Menuju konten utama
Perspektif

Pertambangan di Papua dan Ilusi Kesejahteraan

Pengelolaan sumber daya alam di Papua tidak berkorelasi dengan kemajuan atau kemampuan pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.

Pertambangan di Papua dan Ilusi Kesejahteraan
header perspektif Karl. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Suatu siang, di ruang kelas yang selalu panas, saya menyulut imajinasi mahasiswa dengan pertanyaan provokatif: “Bayangkan jika semua gunung di Papua berisi emas, apakah kita akan menjadi lebih sejahtera?” Semua mata kaku menatap, ragu-ragu menjawab.

Meski begitu, saya tahu satu jawaban yang pasti. Jawaban itu berasal dari rekaman hidup yang kami lihat, dengar, dan rasakan sendiri. Secara alamiah, orang-orang Papua menyadari bahwa ada kebenaran di balik tesis “kutukan sumber daya alam”.

Papua memang menarik, penuh misteri, dan kaya. Itu sebabnya, bangsa asing pertama atau penjelajah yang mendatangi Papua adalah sekelompok ilmuwan peserta ekspedisi ilmiah. Kedatangan mereka bertujuan mengungkapkan eksotisme manusia, budaya, dan misteri alam Pulau Cendrawasih.

Penemuan para penjelajah dan ilmuwan ini kemudian ditulis dalam jurnal-jurnal ilmiah, dan membuka ruang bagi pemodal untuk mengeksploitasi sumber daya alam Papua di kemudian hari. Salah satu cerita tentang itu adalah penemuan Ertsberg atau gunung bijih tembaga oleh Jean Jaques Dozy (1908-2004), geolog asal Belanda.

Alkisah, Dozy menuliskan hasil ekspedisinya dalam “Geological Results of the Carstensz Expedition 1936”, dimuat di jurnal Leidse Geologische Mededelingen. Kelak, tulisan itu dibaca Forbes Wilson, Direktur Eksplorasi Freeport Sulphur, dan menginspirasi Freeport untuk berinvestasi di Papua.

Secara geologis, Papua memiliki jalur pembawa komoditas tambang seperti emas, perak, tembaga, dan mineral lainnya. J.C. Carlile dan A.H.G Mitchell (1994) dalam “Magmatic Arcs and Associated Gold and Copper Mineralization in Indonesia” menyebut jalur ini dengan nama Busur Irian Jaya Tengah (Medial Irian Jaya Arcs). Jalur ini terindikasi mengandung mineral penting sepanjang Papua hingga Papua New Guinea.

Kekayaan Papua berkontribusi besar untuk Indonesia. Carlile dan Mitchell menyatakan, lebih dari 50 persen emas dan 70 persen tembaga di Indonesia berasal dari busur di atas. Meski disampaikan tiga puluh tahun lalu, fakta itu masih bertahan hingga sekarang.

Setelah Jean Jacques Dozy dan tim ekspedisi Colijn menemukan Ertsberg pada tahun 1936, produksi emas pertama Freeport baru dilaksanakan pada tahun 1972, nyaris empat dasawarsa kemudian. Berikutnya, pada 1988, para geolog menemukan Grasberg, area tambang emas terbesar sekaligus tambang tembaga terbesar ketiga di dunia. Kisah penemuan dan potensi masa depan tambang di Papua ini ditulis oleh George Mealey dalam Grasberg (1996).

Seperti eskalator, sumberdaya dan cadangan Grasberg akhirnya membawa Freeport menjadi salah satu penambang tembaga terbesar di dunia. Freeport juga menjadi perusahaan tambang mineral terbesar dan terlama yang bercokol di Papua. Selanjutnya, hadir juga Aneka Tambang (Antam) yang menambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat. Tentu saja, masih terbuka peluang korporasi lain dengan daerah prospek yang cukup menjanjikan di Papua.

Umur eksploitasi komoditas tambang di Papua sudah sangat lama dan bakal tetap bertahan di masa yang akan datang. Saat ini saja, PT. Freeport Indonesia (PTFI) telah beroperasi selama 57 tahun dan masih akan terus berproduksi.

