tirto.id - Kerawanan pelaksanan pemilu di luar negeri kembali muncul. Hal ini, salah satunya terungkap saat capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, mendengar keluhan para pekerja migran dalam kunjungannya ke Magetan, Jawa Timur, Kamis (19/1/2024).
Ganjar mengakui dirinya mendengar keterangan dari para pekerja migran Indonesia tentang dugaan pelanggaran Pemilu 2024 di Hongkong.
"Saya sudah mendapat banyak laporan serupa. Hari ini, ada mantan pekerja migran yang menyampaikan bahwa teman-temannya di Hong Kong [punya hak] nyoblos dan ada problem. Jadi, kita sedang pantau terus-menerus," tutur Ganjar dalam keterangan di Magetan, Kamis (18/1/2024).
Menurut Utrik, salah satu pekerja migran, banyak rekan-rekannya sesama pekerja migran yang tidak bisa mengikuti Pemilu 2024 karena pengiriman surat suara bermasalah.
"Pak, saya mantan pekerja migran. Saya mendapat laporan dari teman-teman di Hong Kong, [katanya] sudah dimulai pencoblosan. Tapi teman-teman mengeluh Pak, karena sistem yang diterapkan sekarang, semrawut," kata Utrik dalam rilis tertulis.
Utrik mengatakan, sistem pencoblosan untuk pekerja migran yang diberlakukan saat ini berbeda dengan pemilu sebelumnya. Dulu, katanya, pekerja migran melakukan pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sedangkan sekarang surat suara dikirim ke alamat tempat mereka bekerja.
Utrik lalu melakukan video call kepada sejumlah pekerja migran yang masih berada di Hong Kong. Ganjar lalu berbincang kepada mereka untuk memastikan dugaan informasi tersebut.
"Kami sedang pantau, TPN sudah menindaklanjuti dan mengecek seperti apa kondisinya. Kita cek betul agar tidak ada curiga, tidak ada keresahan, dan kita bisa klarifikasi," ujar Ganjar.
Permasalahan di Hong Kong sebagaimana diucapkan Ganjar mengingatkan pada masalah yang sama yang terjadi di Taipei pada akhir Desember 2023 lalu.
Kala itu beredar video viral WNI di Taipei yang menerima surat suara sebelum pencoblosan. Setidaknya terdapat 62.552 surat suara yang sudah dikirimkan kepada pemilih.
Kerawanan di Balik Kotak Suara Keliling
MigrantCare menemukan sejumlah permasalahan pemilih yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) berstatus sebagai pekerja migran di empat negara, termasuk Taipei dan HongKong.
Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta, mengatakan bahwa suara pekerja migran di empat negara, yakni Taipei, Malaysia, Hongkong dan Singapura belum terdistribusi dengan baik. Padahal, menurutnya, mereka sudah mendaftar terlebih dahulu. Temuan itu, kata Trisna, merupakan hasil keluhan pekerja migran di empat negara tersebut.
"Dalam empat wilayah ini, kesemuanya dalam komentarnya mengeluhkan hal sama, terkait suaranya belum terdistribusikan dengan baik ataupun DPT Luar Negerinya bermasalah. Padahal, dia (pekerja migran) sudah mendaftar lebih dahulu," kata Trisna dalam jumpa pers yang digelar secara daring.
Mereka menilai temuan tersebut menunjukkan ketidakseriusan KPU kepada pemilih luar negeri. Hal itu berdasarkan penurunan jumlah DPT luar negeri yang ditetapkan KPU, yakni hanya 1,7 juta lebih.
"Angka itu terlalu kecil dibandingkan populasi warga Indonesia yang sedang bekerja, belajar, dan bermukim di luar negeri," tutur Trisna.
Ia menduga penurunan angka itu karena KPU tidak melakukan revisi terhadap lampiran 3 dan 4 dari UU No.7 tahun 2017 tentang pemilu, sehingga pada 2024 ini pemilih luar negeri digabung dengan Dapil Jakarta 2.
Trisna mengatakan populasi pekerja migran Indonesia di luar negeri ada berbagai versi data, yang jumlahnya lebih besar dari DPT Luar Negeri yang ditetapkan KPU.
"Menurut Bank Indonesia sebanyak 3,6 juta, menurut Kementerian Tenaga Kerja sekitar 6,5 juta, prediksi Bank Dunia menyatakan ada 9 juta," tutur Trisna.
Menurutnya, temuan mereka baru sebatas pekerja migran. Mereka khawatir angka pemilih bisa lebih besar karena belum memasukkan mahasiswa. Ia khawaitr sikap KPU yang tidak serius berdampak pada penghilangan hak politik yang dimiliki warga Indonesia, khususnya pekerja migran.
"Itu tentu berpotensi besar penghilangan hak politik yang dimilik warga Indonesia yang mayoritas pekerja migran," kata Trisna.
Di sisi lain, Trisna juga menyoroti potensi kerawanan metode pemungutan suara yang dilakukan di luar negeri, yakni lewat kotak suara keliling dan pos. Ia menilai metode tersebut memicu kerawanan kecurangan karena tidak ada mekanisme dan sistem pelacakan yang jelas diterapkan oleh penyelenggara pemilu.
Trisna mengatakan lembaganya mencatat bahwa metode pos adalah metode yang susah untuk dilacak dan transparan.
"Ke mana suara itu larinya, dikembalikan atau ke mana. Metode pos adalah metode yang paling banyak buang surat suara," kata Trisna dalam jumpa pers secara daring yang juga diikuti oleh Tirto, Kamis (18/1/2024).
Trisna menambahkan, potensi rawan itu juga diperparah dengan tertukarnya surat suara, distribusi yang salah alamat, sampai beberapa pekerja yang telah kembali ke Indonesia ataupun telah meninggal dunia masih mendapatkan surat suara.
"Masalah lain juga terkait dengan majikan," tutur Trisna.
Menurutnya, data indeks kerawanan pemilu di Malaysia memiliki tingkat kerawanan paling tinggi.
"Selaras dengan temuan kami, seperti tak terdaftarnya pekerja sawit dalam DPT LN dan pekerja migran yang mendaftarkan dirinya dalam mekanisme metode pemilih TPS ternyata dalam ketetapannya pos," kata Trisna.
Peneliti pemilu dari Perludem, Fadli Ramadhanil, juga menyoroti proses pemilihan di luar negeri. Menurutnya, KPU perlu memastikan berbagai proses pemungutan suara di luar negeri berjalan lancar.
"Menurut saya untuk proses pemilihan di luar negeri ada beberapa hal yang mesti diwaspadai, terutama tentu saja soal manajemen logistik, proses pemungutan suaranya dan proses penghitungan suaranya, dan kita perlu memastikan pengawasan dari pengawas pemilu di luar negeri itu dilakukan secara serius," kata Fadli, Jumat (19/1/2024).
Fadli meyakini publik tidak akan memerhatikan pemilihan luar negeri untuk kasus Pilpres. Akan tetapi, dalam kasus pileg, suara luar negeri akan menjadi perhatian karena memengaruhi perolehan kursi, terutama di Dapil 2 DKI Jakarta.
"Ini harus diwaspadai,” ujarnya.
Fadli mencontohkan, salah satu permasalahan di luar negeri adalah jumlah surat suara yang dikirim ke pemilih tidak sesuai dengan jumlah pemilih. Ia menilai, suara pemilih perlu dijaga baik jumlah surat yang keluar maupun yang dicoblos.
Ia mendorong agar Bawaslu melakukan pengawasan ketat terhadap proses manajemen dan distribusi logistik, terutama surat suara. Juga KPU, menurutnya, mesti simultan mengumumkan berapa logistik terkirim dan berapa perkembangan jumlah suara.
Menurut anggota Bawaslu, Puadi, pemilu di luar negeri secara teknis hukum pelaksanaan pemungutan suaranya bisa dilakukan dengan tiga cara, yakni di TPS, KSK, dan/atau Pos.
Pemungutan di TPS dilakukan pada 14 Februari 2024, sama dengan pelaksanaan di dalam negeri, atau pada 10 dan 11 Januari 2024 sesuai yang ditetapkan KPU.
Sementara pemungutan suara dengan cara Kotak Suara Keliling (KSK) dilakukan pda 4 Februari 2024.
Dan pemungutan suara dengan metode Pos, pengiriman surat suaranya dimulai pada 2 hingga 11 Januari 2024, lalu penerimaan surat suara kembali dari pemilih sejak dikirim oleh PPLN hingga tanggal 15 Februari 2024.
Alhasil, tambahnya, pemungutan suara di luar negeri ada yang lakukan pada tanggal 14 Februari 2024 dan sebagian besar di tanggal 10 atau 11 Januari 2024.
Sementara itu, Ketua KPU Hasyim Asyari, berbicara spesifik untuk kasus PPLN Taipei. Ia mengaku tengah melakukan penelusuran soal dugaan pencoblosan dan hasil yang sudah disampaikan ke PPLN dan Panwaslu terkait.
Komisioner KPU, Idham Kholik, mengatakan KPU sudah melakukan sejumlah rencana untuk mencegah kecurangan dalam pemilihan di luar negeri. Salah satunya, menurut dia, adalah dengan mengajarkan para petugas di luar negeri untuk bekerja sesuai aturan pemilu.
"Mitigasi untuk memastikan tidak terjadinya electoral fraud dalam pemungutan dan penghitungan suara di luar negeri itu adalah dengan cara memberikan pemahaman yang tepat kepada PPLN (Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri),” ujarnya, Jumat (19/1/2024).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irfan Teguh Pribadi