tirto.id - Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden ke DPR agar mereka membahas revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus) pada 4 Desember 2020. Surat tersebut diproses sesuai mekanisme yang berlaku, serta dibahas pada masa sidang III tahun 2020-2021 yang dimulai 10 Januari.
Inti dari revisi adalah agar program Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilanjutkan. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Rabu (22/1/2020), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan karena Otsus berakhir pada tahun ini, revisi harus rampung tahun ini juga. Sementara pada tahun lalu dia bilang berencana memperpanjang status Otsus hingga 20 tahun ke depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan perpanjangan anggaran dana Otsus untuk dua dekade mendatang mencapai Rp234 triliun—dua kali lipat dari dana Otsus yang digelontorkan sejak 2002 hingga sekarang, yaitu Rp101,2 triliun. Menurut dia, itu menunjukkan bahwa pemerintah pusat terus berkomitmen membangun dan memperpendek jurang kesenjangan di wilayah Papua.
Setelah menerima surat dari Jokowi, DPR lantas membentuk panitia khusus (pansus) yang ditugaskan untuk membahas revisi UU Otsus yang terdiri dari 30 anggota. Mereka semua merupakan perwakilan dari sembilan fraksi di parlemen. Sembilan di antaranya berasal dari daerah pemilihan (dapil) di Papua dan Papua Barat.
Anggota pansus Ahmad Junaidi Auly mengatakan kepada reporter Tirto, Rabu (17/2/2021), belum pernah ada pertemuan setelah badan dibentuk saat rapat paripurna lalu. Meski demikian ia memastikan pansus akan berusaha memperjuangkan yang terbaik bagi rakyat Papua.
Ditolak Orang Papua
Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), sebuah organisasi legal yang dimaksudkan sebagai representasi kultural orang asli Papua, mengatakan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan DPR terhadap UU Otsus adalah pekerjaan sepihak yang jelas tidak dapat didukung. “Tidak melalui mekanisme legal, [harusnya] sesuai dengan Pasal 77 UU Otsus,” ujar dia kepada reporter Tirto, Rabu.
Pasal 77 yang dimaksud berbunyi: “Usul perubahan atas Undang-Undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Murib mengatakan selama ini pusat memang “belum pernah melibatkan rakyat Papua” dalam membahas Otsus dan parahnya itu kebiasaan yang bukan rahasia lagi.
Jika pemerintah ngotot mengesahkan revisi UU Otsus tanpa mau mendengar aspirasi orang Papua, MRP berencana bertindak. “Secara resmi kami akan tinjau ulang di mahkamah. Kami akan gugat [meski] kami tahu akan dikalahkan. Tapi itu tanggung jawab moral kami demi kepentingan Papua,” tutur Murib.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Nioluen Kotouki juga setuju dengan Murib. Ia bilang pasal 77 jelas mengamanatkan rakyat Papua untuk mengevaluasi hasil dari program Otsus yang telah berjalan 20 tahun ini. Masalahnya bahkan untuk menjaring aspirasi yang jelas-jelas legal pun tak berjalan mulus.
Contohnya terjadi pada 17 November 2020. Rapat Dengar Pendapat Wilayah, program kerja MRP yang tujuannya mendengarkan aspirasi orang asli Papua, malah direpresi polisi. Orang-orang yang ikut serta ditangkap karena dituduh merencanakan makar. Salah satu yang ditangkap adalah tenaga ahli MRP Wensislaus Fatubun.
“Negara sendiri gagal menjalankan amanat pasal 77. Mau salahkan siapa lagi? Karena lingkaran negara, baik itu kepolisian atau militer, tidak menjaga [rakyat Papua],” ucap Nioluen kepada reporter Tirto, Rabu.
Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda, ketika dihubungi Tirto, Rabu, berharap Pansus Otsus bekerja benar yaitu mendengar sebanyak-banyaknya aspirasi. “Harus buka ruang, tak bisa hanya dengar satu-dua orang lalu klaim ‘sudah dengar’,” ucap Yunus. “Pro dan kontra itu biasa, tapi harus ada ruang untuk duduk bersama supaya lahirnya Otsus jilid kedua, ketiga, keempat, benar lahir dari aspirasi rakyat Papua.”
Otsus Papua ditolak banyak masyarakat. Ratusan organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) mengklaim sudah sekitar 18 persen dari penduduk terbuka menyatakan menolak Otsus.
Filep Karma, mantan tahanan politik Papua, sempat mengatakan “Otsus dijanjikan bukan berjilid-jilid, hanya satu kali.” Sejak jilid pertama saja Otsus “tidak bawa perubahan dan justru menambah penderitaan.” Oleh karena itu ia bilang alih-alih Otsus, yang dibutuhkan rakyat Papua adalah referendum. Dengan referendum nasib orang Papua ada di tangan mereka sendiri.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino