tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Agustus 2019 lalu merilis perkembangan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2019. Dalam rilis resmi tersebut, BPS mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2019 mencapai Rp3.963,5 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.735,2 triliun.
Angka PDB tersebut lebih dari separuhnya disumbangkan Pulau Jawa. Pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia tersebut menyumbang 59,11 persen terhadap total PDB Indonesia. Sumbangan besar lainnya berasal dari peranan Pulau Sumatera. Pulau tersebut menyumbang 21,31 persen terhadap total PDB.
Sumbangan terkecil datang dari pulau Maluku dan Papua. Kedua pulau di wilayah timur tersebut hanya menyumbang 2,17 persen terhadap PDB Indonesia pada Triwulan II-2019. Sumbangan kedua pulau tersebut kalah dari Bali dan Nusa Tenggara dengan 3,06 persen; dan Sulawesi dengan 6,34 persen.
Peranan yang kontras antara Sumatera dan Jawa yang mencapai 80 persen dibandingkan pulau-pulau di wilayah timur tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan ekonomi. Perekonomian Indonesia lebih banyak bergeliat di wilayah barat.
Selain ketimpangan dalam ekonomi, di sisi lain, kesenjangan sosial juga menjadi masalah di wilayah timur. Berdasarkan perhitungan gini ratio pada Maret 2019, enam dari 10 provinsi dengan gini ratio tertinggi (paling tidak merata) berasal dari wilayah timur Indonesia, diataranya Papua dan Papua Barat.
Untuk mengurangi kesenjangan antara Papua-Papua Barat dengan provinsi lain, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana otonomi khusus (Otsus). Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pemerintah menyalurkan dana otsus untuk tiga provinsi: Aceh, Papua, dan Papua Barat.
Dana Otsus Papua-Papua Barat
Dana otsus untuk Papua telah mulai disalurkan sejak 2002, sedangkan Papua Barat sejak 2008. Besaran dana untuk kedua provinsi tersebut yaitu dua persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional dengan ditujukan untuk pembiayaan Pendidikan dan kesehatan.
Dalam lima tahun terakhir, realisasi dana otsus untuk Papua dan Papua Barat jumlahnya selalu meningkat. Dana otsus Papua pada 2014 tercatat sebesar Rp4,78 triliun. Angka tersebut bertambah setiap tahunnya hingga menjadi Rp5,62 triliun pada 2018.
Papua Barat pada 2014 mendapat dana otsus Rp2,05 triliun. Angka tersebut meningkat hingga 2018 menjadi Rp2,4 triliun.
Selain otsus, Papua dan Papua Barat juga mendapat dana tambahan infrastruktur (DTI) yang difokuskan untuk pembangunan infrastruktur di kedua provinsi.
DTI untuk Papua pada 2014 tercatat sebesar Rp2 triliun, sedangkan untuk Papua Barat sebesar Rp2,05 triliun. Angka tersebut meningkat setiap tahunnya hingga 2018. Pada 2018 DTI untuk Papua terealisasi sebesar Rp2,4 triliun dan Papua Barat Rp2,41 triliun.
Pendidikan dan Kesehatan
Sesuai dengan amanat, selain untuk dibagi antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota, dana otsus untuk diutamakan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Lalu, bagaimana dampaknya terhadap kondisi pendidikan dan kesehatan di wilayah tersebut?
Dana otsus Papua yang disalurkan untuk pendidikan pada 2014 tercatat sebesar Rp647,31 miliar. Angka tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada 2017, nilainya mencapai Rp1,67 triliun.
Namun, angka tersebut belum banyak membantu meningkatkan Angka Melek Huruf (AMH) di kedua provinsi tersebut. Pada 2014, AMH Papua tercatat sebesar 70,78 persen, sedangkan Papua Barat lebih baik dengan 96,75 persen.
Pada 2018, AMH Papua sebesar 76,79 persen. Nilai tersebut masih berada di bawah rerata nasional yang mencapai 95,66 persen. Kondisi AMH Papua Barat lebih baik, berada di atas rerata nasional yaitu sebesar 97,33 persen.
Selain itu, rata-rata lama bersekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas di Papua juga berada di bawah rerata nasional. Pada 2015, penduduk Papua rata-rata bersekolah selama 6,27 tahun, dibawah rerata nasional dengan 8,32 persen. Pada 2018, kondisi Papua sebesar 6,66 tahun sedangkan rerata nasional sebesar 8,58 tahun.
Rata-rata lama bersekolah di Papua Barat lebih baik daripada rerata nasional. Pada 2015 sebesar 9,47 tahun dan 2018 dengan 9,73 tahun. Meskipun lebih tinggi daripada rerata nasional, angka tersebut masih belum mencapai apa yang dicanangkan dalam program wajib belajar 12 tahun–meskipun provinsi lain juga belum mencapai 12 tahun.
Sementara itu, dana Otsus yang disalurkan untuk kesehatan pada 2014 tercatat sebesar Rp902,93 miliar. Angka tersebut naik hingga mencapai Rp976,35 miliar pada 2017.
Salah satu masalah kesehatan di pulau Papua yaitu gizi buruk. Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari pada Kamis (31/1/2019) lalu mengakui bahwa angka persoalan gizi buruk masih cukup tinggi di wilayah NTT dan Papua Barat.
Persentase balita 0-23 bulan penderita gizi buruk pada 2018 di Papua tercatat sebesar 4,5 persen dan Papua Barat 4,1 persen. Sedangkan rerata nasional sebesar 3,8 persen, lebih rendah daripada kedua wilayah tersebut.
Wabah gizi buruk dan campak juga sempat menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Asmat, Papua pada medio Januari 2018. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menuding kasus tersebut merupakan buah dari tidak efektifnya dana otsus.
Besarnya dana otsus, katanya, tidak berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan. "Saya lihat dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan yang membuat baik kondisi Papua," kata politikus dari Golkar tersebut, di kompleks DPR RI, Selasa (30/1/2018).
Pengelolaan Buruk?
Besarnya dana yang digelontorkan pemerintah pusat untuk Papua melalui dana otsus, tentunya perlu kehati-hatian dalam pengelolannya. Pengelola dana tersebut tentunya tak luput dari sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor negara.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) pada Kamis (31/1/2019) lalu, BPK telah mengumpulkan beberapa informasi awal terkait pengelolaan dana otsus Papua. Salah satunya, regulasi pelaksanaan otsus yang sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, belum ditetapkan secara lengkap.
Selain itu BPK menilai penggunaan dana tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peruntukan yang telah diatur bagi masing-masing sumber dana. Pelaksanaan otsus juga dinilai belum optimal dalam meningkatkan ukuran kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat.
Pada 2011 lalu, BPK bahkan menemukan adanya penyalahgunaan dana otsus Papua dan Papua Barat yang disalurkan pemerintah pusat sebesar Rp28,842 triliun dari tahun 2002-2010. Dana yang disalahgunakan diketahui sebesar Rp4,281 triliun.
Namun, di antara kasus penyalahgunaan dana tersebut, salah satu hal yang patut diapresiasi yaitu tindakan yang dilakukan Gubernur Papua Lukas Enembe pada 2013 lalu.
Seperti dilansir kompas.com, Lukas melaporkan temuan BPK tentang penggunaan dana otsus di Papua periode 2002-2010 kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Saat itu, Lukas meminta DPR ikut mengawal temuan BPK tersebut dan ditindaklanjuti oleh pihak berwenang. Jika tidak ditindaklanjuti, ia khawatir akan terseret masalah di kemudian hari.
"Kami kerja baik, apa pun akan sama saja. Apakah mau dibersihkan, atau bagaimana. Kami sangat terganggu," kata Lukas di Gedung DPR, Jakarta (6/2/2013).
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara