bahwa setiap kekerasan di areal Freeport “dapat melibatkan banyak aktor dengan banyak kepentingan”.
“Bahkan sekalipun OPM yang disalahkan, orang Papua akan bertanya-tanya siapa lagi yang terlibat,” tulis laporan tersebut.
Baca juga: Freeport di Papua ialah Warisan daripada Soeharto
Suara dari Lemasa Suku Amungnge
Odizeus Beanal dari Lembaga Masyarakat Adat (Lemasa) Suku Amungme, yang tinggal di Kota Timika, berkata bahwa “masalah” yang memanas di Tembagapura “jangan sampai bikin korban warga sipil”.
“Jangan memperumit masyarakat, jangan bikin teror warga sipil,” katanya.
Beanal mengkritisi kepolisian yang kerap menyebarkan siaran pers ke media-media di Jakarta, yang bikin keadaan seakan-seakan begitu darurat, sehingga masyarakat pula yang akan menanggung akibatnya.
“Media sebut masyarakat disandera, yang mengutip dari kepolisian, sehingga masyarakat jadi terancam,” tambahnya.
Baca juga: TPN-OPM di Timika: 'Tidak Benar Ada Perkosaan dan Penyanderaan'
“Tidak ada sandera. Warga mau bergerak dibatas-batasi. Otoritas harus buka pos penjagaan buat masyarakat melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa,” Beanal menerangkan.
Sebagai perwakilan dari satu lembaga adat besar yang punya hak Tanah Papua di Mimika, Beanal menjelaskan bahwa eskalasi konflik di kawasan tambang Freeport di Tembagapura bukan lagi apa yang disebut “perang suku”, melainkan sudah wilayah “perang negara”.
Ia berharap, kelompok-kelompok yang memiliki senjata harus mau sepakat pada “wilayah perang” dan tidak mengganggu aktivitas warga sipil. Ia mengingatkan, baik TNI maupun kelompok bersenjata agar tidak bikin warga sipil sebagai tumbal; jangan menuding secara sembarangan bahwa masyarakat sebagai simpatisan OPM sehingga rentan jadi target penembakan.
“Posisi kami adalah melindungi masyarakat. Kalau TNI-Polri baku perang dengan TPN-OPM, silakan saja,” ujarnya.
Medan yang Sulit
Sejak awal November ini, situasi di sekitar Distrik Tembagapura dalam sorotan ketika Polri menuding ada “kelompok kriminal bersenjata” yang bikin aktivitas warga terganggu.
Namun Hendrik Wanmang dari Komando Operasi TPN-OPM III Timika kepada redaksi Tirto mengatakan bahwa gangguan itu bukanlah “penyanderaan”. Wanmang berkata kepada masyarakat bahwa mereka “tidak perlu mengungsi” karena “perang” yang dilancarkan bukan kepada sipil, tetapi kepada aparat keamanan Indonesia.
Karena situasi terjepit itulah, masyarakat pun kurang leluasa bergerak, terutama yang tinggal di kawasan antara Mile 68 dan Mile 72.
Baca juga:Hari Kebebasan Pers Dunia tanpa Papua
Lokasi warga itu berada di Tembagapura, sebuah kota tambang yang berdiri pada 1973. Menurut Franky Samperante dari Yayasan Pusaka, sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada hak-hak masyarakat adat berbasis di Jakarta, kota baru yang namanya diberikan oleh Soeharto itu dibangun dari aktivitas tambang PT Freeport Indonesia. Kota ini berada di lembah Waa, tanah Suku Amungme, terletak di ketinggian 2.000 mdpl. Di sekitarnya terdapat kampung orang asli Amungme.
Ada enam kampung di distrik ini, yakni Kampung Waa Banti, Tsinga, Opitawak, Jagamin, Beanekogom, dan Doliningokngin. Kawasan ini menjadi areal vital pertambangan Freeport. Karena itu, sejak dari Kuala Kencana, sebuah kota yang dibangun dan dikelola sepenuhnya oleh PT Freeport Indonesia, kawasan ini dijaga ketat aparat keamanan.
Dari Kota Kuala Kencana hingga Kota Tembagapura terhubung jalan utama satu-satunya—atau biasa dengan sebutan Mile. Jalan ini hanya bisa diakses oleh tiga kalangan: karyawan PT Freeport, aparat keamanan Indonesia, serta penduduk asli atau orang asli Papua. Untuk yang terakhir, warga harus menunjukkan kartu pas di setiap pos pemeriksaan, biasanya di setiap 5-10 mil.
Karena situasi itulah sangat sulit bagi wartawan dan pengamat independen memasuki kawasan Freeport secara leluasa, apalagi dalam eskalasi yang terjadi belakangan di Tembagapura.
Laporan Human Rights Watch pada 2015 mengenai pembatasan informasi di Papua menyimpulkan ketakutan berlebihan Indonesia terhadap kebebasan pers di seluruh Papua—tak cuma di kawasan tambang Freeport—telah menimbulkan “ketidakpercayaan” dan “disinformasi” yang besar. Buntutnya adalah ketergantungan terhadap sumber-sumber resmi, bisanya dari kepolisian maupun militer Indonesia. Pada saat yang sama dengan situasi ketergantungan pada sumber-sumber resmi itu, pers sangat kesulitan mengakses sumber-sumber utama dan terdekat di lapangan. Mutu informasi akhirnya relatif rendah karena pers tak mengindahkan seminimal-minimalnya prinsip keberimbangan (cover both side).
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam