tirto.id - Malang benar nasib mahasiswa Papua di rantau. Tak hanya rasisme dan pembungkaman yang memang sudah terjadi berkali-kali, kini mereka juga terancam mendapatkan cap baru sebagai teroris usai pemerintah menyatakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) adalah organisasi teroris.
“Orang Indonesia pikir kami, orang Papua, semua teroris. Sehingga sulit mendapatkan indekos dan lainnya. Sebelumnya saja sudah sulit, apalagi dilabeli dengan teroris,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) Ambrosius Mulait kepada reporter Tirto, Senin (3/5/2021).
Kesulitan mahasiswa Papua di luar tanah kelahirannya berkali-kali ramai dibicarakan dan jadi isu yang diangkat di media massa. Pada 2019 lalu, misalnya, asrama mereka di Surabaya diteror dengan ular yang dimasukkan ke dalam karung. Sebelumnya, dan barangkali merupakan peristiwa paling signifikan, adalah penyerangan dan ujaran-ujaran rasis yang kelak memicu gelombang protes besar-besaran di Papua dan beberapa daerah lain hanya karena mereka dituding merusak bendera merah putih--yang tak terbukti.
Ambrosius mengatakan semua yang mereka alami adalah akumulasi dari ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan politik di Papua. Melabeli gerakan pro kemerdekaan sebagai teroris hanya memperumit itu semua.
“90 persen anak-cucu dari orang-orang OPM dahulu, sekarang beranak-pinak di Papua. OPM merajalela untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri. Pemerintah salah melihat substansinya,” katanya.
Wacana pelabelan OPM--yang hendak memerdekakan diri dari Indonesia--sebagai teroris telah muncul setidaknya sejak pertengahan maret lalu. Ketika itu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan predikat teroris tepat karena mereka sama-sama menggunakan kekerasan, ancaman, dan menimbulkan ketakutan bagi publik.
Menkopolhukam Mahfud MD menyebut hal yang sama, yang menurutnya berdasarkan paparan tokoh masyarakat dan tokoh adat Papua. Pernyataannya setali tiga uang dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo, BIN, Polri, dan TNI.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan Ketua Ikatan Mahasiswa Papua Jadetabek Matius Wonda. Menurutnya aneh ketika ada orang Papua dicap sebagai teroris sementara yang datang datang ke sana justru tampak seperti pahlawan.
Menurutnya, melabeli OPM sebaga teroris hanya memutus kemungkinan dialog dengan orang asli Papua, padahal itu penting agar “permasalahan larut ini dapat diselesaikan,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (4/5/2021).
Gubernur Papua Lukas Enembe juga gelisah penyebutan ini akan berdampak buruk bagi para warga Papua di rantau termasuk para pelajar. “Pelabelan teroris terhadap kelompok bersenjata akan memiliki dampak psikososial bagi warga Papua yang berada di perantauan. Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru,” kata Enembe, Kamis (29/4/2021), lewat Twitter resmi Pemprov Papua.
Ia meminta pemerintah mengkaji ulang penetapan tersebut. Jangan sampai satu keputusan tidak komprehensif sehingga gagal memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan hukum terhadap warga Papua secara umum.
Keliru
Selain berpotensi memberikan dampak buruk bagi para perantau, pelabelan ini secara umum memang keliru. Peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang banyak meneliti soal Papua Cahyo Pamungkas mengatakan melabeli OPM teroris hanya akan mempertebal sentimen rasis. “Rasisme yang ada di masyarakat ditopang oleh kebijakan negara yang represif mengatasi konflik Papua,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.
“Ada sebagian masyarakat yang sedang sakit secara psikologis dengan cara memelihara sentimen rasisme terhadap orang asli Papua. Mereka melabelkan orang asli Papua identik dengan kekerasan dan OPM, serta menganggap orang asli Papua berkebudayaan lebih rendah.”
Pelabelan teroris terhadap OPM juga seolah menebalkan ‘izin untuk membunuh’ dari negara. Tak ada lagi perdebatan soal HAM. “Situasi di Papua atau di luar Papua memburuk. Posisi gerakan sipil dan politik Papua terancam. Mereka seharusnya memiliki ruang dan dilindungi dalam ruang publik yang demokratis,” katanya.
Sementara Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, berpendapat jika UU Terorisme betul diterapkan di sana, makin banyak orang Papua yang ditangkap tanpa didasarkan bukti-bukti. “Akan ada lebih banyak ketakutan, kemarahan, dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan negara.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino