Menuju konten utama

Human Rights Watch Desak Polri Selidiki Pembunuhan Pekerja di Nduga

Human Rights Watch sejak lama telah menyoroti pelanggaran HAM oleh militer di Papua.

Human Rights Watch Desak Polri Selidiki Pembunuhan Pekerja di Nduga
Prajurit TNI dan Polri mengangkat peti jenazah korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang tiba di Landasan Udara Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (7/12/2018). ANTARA FOTO/Abriawan abhe

tirto.id - Human Rights Watch mendesak polisi untuk menyelidiki pembunuhan oleh kelompok bersenjata terhadap para pekerja PT Istaka Karya dan anggota TNI di Nduga, Papua pada 22 Desember 2018 lalu.

Organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat ini menyebut kronologi pembunuhan yang terjadi di Nduga masih tidak jelas. Mereka berharap polisi bisa bersikap profesional dan tak melanggar HAM dalam menangani kasus ini.

"Serangan kelompok militan Papua di tempat kerja itu menimbulkan kekhawatiran dan harus diselidiki secara serius. Militan dan petugas keamanan seharusnya tak merugikan orang sipil Papua," ujar Elaine Pearson dari Human Rights Watch.

Dikutip dari keterangan tertulis Human Rights Watch yang diterima Tirto pada Senin (10/12/2018), pasukan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan itu.

OPM menyebut, setelah mengawasi para pekerja selama tiga bulan, mereka menyimpulkan para pekerja adalah anggota TNI yang menyamar sebagai orang sipil.

Namun, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan mereka yang tewas adalah pekerja dari perusahaan pelat merah PT IStaka Karya dan PT Brantas Abipraya.

Para pekerja itu, menurut Basuki, dikirim dari Sulawesi untuk bekerja membangun jalan dan jembatan Trans Papua sepanjang 4.300 kilomter. Dia mengatakan, tentara yang mengamankan pembangunan itu membawa senjata, termasuk yang tewas dalam serangan.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan TNI dan polisi untuk mengejar dan menangkap semua pelaku tindakan pembunuhan itu.

Menurut catatan Human Rights Watch, di Papua Barat, 1 Desember diperingati sebagai hari Papua Barat mendeklarasikan persatuan mereka. Pada 1961, di bawah kekuasaan Belanda, sebuah dewan terpilih yang sebagian besar terdiri dari penduduk asli Papua.

Dewan itu ditugaskan untuk membuat lagu kebangsaan dan bendera nasional. Pada 1 Desember 1961, bendera Bintang Kejora Papua Barat dikibarkan di samping bendera Belanda untuk pertama kalinya. Indonesia kemudian mengambil alih Papua dengan pengakuan PBB pada 1969.

Human Rights Watch menyebut, selama lima dekade terakhir, sejumlah orang Papua menolak pemerintahan Indonesia. Pada 1 Desember 2018, lebih dari 500 mahasiswa ditangkap di lebih dari 10 kota di Indonesia. Mereka ditangkap karena mengibarkan bendera Bintang Kejora dan menuntut kemerdekaan.

Polisi awalnya menyatakan pembunuhan di Nduga itu merupakan balasan bagi seorang pekerja yang mengambil foto militan Papua mengorganisir upacara pengibaran bendera di dekat pembangunan jembatan Trans Papua.

Lebih dari 100 personel gabungan TNI dan Polri ditugaskan untuk mengevakuasi korban tewas dan terluka akibat penyerangan di Nduga.

Human Rights Watch telah lama menyoroti pelanggaran HAM di Papua. Militer dan polisi kerap terlibat dalam konfrontasi dengan kelompok bersenjata.

"Militer Indonesia kerap terlibat kekerasan terhadap masyarakat Papua, termasuk penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan. Kurangnya akuntabilitas internal dan sistem peradilan yang tak berfungsi baik jadi impunitas bagi pelanggar HAM di Papua," tulis Human Rights Watch.

Organisasi ini meminta polisi dan TNI berhati-hati ketika menyelidiki kasus Nduga. HRW berharap, polisi menerapkan standar internasional dalam penanganan kasus ini.

"Mereka harus menyelidiki secara transparan dan minta pertanggungjawaban siapa pun yang terlibat dalam tindak kriminal. Baik militer atau polisi harus mengizinkan wartawan meliput secara independen di daerah tersebut," ujar Human Rights Watch.

Nduga merupakan daerah terpencil. Hampir tidak ada wartawan yang bisa meliput ke sana, terlebih setelah serangan terjadi.

Pembatasan peliputan terhadap media asing di Papua dan kontrol terhadap wartawan Indonesia memupuk ketidakadilan dan pelanggaran serius yang dilakukan militer terhadap orang Papua.

"Situasi di Nduga sangat kacau karena tidak ada jurnalis yang secara independen masuk ke wilayah tersebut untuk mewawancarai saksi dan memverifikasi apa yang terjadi," ujar Pearson.

"Pemantauan independen di lapangan akan membantu mencegah pelanggaran baik oleh kelompok militan maupun polisi dan TNI, juga akan menguntungkan orang Papua," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS PENEMBAKAN DI PAPUA atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra