Menuju konten utama

Tawuran Remaja dan Anak Kerap Berujung Maut, Kita Bisa Apa?

Peneliti TII, Dewi Rahmawati, menilai tawuran antar-remaja terjadi karena tidak ada bentuk hukuman efektif untuk menekan tawuran.

Tawuran Remaja dan Anak Kerap Berujung Maut, Kita Bisa Apa?
Seorang jurnalis memotret barang bukti senjata tajam saat rilis kasus penemuan tujuh jenazah remaja di Polres Metro Bekasi Kota, Jawa Barat, Senin (23/9/2024). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/tom.

tirto.id - Peristiwa tawuran yang melibatkan kalangan remaja hingga anak-anak kembali jadi sorotan. Mudarat aktivitas buruk ini tak jarang memakan korban jiwa dan memantik trauma. Terbaru, kejadian penemuan tujuh jenazah remaja di Bekasi menambah daftar panjang korban tewas terkait tawuran.

Mulanya, warga digemparkan oleh penemuan tujuh jasad di Kali Bekasi, di belakang Masjid Al-Ikhlas Perumahan Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi, pada Minggu (22/9/2024) pagi. Hasil identifikasi didapati seluruh jenazah berkelamin laki-laki dengan usia diperkirakan remaja belasan tahun.

Belakangan, tujuh jenazah tersebut diduga bagian dari kelompok remaja yang nongkrong di sebuah bedeng daerah Cipendawa Baru, Bojong Menteng, Kecamatan Rawalumbu, Bekasi, Sabtu (21/9/2024) malam. Remaja yang kongko-kongko di bedeng itu kocar-kacir sebab kedatangan patroli polisi. Aparat kepolisian menduga mereka hendak melakukan tawuran.

Kapolsek Rawa Lumbu, Bekasi, Kompol Sukadi, saat dihubungi, Minggu (22/9/2024) malam, menuturkan, anggota Samapta Polres Metro Bekasi menangkap 22 remaja dalam operasi tersebut. Namun, sebagian lain melarikan diri, tujuh di antaranya diduga melompat ke kali Bekasi karena panik ada patroli hendak mencegah tawuran. Hingga akhirnya ditemukan 7 jenazah remaja di kali Bekasi esoknya, dan diduga polisi berkaitan dengan peristiwa ini.

Polres Metro Bekasi Kota menyita 21 bilah senjata tajam, 30 unit sepeda motor serta 8 unit ponsel dari para remaja yang diamankan karena hendak tawuran.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, menerangkan, dugaan kelompok remaja Bekasi hendak tawuran karena patroli siber kepolisian saat melihat siaran langsung di Instagram.

Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya ikut turun tangan memeriksa prosedur pembubaran gerombolan anak yang hendak tawuran di Bekasi ini.

Hingga hari Senin (23/9/2024), Tim Disaster Victim Identification (DVI) RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur, menyampaikan bahwa tujuh jenazah yang ditemukan di kali Bekasi belum dapat diidentifikasi. Namun, terdapat lima pihak keluarga yang melaporkan dan memberikan data pembanding atas penemuan tujuh jenazah remaja tersebut. Berdasarkan data yang diberikan keluarga, sudah ada yang mengarah kecocokan.

Pusdokkes Polri masih lakukan identifikasi tujuh jenazah di Kali Bekasi

Kabid Yandokpol RS Polri Kombes Pol Hery Wijatmoko (kedua kiri) dan Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi Kota Kompol Audy Joize Oroh (kedua kanan) memberikan keterangan terkait identifikasi tujuh jenazah korban tenggelam di Kali Bekasi, di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta, Senin (23/9/2024). Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri menyatakan masih melakukan identifikasi terhadap ketujuh jenazah korban tenggelam melalui pencocokan sidik jari, gigi, DNA, serta pengenalan properti yang melekat pada korban. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

Kejadian naas di Bekasi mempertebal mudarat besar tawuran. Sayangnya, kejadian tawuran berjamuran di sudut-sudut kota. Ajakan baku hantam dari media sosial dan eksistensi geng atau kelompok di kalangan remaja dan anak-anak, harus mendapat perhatian lebih.

Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menyatakan tawuran antar-remaja terus terjadi karena tidak diterapkannya bentuk penghukuman efektif yang mampu mempengaruhi perilaku kelompok remaja pelaku tawuran.

Pemerintah daerah, kata dia, bisa menggandeng kepolisian membentuk kebijakan tertentu bagi pelaku tawuran. Misalnya, pencabutan hak-hak sipil sebagai kelompok prioritas bantuan atau mencabut hak beasiswa bagi pelajar yang terbukti terlibat dalam kelompok yang melakukan tawuran.

“Kepolisian juga dapat memberikan penghukuman kepada remaja pelaku tawuran sebagai individu dengan catatan tidak berkelakuan baik,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Selasa (24/9/2024).

Namun, Dewi menekankan bahwa polisi sebagai aparat penegak hukum wajib memberikan porsi penanganan yang adil dan mendidik bagi kalangan remaja dan anak-anak. Contohnya, polisi dapat menerapkan penghukuman bagi pelaku tawuran dengan menjadi pekerja sosial. Hal ini diharapkan juga meningkatkan empati remaja terhadap situasi sosial yang terjadi di masyarakat.

Orangtua punya peranan besar mencegah anak terlibat tawuran atau masuk geng berkultur kekerasan. Orang dewasa harus memposisikan diri sebagai teman anak-anak dan remaja agar pesan yang disampaikan bisa dipercaya oleh mereka.

Menurut Dewi, ajakan dari teman sebaya atau sosok figur lebih tua mampu mempengaruhi anak dan remaja bergabung dalam geng/kelompok. Namun, faktor utama terkait munculnya tawuran sering diakibatkan kelompok sebaya (peer group) yang mempengaruhi remaja.

Pengaruh kelompok sebaya berdampak pada kehidupan anak-anak dan remaja. Oleh sebab itu, orang tua harus mengetahui lingkar teman bermain pada anak dan remaja.

“Dengan menjadikan diri sebagai teman, maka anak akan merasakan kenyamanan dalam hubungan yang dibangun dan ia tidak akan mencari pelarian di luar keluarga,” ucap Dewi.

Sebulan ke belakang, tawuran yang melibatkan anak-anak dan remaja terjadi di beberapa daerah di Jabodetabek. Jumat (20/9/2024) lalu misalnya, seorang remaja berinisial WS (22) tewas saat tawuran pecah di Babelan, Kabupaten Bekasi. Korban tewas karena luka bacok di bagian punggung, lengan, dan paha.

Awal September 2024 lalu, tepatnya Senin (9/9), satu pelajar di Cibinong, Bogor, juga tewas akibat tawuran di Jalan SKB Kandang Roda, Kelurahan Karadenan. Korban berinisial ARH (17) ditemukan tergeletak di saluran air, dengan luka di bagian perut. Sempat dilarikan untuk mendapat perawatan di rumah sakit, nyawa ARH tak tertolong.

Bukan cuma pelaku tawuran, polisi berinisial TBG juga menjadi korban ketika membubarkan bentrok remaja di kawasan Mal Basuki Rahmat, Prumpung, Jakarta Timur. TBG disiram air keras oleh remaja yang tawuran pada Kamis, 29 Agustus 2024 lalu. Korban mengalami luka di bagian wajah karena siraman air keras.

Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menjelaskan, peran teman atau orang yang lebih dewasa merupakan salah satu faktor eksternal yang menstimulasi anak masuk ke dalam kelompok tertentu atau geng. Pemicunya adalah ikatan emosional, ingin diakui, dan merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu.

Masa remaja, kata dia, dikenal dengan istilah storm and stress atau masa penuh badai dan tekanan. Kalangan remaja biasanya mengalami krisis identitas. Pencarian jati diri atau identitas ini bisa memicu ketidakstabilan emosi seperti mudah marah, kehilangan kontrol diri, hingga frustasi.

“Salah satu cara melampiaskan adalah dengan melakukan kekerasan ke orang lain,” kata Leylani kepada reporter Tirto, Selasa (24/9/2024).

Faktor internal seperti harga diri remaja dan peran orang tua juga mempengaruhi keputusan anak melakukan tawuran. Remaja menganggap harga diri sebagai hal mendasar yang ingin diangkat. Saat merasa direndahkan, remaja akan mudah distimulasi dengan ajakan tawuran sebagai bentuk menunjukkan harga dirinya.

“Pengasuhan keluarga berperan penting. Jika pola pengasuhan di rumah permisif dengan kekerasan, kemungkinan anak terbiasa dengan kekerasan sehingga tawuran sebagai bentuk kekerasan dianggap hal yang biasa,” sambungnya.

Bijak Mencegah Tawuran

Ketua Dewan Pakar, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, menilai bahwa tawuran pelajar semakin buruk karena penanganan sekolah dan polisi yang belum efektif. Ia menilai, perlakuan aparat penegak hukum kepada pelaku tawuran di beberapa kasus justru abai terhadap hak-hak anak.

Misalnya, kata Retno, pelaku tawuran yang masih remaja atau anak-anak sering ditelanjangi atau dijemur tanpa pakaian. Mereka juga diminta jalan jongkok atau berguling di tanah. Dia menegaskan bahwa penanganan seperti ini sama sekali tidak menyelesaikan tawuran.

“Justru mempermalukan dan merendahkan anak,” kata Retno kepada reporter Tirto, Selasa.

Selain itu, sekolah juga kerap salah langkah dalam menangani kasus tawuran. Pelajar yang tawuran sering langsung saja dikeluarkan oleh pihak sekolah sebagai bentuk penyelesaian masalah. Masalahnya, tawuran biasanya dilakukan secara komunal atau beramai-ramai dan membuat siswa yang dikeluarkan dari sekolah semakin banyak.

Menurut Retno, siswa-siswa yang dikeluarkan malah tersebar di sekolah lain. Imbasnya, dia berujar, tawuran akan semakin meluas dan melibatkan banyak sekolah. Hal ini terjadi sebab sekolah tidak menyelesaikan akar masalah dari tawuran pelajar dan memakai jalan pintas.

“Ini hanya memindahkan masalah dan memperluasnya, ini justru menularkan,” kata Retno.

Pemerhati anak, Evie Permata Sari, menegaskan bahwa polisi sebagai penegak hukum juga harus menjaga hak-hak anak dalam melakukan pencegahan dan penanganan tawuran. Evie menilai, pendekatan yang humanis dengan dialog cukup efektif untuk meredam tawuran di kalangan remaja dan anak-anak.

Polisi, kata Evie, bisa melakukan pendekatan komunitas dengan memfasilitasi ruang dialog antara remaja dan masyarakat. Pendekatan ini juga dapat diterapkan di sekolah berupa sosialisasi atau penyuluhan tentang bahaya dan konsekuensi hukum dari aktivitas tawuran.

“Bisa juga melatih petugas kepolisian atau setara menjadi mediator dalam konflik remaja. Ini bisa membantu mengatasi konflik tanpa kekerasan,” kata Evie kepada reporter Tirto, Selasa.

Program Manager dari Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2) ini mencontohkan lokasi tempat tinggalnya di daerah Matraman, Jakarta sering menjadi lokasi tawuran remaja. Namun, peristiwa tawuran perlahan berkurang setelah kepolisian mengajak aktor-aktor kunci di kalangan remaja dan masyarakat mengikuti pelatihan bersama untuk mencegah tawuran.

“Itu cukup meredam, jadi kelompok yang ikut boot camp mengedukasi kelompok sebayanya di daerah masing-masing,” ucap Evie.

Keluarga korban Kali Bekasi menunggu identifikasi jenazah

Keluarga korban tenggelam di Kali Bekasi menjawab pertanyaan wartawan usai memberikan data dan sampel DNA di Pos DVI RS Polri, Kramat Jati, Jakarta, Senin (23/9/2024). Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri menyatakan masih melakukan identifikasi terhadap ketujuh jenazah korban tenggelam melalui pencocokan sidik jari, gigi, DNA, serta pengenalan properti yang melekat pada korban. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

Baca juga artikel terkait TAWURAN REMAJA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Andrian Pratama Taher