tirto.id - Secercah harapan, mungkin perlahan kembali hadir di tubuh penjaga konstitusi negeri ini. Centang perenang masalah di Mahkamah Konstitusi (MK) perlahan mulai dibenahi, salah satunya dengan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) secara permanen, tak lagi ad hoc.
Hadirnya MKMK permanen yang resmi diumumkan pada Rabu (20/12/2023) menjadi upaya nyata meraih kepercayaan masyarakat yang memudar akibat sengkarut polemik yang menggoyang MK. Mantan hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, serta mantan Rektor Universitas Andalas, Yuliandri, ditunjuk sebagai anggota MKMK.
Perwakilan hakim aktif MK, diisi oleh Ridwan Mansyur, yang belum lama ini dilantik menjadi hakim konstitusi. Ketiganya diharapkan mampu mengawal dan membenahi persoalan etika dan perilaku para hakim konstitusi.
Juru Bicara MK, Enny Nurbaningsih, menyampaikan bahwa MKMK permanen akan resmi dilantik pada 8 Januari 2024. Penentuan komposisi anggota MKMK, kata Enny, dilakukan oleh para hakim konstitusi dengan musyawarah mufakat. Palguna dan Yuliandri ditunjuk karena memiliki rekam jejak dan kredibilitas yang dinilai memenuhi kriteria anggota MKMK.
Sementara itu, alasan MK menunjuk Ridwan Mansyur sebagai salah satu perwakilan hakim aktif di MKMK, karena dia tidak terlibat dalam polemik pelanggaran etik hakim konstitusi yang belum lama ini menyasar seluruh hakim MK.
“Yang mulia Pak Ridwan Mansyur kebetulan beliau bukan orang yang jauh dari persoalan etik. Beliau adalah dari Mahkamah Agung dan memahami betul bagaimana kemudian hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kode etik hakim,” ujar Enny dalam konferensi pers pengumuman MKMK permanen, di Gedung MK, Rabu lalu.
Enny menyatakan, pembentukan MKMK permanen sesuai dengan amanat dari Pasal 27A Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Ditambah, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 (PMK 1/2023) tentang MKMK menyatakan, anggota berjumlah tiga orang yang terdiri dari satu orang hakim konstitusi; satu orang tokoh masyarakat; dan satu orang akademisi berlatar belakang bidang hukum.
Selain itu, dalam putusan etik dari MKMK ad hoc yang sebelumnya dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie, juga merekomendasikan pembentukan MKMK permanen secepatnya. Dengan tindak lanjut yang akhirnya dijalankan, Enny berharap masyarakat tidak lagi mempersoalkan alasan lambannya pembentukan MKMK permanen.
“Harapan kami, dengan pembentukan MKMK ini ada kelembagaan yang secara day to day bisa quote and qoute melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dari kode etik atau pedoman perilaku hakim konstitusi,” ujar Enny.
Harapan Baru
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai komposisi anggota MKMK yang ditunjuk sudah tepat. Dipilihnya hakim aktif Ridwan Mansyur diharapkan mampu memotong jejak buruk MK di mata publik.
“Pak Ridwan Mansyur sebagai orang dalam mewakili MK juga memiliki posisi penting karena tidak riwayat sanksi etik. Dan tidak terkait dengan putusan MK (Nomor) 90 yang kontroversial itu,” kata pria yang akrab disapa Castro itu kepada reporter Tirto, Jumat (22/12/2023).
Castro menyampaikan, masyarakat berharap dibentuknya MKMK permanen mampu mengembalikan muruah dan martabat MK yang kadung lapuk. Hadirnya para penjaga etik dan perilaku hakim konstitusi ini, juga diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik yang merosot kepada MK.
“Publik juga berharap agar MKMK permanen ini tegak lurus untuk menjaga agar benturan kepentingan mampu dihindari, agar MK tidak mengulangi kesalahan yang sama,” tambah Castro.
Sederet kontroversi dan polemik memang mengguncang tubuh MK beberapa waktu ke belakang. Berawal dari putusan MK Nomor 90 soal batas usia capres-cawapres yang dinilai melanggar etik berat. Putusan ini juga dinilai banyak pakar hukum tata negara telah menguntungkan salah satu paslon peserta Pilpres 2024.
Imbasnya, putusan etik menyasar seluruh hakim konstitusi dengan bentuk pelanggaran dan sanksi bermacam-macam. Adapun Anwar Usman dilengserkan dari pucuk pimpinan MK dan diganti oleh hakim konstitusi Suhartoyo sebagai ketua baru.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, merasa tidak ada keraguan atas dipilihnya Palguna dan Yuliandri sebagai anggota MKMK. Menurut Vio, sapaan akrabnya, rekam jejak keduanya relatif baik dan berkompeten di bidang hukum kenegaraan, serta memiliki integritas sebagai negarawan.
“Saya pikir tidak ada yang meragukan kualitas dari dua tokoh ini,” kata Vio kepada reporter Tirto, Jumat (22/12/2023).
Kendati demikian, Vio mengkritisi hadirnya unsur hakim aktif dalam komposisi anggota MKMK. Adanya hakim konstitusi di badan MKMK berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pengusutan kasus etik para hakim.
