tirto.id - Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua dan Papua Barat kembali menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan Surat Presiden ke DPR pada 4 Desember 2020. Dalam surat itu Jokowi meminta DPR membahas revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Revisi ini kini masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Revisi UU Otsus Papua pada intinya akan memperpanjang program Otsus, yang berakhir tahun ini, hingga dua dekade mendatang. Dana Otsus telah mulai disalurkan sejak 2002, sedangkan Papua Barat sejak 2008.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan alokasi perpanjangan anggaran dana Otsus akan mencapai Rp234 triliun, hampir dua kali lipat dari dana Otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI) selama periode 2002-2021 untuk kedua propinsi tersebut. Sri Mulyani juga merencanakan agar alokasi anggarannya ditingkatkan dari sebelumnya hanya 2 persen menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU), yang juga tertuang pada revisi UU Otsus.
Di sisi lain, banyak pihak mengkritik keefektifan dari program Otsus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat, di samping indikasi penyelewengan dana seperti yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Polri.
Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menilai RUU Otsus sebagai keputusan sepihak. Ratusan organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) pun mengklaim sudah sekitar 18 persen dari penduduk Papua yang secara terbuka menyatakan menolak Otsus.
Perbedaan pandangan mengenai RUU Otsus pun memunculkan berbagai pertanyaan. Bagaimana kondisi Papua dan Papua Barat sebenarnya menurut indikator kesejahteraan dan pembangunan? Lalu, langkah apa yang sebaiknya diambil untuk menyelesaikan akar permasalahan di Papua dan Papua Barat?
Masih Belum Efektif?
Menurut kajian yang dilakukan DPR, dana otsus masih belum secara efektif menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat dan perbaikan kualitas sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat, meskipun anggarannya rata-rata meningkat 9 persen setiap tahun seiring peningkatan APBN.
Memang, berdasarkan data BPS, pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua dan Papua Barat cenderung meningkat kalau dilihat selama periode 2011-2020, kecuali PDRB Papua pada tahun 2019. Papua juga menjadi satu dari tiga provinsi yang tetap tumbuh di tengah pandemi tahun lalu dengan angka 2,32 persen sedangkan Papua Barat kontraksi relatif kecil yaitu 0,77 persen, dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang turun 2,07 persen.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Papua dan Papua Barat pun relatif rendah secara nasional. Per Agustus 2020, TPT nasional adalah 7,07 persen, sedangkan TPT Papua 4,28 persen dan TPT Papua Barat 6,80 persen. Artinya, sekitar 95 persen angkatan kerja di Papua dan 93 persen angkat kerja di Papua Barat dapat terserap pada seluruh lapangan pekerjaan.
Namun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat cenderung menempati posisi terbawah secara nasional selama periode 1996-2020. Kurangnya pengembangan sumber daya manusia juga tercermin dari lebih rendahnya rata-rata lama sekolah dan umur harapan hidup saat lahir di Papua dan Papua Barat jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.
BPS mencatat, kedua provinsi ini secara konsisten pula menjadi provinsi yang termiskin di Indonesia dalam dua dekade terakhir, meskipun persentase penduduk miskin menurun dari 41,80 persen pada tahun 2002 menjadi 26,8 persen pada semester II 2020. Angka kemiskinan di provinsi-provinsi tersebut juga dua kali lipat lebih tinggi dari persentase penduduk miskin nasional.
Tentang ini, para peneliti di pusat kajian DPR, Suhartono dan Satya, mencatat bahwa tingginya angka PDRB lebih menunjukkan kontribusi kegiatan berbasis sumber daya alam, seperti migas dan pertambangan.
“Hal ini menunjukkan bahwa secara riil transfer Dana Otsus yang besar ke Provinsi Papua belum mampu secara efektif menyentuh aspek kemiskinan dan IPM yang menggambarkan dampak pembangunan pada masyarakat Papua yang lebih luas. PDRB dari migas dan pertambangan tidak sepenuhnya menggambarkan aktivitas seluruh lapisan masyarakat Papua,” tulis para peneliti kajian tersebut.
Akar Permasalahan?
Ada beberapa alasan mengapa dana otsus belum menyejahterakan Papua dan Papua Barat. Ketua Tim Kajian Papua untuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menilai otsus masih dibayangi masalah pengelolaan dana yang buruk akibat kurangnya transparansi dan akuntabilitas, sehingga dana otsus pun menjadi kurang efektif.
Konflik bersenjata di daerah pegunungan di Papua juga salah satu hambatan pembangunan. Pasalnya, dana otsus yang seharusnya diberikan kepada kesejahteraan rakyat digunakan pula untuk menangani pengungsi, menangani korban atau menambah aparat keamanan di daerah konflik.
Saat ini pun tidak ada pembicaraan terbuka antara elit politik di Jakarta dan Papua terkait implementasi otsus, termasuk penggunaan anggaran, menurut Adriana. Sebagai contoh, evaluasi otsus saat ini masih dilakukan sendiri-sendiri. Keputusan merevisi UU Otsus pun berasal dari pemerintah pusat.
Padahal, ada dua makna utama yang terkandung dalam otsus, yakni untuk meningkatkan pembangunan di Papua dan resolusi konflik. "Otsus memang ada maksudnya diberikan. Kalau tidak dipahami itu, seolah-seolah otsusnya salah," kata Adriana.
Oleh karena itu, ia mendorong adanya dialog untuk menyelaraskan pemahaman terkait otsus dan menyelesaikan akar permasalahan pembangunan daripada mempolitisasi otsus. Ia mencontohkan kurangnya akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan sebagai salah satu akar permasalahan di Papua.
Kemudian, pemerintah perlu mengidentifikasi kebutuhan riil masyarakat Papua dan Papua Barat dan mencari solusinya, jelas Adriana. Misalnya, jika suatu wilayah memiliki sekolah tetapi tidak memiliki pengajar yang memadai, maka pemerintah sebaiknya membiayai guru-guru di daerah tersebut.
"Mau ada otsus, mau tidak ada otsus, itu [pemenuhan kebutuhan dasar] kan permasalahannya,” ujarnya.
Dalam aksi penolakan perpanjangan program Otsus baru-baru ini, orator bernama Ambrosius Mulait menegaskan bahwa pemerintah wajib memastikan layanan kesehatan, pembangunan, dan infrastruktur bagi rakyat Papua. Para peserta aksi menilai otsus merupakan agenda politis pemerintahan belaka.
"Otsus hanya menutupi dosa-dosa pemerintah Jakarta," kata Ambrosius pada Rabu (24/2/2021), seperti yang dilaporkan CNNIndonesia.
BPK juga dalam laporannya menyarankan pemerintah untuk meningkatkan Kerjasama dengan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dianggap sebagai representasi kultural orang asli Papua, dalam pengawasan penggunaan dana Otsus.
Upaya pemerintah?
Di tengah polemik dana Otsus, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko berkata pemerintah memikirkan dengan "sungguh-sungguh" untuk melanjutkan otsus kedua karena berkaitan dengan "keuangan daerah" dan "support pusat kepada daerah".
Ia mengungkapkan, pemerintah terus mempersempit kesenjangan di Papua dengan antara lain program Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga. "Intinya, kita pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk mengecilkan kesenjangan, berikutnya mewujudkan keadilan yang sesungguhnya. Tidak ada lagi istilah bagaimana pengertian mayoritas dan minoritas," ujarnya.
Deputi V KSP Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Jaleswari Pramodhawardhani kepada Tirto, Selasa (9/3/2021), menjelaskan bahwa pemerintah mengutamakan pendekatan budaya dan kontekstual Papua yang berbasis ekologi dalam pembangunan wilayah Papua. Hal ini, ungkapnya, sejalan dengan pelaksanaan otsus yang mengamanatkan pemberdayaan orang asli Papua.
Jokowi pun telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2020 yang membentuk tim koordinasi terpadu percepatan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat. Tim ini dipimpin langsung oleh Wakil Presiden. Pemerintah juga telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 yang mengamanatkan peningkatan keterlibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat lokal.
"Tanah Papua adalah prioritas cita-cita Indonesia-sentris Presiden,” klaim Jaleswari.
Editor: Farida Susanty