Dalam wawancara di harian Kompas (14/6/24), Kathleen L Quirk, President dan Chief Executive Officer Freeport Indonesia, mengungkapkan adanya ambisi korporasi untuk menguasai pasar tembaga dan menjadikan Freeport sebagai produsen nomor satu tembaga dunia di masa mendatang.

Kathleen juga menyebut bahwa Freeport telah menetapkan target dan strategi untuk 20 tahun yang akan datang atau pada 2041 dan setelahnya. Tentu ini merupakan visi besar. Dalam arti lain, ini juga menunjukan bahwa operasi penambangan emas dan tembaga di Freeport belum kelihatan ujungnya.

Lalu, apakah dengan menguasai pasar tembaga dunia, hal ini berdampak kepada Indonesia, khususnya masyarakat yang ada di Papua?

Kekayaan Tambang Versus Kemiskinan di Papua

Sejumlah data menunjukkan, pengelolaan sumber daya alam di Papua tidak berkorelasi dengan kemajuan atau kemampuan pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat Papua. Padahal, sektor ini memberikan kontribusi langsung kepada pemerintah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima pemerintah provinsi Papua tahun 2019 sebesar 707,24 miliar rupiah dan 694,86 miliar rupiah pada tahun 2020.

Sementara itu, Kabupaten Mimika, pusat kerja Freeport, pada tahun 2019 memiliki DBH sebesar 1,37 triliun rupiah. Menariknya, pada tahun yang sama, seluruh pendapatan daerah Kabupaten Mimika mencapai 3,05 triliun rupiah.

Sangat ironis melihat pendapatan-pendapatan yang besar ini, baik dari DBH maupun alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus), tidak bisa dikonversi oleh pemerintah menjadi kebijakan yang sifatnya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua.

Data BPS menunjukkan angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat tahun 2023 cukup tinggi. Di Provinsi Papua, kemiskinan masih mencapai 26,03 persen, sementara di Papua Barat 20,49 persen. Angka ini masih sangat jauh dari rata-rata nasional penduduk miskin perdesaan 12,22 persen.

Bahkan Kabupaten Mimika, area PT Freeport beroperasi selama 57 tahun, penduduk miskinnya mencapai dua digit, yaitu 13,55 persen pada tahun 2023. Angka ini hanya turun 0,73 persen dari total persentase penduduk miskin setahun sebelumnya.

Tragisnya, mayoritas penduduk miskin di Papua adalah orang Papua itu sendiri. Mereka umumnya adalah orang-orang yang kehilangan akses sumber daya alam di daerahnya sendiri. Selain berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan juga dipengaruhi oleh akses masyarakat terhadap sarana pelayanan dasar di Papua.

Ribut Nurul Tri Wahyuni dan Damayanti (2014) dalam kajiannya mengenai faktor-faktor kemiskinan di Papua menemukan bahwa kemiskinan di Papua lebih disebabkan oleh kurangnya penyediaan sarana pelayanan dasar. Mereka mengelompokan kemiskinan berdasarkan wilayah.

Misalnya, kemiskinan di Papua Selatan terjadi karena dipengaruhi oleh ketersedian sumber air bersih dan listrik. Sementara di daerah kepulauan, Nabire dan sekitarnya, dipengaruhi oleh ketersedian tenaga medis, tingkat pendidikan, dan penggunaan irigasi. Daerah maju seperti Jayapura disebabkan oleh luas wilayah pertanian.

Sementara itu, kajian tingkat kemiskinan di Indonesia oleh Debrina Vita Ferezagia (2018) menempatkan Provinsi Papua dan Papua Barat pada posisi utama. Kajian itu didasarkan pada tiga indikator, yakni indeks kedalaman kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan, dan persentase kemiskinan.

Inilah ironi sumber daya alam. Daerah dengan sumber daya alam terbanyak di Indonesia tercatat sebagai daerah dengan persentase kemiskinan tertinggi. Ketika kekayaan alam yang melimpah di Papua tidak mengubah kesejahteraan masyarakatnya, tesis kutukan sumber daya alam menjadi niscaya.

Hania Rahma dkk (2019) dalam artikel berjudul “Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia” mengukur kekuatan hubungan antara tingkat ketergantungan sebuah daerah terhadap SDA dengan tingkat capaian pembangunan dan kesejahteraan di daerah tersebut. Hasilnya, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki Indeks Ketergantungan Wilayah Terhadap SDA (NRDI) sangat tinggi. Peringkat kedua dan ketiga di Indonesia.

Sayangnya, nilai NRDI tidak diikuti dengan Indeks Pembangunan Daerah Berkelanjutan (RSDI). Dari 33 provinsi di Indonesia yang diteliti, Provinsi Papua Barat menduduki peringkat ke-30 dan Papua di peringkat ke-31. RSDI diukur dengan tiga indikator: laju pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran.

Pendek kata, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam. Namun pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonominya lambat, tingkat kemiskinan, dan penganggurannya sangat tinggi.

Temuan Hania Rahma dkk mengkonfirmasi hipotesis terjadinya fenomena kutukan sumber daya alam di sejumlah provinsi di Indonesia. Pengukuran Indeks Kutukan Sumber Daya Alam (RRCI) yang berbasis pada NRDI dan RSDI menempatkan Provinsi Kalimantan Timur di urutan pertama dalam tingkat kutukan sumber alam. Disusul oleh Papua dan Papua Barat.

Fenomena itu menunjukan bahwa ketiga daerah ini memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi dibarengi ketidakmampuan pemerintah menciptakan pembangunan yang berkelanjutan di daerah tersebut.

Mencari Jalan Keluar Kemiskinan di Papua

Kemiskinan di Papua tidak bisa diselesaikan hanya dengan intensitas kunjungan presiden dan rombongan para menteri, yang kemudian dimaknai sebagai usaha meningkatkan kualitas hidup orang Papua. Pengentasan kemiskinan di Papua membutuhkan keseriusan pemerintah pusat dalam melaksanakan pendampingan kepada pemerintah daerah guna mengupayakan strategi terbaik, sebagaimana yang telah ditargetkan oleh pemerintah.

Hardius Usman, Guru Besar Politeknik Statistika, mengingatkan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia berjalan sangat lambat. Dalam opininya, “Target Penurunan Kemiskinan Yang Tidak Tercapai”, Hardius mengingatkan kita bahwa tren penurunan kemiskinan hanya mencapai 0,2-0,3 persen per tahun. Angka yang relatif kecil. Itu artinya, kemiskinan tidak bisa dipandang sederhana oleh pemerintah.

Sulit membayangkan bagaimana pemerintah Papua berjuang melawan kemiskinan. Jika asumsi tren penurunan kemiskinan anggap saja 0,5 persen per tahun, sementara angka kemiskinan Papua 20,06 persen per tahun, dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai target pemerintah.

Itu artinya, pada tahun 2045, kemiskinan di Papua baru mencapai angka 10,06 persen. Bahkan 20 tahun dari sekarang, Papua belum bisa mencapai target pemerintahan Jokowi di periode kedua yang menargetkan kemiskinan turun hingga 7,5 persen.

Empat Skenario

Ada empat skenario yang perlu dilakukan agar Papua keluar dari jerat kemiskinan.

Pertama, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu menghadirkan sarana pelayanan dasar seperti akses terhadap air minum, listrik, sarana transportasi yang memadai, akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sebab, ini merupakan salah satu penyebab kemiskinan di Papua.

Sebagaimana disinggung di awal tulisan, kemiskinan di Papua erat kaitannya dengan akses masyarakat terhadap pelayanan dasar, sehingga intervensi ini menjadi penting.

Kedua, pemerintah pusat perlu mengawal pemerintah daerah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, sehingga pembangunan kepada masyarakat berjalan tepat sasaran.

Ketiga, perlu upaya kolaboratif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengawal program-program jaring pengaman sosial untuk menekan angka kemiskinan. Program-program itu, antara lain, Bansos, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Keempat, pemerintah pusat dan daerah perlu memaksimalkan dan mengawal dana desa, dengan memberikan alokasi dan program khusus, sebagai bentuk respon untuk menurunkan angka kemiskinan di wilayah Papua.

*Pengajar di Fakultas Teknik, Universitas Cenderawasih sekaligus Direktur Lembaga Riset dan Inovasi Brongkendik Institute

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.