“Potensial menimbulkan konflik kepentingan dalam mengadili perkara etik koleganya atau bahkan dirinya sendiri,” tambah Vio.
Di sisi lain, kata Vio, MKMK perlu bertugas proaktif dalam mengawasi hakim konstitusi. Setidaknya ada sejumlah masalah yang perlu disoroti seperti konflik kepentingan, persoalan intervensi putusan, iklim intelektual, lobi-lobi antarhakim, kerahasiaan rapat internal MK, serta pengawasan lebih pada hakim yang sudah melanggar etik berulang.
“Mengingat semua hakim konstitusi (pernah) dijatuhkan sanksi etik, bahkan ada juga hakim konstitusi yang sudah menerima sanksi etik tiga kali sepanjang menjabat,” ucap Vio.
Tantangan Perdana
Pakar Kepemiluan dan Hukum dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyatakan MKMK akan menghadapi tantangan berat pada awal masa kerjanya. Pasalnya, MKMK berpotensi mendapatkan banjir aduan, perihal ketidakpuasan pada proses dan putusan yang diambil MK dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
“Terhadap putusan MK yang sangat mungkin ada pihak-pihak yang akan menggunakan segala pintu untuk menjawab ketidakpuasannya tersebut, termasuk melalui MKMK,” ujar Titi dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/12/2023).
Titi menjelaskan, MK akan memainkan peran sentral dalam Pemilu 2024. Mereka diharapkan mampu menjaga keadilan pemilu yang prosesnya kini tengah berlangsung. Sebab, MK mengemban kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu 2024 nanti.
“Pembentukan MKMK permanen selain merupakan amanat UU MK, juga jadi bagian perisai dalam menjaga muruah, kredibilitas, kemandirian, dan kemerdekaan MK sebagai pilar kekuasaan kehakiman,” terang Titi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, menilai tantangan MKMK ke depan akan berasal dari faktor internal dan eksternal. Utamanya, independensi MKMK sangat dinanti, karena masih ada unsur hakim aktif sebagai komposisi keanggotaan mereka.
Susi menyatakan, sebaiknya tidak perlu ada unsur hakim konstitusi dalam tubuh MKMK. Belajar dari laporan sebelumnya, kata dia, ada potensi seluruh hakim MK diadukan terkait persoalan dugaan pelanggaran etik.
“Ketika hakim konstitusi aktif diadukan, maka pemeriksaan yang bersangkutan hanya dilakukan oleh dua anggota (MKMK) tersisa,” kata Susi dihubungi reporter Tirto.
Dia menambahkan, sebagai lembaga yang bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta kode etik dan perilaku hakim konstitusi, maka independensi MKMK menjadi suatu keharusan. Independensi akan menentukan reputasi dan kredibilitas MKMK dalam menjalankan tugasnya.
“Harapan masyarakat terhadap MKMK sangat tinggi. Akibatnya, diperkirakan laporan dugaan pelanggaran etik akan meningkat terutama tahun 2024 yang merupakan tahun politik,” ujar Susi.
Dihubungi terpisah, anggota MKMK, I Dewa Gede Palguna, belum dapat menanggapi ihwal komitmen menjaga independensi MKMK. Dia meminta pertanyaan ditunda sampai dirinya resmi dilantik pada awal tahun depan.
“Maaf, bolehkah pertanyaan ini saya tunda jawabannya hingga saya resmi dilantik. Mohon maaf, ini hanya soal etika,” kata Palguna kepada reporter Tirto, Jumat (22/12/2023).
Di sisi lain, Enny Nurbaningsih menyatakan memang perselisihan hasil pemilu akan menjadi titik penting dari kerja MKMK permanen. Karena perselisihan hasil pemilu akan kental dengan peradilan politik, maka sudah sepatutnya hakim konstitusi ada yang mengawasi.
“Sehingga perlu ada daya upaya dari kami sendiri untuk tetap menjaga etika, pedoman perilaku itu. Kemudian ada lembaga yang turut mengawasi soal bagaimana pedoman perilaku itu dilaksanakan atau ditegakkan,” kata Enny.
Lantas, menjawab keraguan soal unsur hakim aktif dalam tubuh MKMK, Enny menegaskan bahwa perwakilan hakim konstitusi itu bersifat ad hoc. Artinya, jika hakim yang bersangkutan juga diadukan terkait persoalan etik, bisa gantikan oleh hakim aktif yang lain.
“Mana kala kemudian ada hakim yang ad hoc ini, kemudian diduga ada aduan atau kemudian ada laporan, maka yang bersangkutan karena ad hoc bisa digantikan oleh hakim yang lainnya,” tutur Enny.
Hal ini, kata dia, juga sudah termaktub dalam PMK Nomor 1 tahun 2023 tentang MKMK. Di sisi lain, MKMK diberikan keleluasaan untuk menentukan sendiri siapa pimpinan yang akan menjadi ketua lembaga tersebut.
“Tidak bisa ditentukan permanen untuk hakim yang aktif, harus sifatnya ad hoc supaya mudah dilakukan proses penggantian,” tambah Enny.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz