Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Saat Baliho Kampanye Hanya Jadi Sampah Visual & Kurang Efektif

Dibandingkan menggunakan alat peraga kampanye yang berpotensi merusak lingkungan, Suko menyarankan agar menggelar acara berskala lokal di dapil.

Saat Baliho Kampanye Hanya Jadi Sampah Visual & Kurang Efektif
Warga melintas di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang tertutup Alat Peraga Kampanye (APK) di kawasan Salemba, Jakarta, Kamis (7/12/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz

tirto.id - Seantero jalan protokol di Jakarta, nyaris tak ada celah yang tak ditutupi oleh poster maupun baliho bergambar calon anggota legislatif atau caleg. Bahkan pohon-pohon yang masih menjadi bagian dari makhluk hidup juga harus terkena paku demi gambar caleg yang belum tentu menang di surat suara. Bila tidak gambar caleg, maka bisa dipastikan gambar capres/cawapres atau logo partai sepaket dengan jargon-jargonnya.

Pemandangan itu, bagi masyarakat, menjadi pertanda bahwa musim pemilu sudah tiba. Namun sayangnya, perstiwa lima tahunan itu kerap dinodai dengan baliho yang dipasang secara serampang. Ada yang di fasilitas umum, kendaraan umum, bahkan rumah pribadi yang pemilik rumahnya kerap kali tak tahu rumahnya dipasang stiker caleg dari partai tertentu.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) DKI Jakarta bekerja sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam menindak alat peraga kampanye yang melanggar tersebut. Menurut Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat, Data dan Informasi Bawaslu DKI Jakarta, Quin Pegagan, temuannya mengenai baliho kampanye sudah melewati batas.

Bukan hanya merusak estetika dan melanggar ketentuan penempatan di fasilitas publik, namun juga berpotensi mencederai netralitas aparat. Quin menyebut kejadian di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Baliho caleg dari salah satu partai ditempel tepat di depan pos polisi.

“Salah satu kasusnya itu beberapa waktu lalu di Pasar Baru. Pihak kepolisian menyampaikan keberatan dengan APK salah satu partai yang dipasang di pohon di depan salah satu pos polisi di wilayah tersebut," kata Quin Pegagan dikutip Antara pada Kamis (21/12/2023).

Selain dengan aparat penegak hukum, Bawaslu juga bekerja sama dengan instansi lain, seperti BUMN apabila fasilitasnya menjadi sasaran penempatan alat peraga kampanye. Bahkan PT Perusahaan Listrik Negara telah bersurat ke Bawaslu Jakarta untuk menangani baliho, stiker hingga poster gambar calon dan partai tersebut.

"Itu bisa para pemilik mencopot," kata Quin.

Reporter Tirto mencoba menghubungi Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, untuk menanggapi kasus alat peraga kampanye yang dipasang secara serampangan. Namun hingga artikel ini dimuat, Bagja tidak membalas pesan kami.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, meminta Bawaslu baik di pusat maupun daerah untuk lebih tegas menindak para peserta pemilu yang serampangan dalam memasang alat peraga kampanye. Bahkan dia mengusulkan agar Bawaslu bisa memberi sanksi administratif berupa larangan untuk memasang alat peraga bila kejadian serupa terus berulang.

“Bahkan jika perlu menjatuhkan sanksi administratif berat berupa larangan caleg atau partai yang terus-terusan melanggar untuk tidak boleh memasang alat peraga di area-area di mana pelanggaran secara berulang dilakukan si caleg atau partai. Kalau tidak begitu, tidak akan pernah ada efek jera," kata Titi saat dihubungi Tirto pada Rabu (27/12/2023).

Menurut dia, masa kampanye menjadi ujian integritas bagi caleg di berbagai tingkat DPRD hingga DPR RI maupun capres-cawapres bersama tim suksesnya. Apabila para caleg tidak mau patuh kepada aturan hukum dan aturan main, maka bisa dipastikan mereka tidak akan serius saat mengurus negara dengan segala macam problematika yang ada.

“Tindakan para caleg dan tim kampanye paslon yang masih memasang bahan kampanye di pohon menunjukkan ketidakpatuhan yang sangat terbuka. Hal itu jadi indikator paling mudah untuk menilai kepatuhan caleg pada hukum dan aturan main. Kalau atas hal-hal yang sederhana saja mereka tidak patuh, apalagi pada hal-hal yang lebih kompleks dan membutuhkan komitmen besar," kata Titi.

Sudah Ada Medsos Mengapa Baliho Masih Perlu?

Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, menjelaskan alasan para caleg masih memasang baliho, poster maupun alat peraga kampanye lainnya yang bersifat konvensional. Menurut dia, kampanye baliho di area publik dibutuhkan untuk menarik massa. Semakin mencolok suatu baliho karena ukuran, warna dan lokasi pemasangannya, maka akan efektif untuk menarik suara massa.

“Semakin banyak jumlah, ukuran yang besar atau mencolok, desain yang menarik dan titik strategis sebagai tempat pemasangan akan berkorelasi linear dengan tingkat efektifitasnya," kata Kamhar saat dihubungi Tirto, Rabu (27/12/2023).

Walaupun media sosial sudah mengambil alih sebagian besar perhatian masyarakat di Indonesia, kata dia, tapi media sosial belum bisa sepenuhnya menggantikan metode kampanye konvensional seperti penggunaan alat peraga kampanye di ruang publik.

“Jadi sekalipun saat ini peran media sosial telah mengambil porsi yang besar dalam keseharian kita, namun belum bisa sepenuhnya menggantikan pendekatan konvensional, termasuk dalam kampanye politik," kata dia.

Dia mengakui bahwa kampanye konvensional berpotensi melanggar regulasi baik Peraturan KPU, maupun merusak secara estetika. Karena caleg harus berebut ruang dengan peserta pemilu lainnya. Namun secara kelembagaan, Demokrat telah memberikan regulasi terkait alat peraga kampanye dari segi ukuran hingga letak pemasangan.

“Tentu saja, bahkan kami menyiapkan rancangan desain yang menjadi acuan,” kata Kamhar.

Bawaslu instruksikan penertiban alat peraga kampanye

Alat peraga kampanye terpasang di pinggir Jalan Raya Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (16/10/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom.

Pengajar Komunikasi Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Suko Widodo, menyampaikan sejumlah alasan baliho masih digunakan oleh orang-orang yang ingin menang di Pemilu 2024. Suko menyebut ada pengaruh dan menimbulkan relasi khusus antara mereka yang melihat dengan sosok yang ada di dalam baliho.

“Baliho masih punya kekuatan untuk pengenalan atau awarenes dalam pemilihan. Setidaknya untuk pengenalan, dan pengingatan,” kata Suko saat dihubungi Tirto pada Rabu (27/12/2023).

Meski demikian, pemasangan baliho atau alat peraga kampanye konvensional serupa juga harus melihat kondisi sosiologis masyarakat dapil tersebut. Suko menyarankan para caleg maupun tim sukses capres-cawapres melakukan survei sebelum memasang alat peraga kampanye.

“Tidak cukup mudah memilih media komunikasi saat ini. Karena itu tergantung dari karakter warga yang menjadi sasaran kampanye," kata dia.

Suko juga mengingatkan untuk tidak asal dalam memasang alat peraga kampanye. Perlu diperhatikan secara aturan, tata lingkungan dan unsur estetika. Baliho atau poster yang tak mengganggu pemandangan dapat menjadi bumerang dan merusak perolehan suara elektoral.

“Jangan asal meletakkan. Karena justru akan membuat antipati dalam pandangan publik,” kata dia.

Dia menyarankan dibandingkan menggunakan alat peraga kampanye yang berpotensi merusak lingkungan, Suko menyarankan agar menggelar acara berskala lokal di dapil. Ada interaksi langsung antara caleg dengan konstituen. Namun, cara ini menyedot biaya lebih mahal dibanding baliho.

Event-event lokal bagus. Tapi biaya memang besar. Baliho itu murah. Tapi tak punya kekuatan pengaruh besar dalam meraup dukungan,” kata Suko.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz