tirto.id - Pada sebuah malam jahanam tahun 2022, Andi dan Bagong bersama rombongan gengnya menyusuri jalanan Kenjeran, Surabaya Utara. Ketika banyak orang terlelap dalam tidur, mereka memilih melanglang lintasan aspal yang mulai senyap dari hiruk-pikuk penduduk setelah memperoleh ajakan pertempuran dari kubu musuh melalui pesan udara.
Mengendarai kuda besi secara perlahan, mereka mengawasi segala penjuru yang bisa menjadi titik kubu musuh memulai serangan. Namun, 7 dari 30 anggota geng itu mendadak berhenti ketika melihat seekor ular keparat merayap di pinggir jalan.
“Tangkap ular itu, nanti bisa dijual,” seloroh salah seorang dari 7 anggota itu.
Mereka asyik menangkap reptil itu hingga tak tersadar bila kian menjauh dari rombongannya. Ketika pekerjaan tak berguna itu selesai, tiba-tiba puluhan orang muncul sembari mendaratkan sajam pada tubuh mereka.
Dengan usaha setengah mati, mereka berupaya membentengi diri dari bacokan dan berharap kelompok yang sedari awal diintai tersebut bisa berbelas kasih kepada mereka. Namun, kubu musuh itu tak kunjung berhenti hingga goresan luka tertoreh pada sekujur tubuh mereka.
Andi dan Bagong bersama rombongan gengnya telat menyadari bila beberapa rekannya tertinggal. Mereka pun berbalik arah dengan kecepatan penuh. Pada jarak yang cukup dekat dengan tempat yang akan dituju, mereka melihat gerombolan polisi menangkap kubu musuh dan beberapa rekannya dibopong oleh petugas ambulan.
Mereka merasa gamang atas apa yang telah terjadi. Mereka tak tahu mesti berbuat apa. Namun, kegamangan itu terjawab ketika ibu dari salah satu kawannya menelpon Andi untuk mengabarkan bahwa anaknya sekarat hingga tak bisa membuka mata lagi setelah dikeroyok dan dibacok tanpa kenal ampun oleh sekelompok gangster.
Andi menutup teleponnya dengan perasaan pilu. Perasaan yang sama juga menguar pada Bagong dan rekannya yang lain. Mereka tak pernah membayangkan bila aksi yang dilakukan dengan anggapan mencari kesenangan itu harus meminta korban jiwa.
Namun, itu hanyalah awal. Selepas 40 hari kematian rekannya, Andi dan Bagong bersama rombongan gengnya kembali turun ke jalan untuk menantang kubu musuh bertempur lagi. Terbakar api amarah karena anggapan kalah dari pertempuran silam dan dendam kesumat karena rekannya terbunuh, mereka mengkontak kubu musuh guna menunjukkan siapa yang pemberani dan siapa yang pecundang.
Kubu musuh pun menyanggupi tantangan itu dengan syarat lokasinya di daerah Surabaya Timur. Tanpa pikir panjang, Andi dan Bagong bersama rombongannya datang ke sana dengan kekuatan dan persiapan penuh. Sajam dari mulai celurit, samurai hingga pemecah balok es mereka tenteng.
Sesampainya di lokasi, mereka langsung menyerang kubu musuh yang sekonyong-konyong berani menampakkan diri. Baku hantam beberapa di antara mereka pun terjadi. Namun, kali ini Andi dan Bagong bersama rombongan gengnya menguasai medan pertempuran. Kubu musuh pun lama-lama terpojok.
Untuk melindungi diri, mereka lari menuju pos satpam yang ada di sekitar situ. Mereka mengaku pada satpam telah diserang oleh gerombolan gangster. Satpam tentu melindungi kubu musuh.
Karena terbawa emosi, Andi dan Bagong bersama rombongan gengnya menyerang satpam itu sebelum menghabisi kubu musuh itu. Mereka juga merisak pos satpam itu. Aksi mereka baru berhenti ketika terdengar suara sirine mobil kepolisian.
“Karena kebawa emosi, kami jadi enggak tahu kalau permintaan lokasi yang berubah itu cuma trik pihak musuh. Agar kalau seumpama kelihatan kalah bisa lari ke pos satpam dengan mengaku diserang gangster,” ujar Andi.
“Kami enggak niat menyerang satpam. Tapi karena melindungi pihak musuh, kami serang juga. Sering kemudian media beranggapan kalau kami itu menyerang warga. Padahal ya aslinya sesama gangster,” tambah Bagong ketika diwawancara kontributor Tirto pada Minggu (19/1/2025).
Ketika mendengar suara itu, mereka lari kocar-kacir dan menyebar ke beberapa warung sembari berusaha menyembunyikan identitas. Namun, polisi bukanlah insan yang lugu. Aparat berhasil menemukan beberapa di antara mereka, termasuk Andi. Mereka diborgol dan dibawa ke Polsek untuk diinterogasi.
Andi masih ingat polisi menyodori berbagai pertanyaan soal kerusuhan di pos satpam itu dengan nada gertak. Namun, belum sampai satu kata meluncur dari mulutnya, berbagai benda telah melayang pada Andi, termasuk sebuah galon. Hanya kata ampun yang kemudian keluar dari mulut Andi.
Penderitaan Andi tuntas ketika orangtuanya datang keesokan harinya. Sebelum pulang, ia pun akhirnya bisa menjelaskan bahwa tindakan mereka didorong rasa balas dendam atas kematian rekannya.
“Pelakunya kan sudah ditangkap masa masih kurang?” begitu ucapan polisi ketika Andi mengenang.
“Kalau belum balas dendam itu rasanya malu saat itu,” jelas Andi.
“Dalam dunia gangster, harga diri itu nomor satu,” tambah Bagong yang selamat dari sergapan polisi itu.
Pada Mulanya adalah Tawuran Antar-Kampung
Andi tak memiliki badan yang gempal atau berotot. Boleh disebut ia adalah sosok pria yang kurus. Tinggi badannya mungkin sekitar 160 cm. Dengan postur tubuh demikian, ia pun tak menampakkan diri sebagai sosok yang sangar. Setiap suara yang keluar dari mulutnya selalu halus dan barangkali terasa cukup sopan bagi orang yang mendengar.
Namun, barangkali orang terkesiap ketika tahu bahwa sosok seperti itu pernah menahan serangan samurai dengan pergelangan tangan.
“Ini bekas lukanya,” kata dia menunjuk pada pergelangan tangan yang diiringi dengan derai tawa.
Awal perkenalan Andi dengan dunia gangster dimulai pada 2019. Masa itu, ia masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Seorang kawan mengajaknya ikut dalam tawuran antar-kampung. Rasa ingin tahunya kemudian meletus. Ketika terjun menyaksikan langsung banyak orang saling hantam-menghantam, ia merasa heroik dan menemukan euforia.
“Awalnya saya benci sama perkelahian. Tapi kok setelah melihat langsung saya jadi senang,” aku Andi.
Sejak itu, ia mulai mengikuti berbagai tawuran antar-kampung. Tak terhitung lagi berapa kali ia memukul orang dan mendapatkan pukulan balik dari orang. Ada rasa tenang yang mengendap dalam lubuk hatinya bila menumpahkan rasa amarah pada aksi kekerasan. “Itu adalah masa pencarian jati diri,” kenangnya.
Pengalaman yang sama juga dilalui oleh Bagong yang mengenal tawuran antar-kampung dari kawannya. Namun, barangkali ia lebih dulu mengenal dunia tersebut karena usianya kala itu masih belia.
“Awalnya dulu melihat teman membuat sajam. Saya tanya sajam itu buat apa. Buat tawuran sama kampung sebelah, jawab teman saya,” cerita Bagong.
Ketika kemudian turut dalam tawuran itu, ia merasa telah melakukan perbuatan hebat. Dari sini, ia kemudian hampir tak pernah absen mewakili kampungnya dalam tawuran dengan kampung lain.
Menurut Bagong, tawuran antar kampung itu menjadi cikal-bakal munculnya kelompok gangster. Ia tak tahu persis sejak kapan pemuda kampung mulai melokalisasi dirinya dalam sebuah kelompok. Ia hanya menandai peristiwa itu tatkala muncul kelompok arus bawah bernama All Star.
“Kami merasa tidak dihargai oleh mereka. Jadi anak-anak kampung ini mulai buat sendiri. Biasanya berdasarkan letak tempat tinggalnya, ada yang di Surabaya Barat, Timur, atau Utara,” jelas Bagong.
Menawarkan Solidaritas
“Kami menerima orang dari latar belakang apa pun. Tak peduli dia kaya atau miskin. Tapi kebanyakan yang ikut itu anak-anak broken home,” kata Andi menerangkan.
Selama lebih dari 5 tahun menjadi anggota gangster, Andi beranggapan banyak anak masuk ke dunia gangster karena memiliki keluarga yang bermasalah. Ia enggan menjelaskan lebih lanjut masalah seperti apa yang dialami oleh mereka. Namun, satu hal yang bisa dipastikan: masalah keluarga itu yang membikin mereka menumpahkan aksi kekerasan di jalanan.
“Karena sumpek masalah keluarga, mereka mencari ketenangan dengan berkelahi,” ungkapnya.
Ketika berbuat demikian, mereka seolah lepas dengan masalah keluarganya. Mereka merasa senang melakukan itu hingga menjadi candu. Di sini mereka kemudian menganggap bahwa kelompok gangster itu adalah keluarganya.
Dalam pandangan mereka, keluarga yang dimaksud adalah orang yang selalu setia mendampingi mereka kapanpun. Keluarga ini selalu mendampingi mereka kapanpun. Bila ada masalah, keluarga ini akan bersedia dan berjibaku membantu mereka, tak peduli apakah mereka benar atau salah. Tak peduli pula bila itu adalah masalah personal.
Karena itulah, mereka akan melibatkan seluruh anggota dalam melakukan aksi kekerasan, biarpun hanya satu dua anggota yang sebenarnya memiliki masalah. “Solidaritas itu menjadi penting di gangster,” begitu Andi mengingatkan.
Menyerukan Perang Pada Gangster Bukanlah Solusi
Melihat maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh gangster pada akhir 2022, Eri Cahyadi, Wali Kota Surabaya, menyerukan perang terhadap gangster. Selain mengajak seluruh lapisan masyarakat, Eri juga menyiapkan operasi yang melibatkan 2.000 personel TNI/Polri yang disebar di seluruh penjuru Kota Surabaya.
“Ayo bangun semuanya, saya tidak rela kota ini diinjak-injak oleh orang yang tidak menciptakan rasa nyaman di Kota Surabaya,” kata Eri pada Minggu (4/12/2022) sebagaimana dikutip Antara.
Namun, Andi justru menganggap bahwa cara seperti itu tidaklah efektif untuk mencegah gangster. Ini mengingat gangster bukanlah kelompok yang akan jerih ketika diancam.
“Kalau seumpama diajak perang, ya malahan disanggupi saja. Namanya remaja kan emosi dan mentalnya masih labil,” ungkapnya.
Dosen Sosiologi di Universitas Negeri Surabaya, Khalid Syaifullah, mengamini pernyataan Andi di atas. Namun, ia mendasarkan pendapatnya pada problem struktural yang kerap dihadapi wilayah urban, di mana ketimpangan pembangunan sosial dan ekonomi terjadi.
“Gangster atau juga problem kriminalitas lain memang selalu muncul dalam sejarah pembangunan di manapun itu berada. Apalagi bila wajah pembangunan itu kurang memperhatikan masyarakat pinggiran, pastinya akan memunculkan respon dari mereka berupa hal-hal yang seringkali kontradiktif dengan itu,” kata Khalid saat dihubungi oleh kontributor Tirto pada Selasa (21/1/2025).
Dalam bukunya yang berjudul Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960-an, Purnawan Basundoro menjelaskan, ketimpangan pembangunan di Surabaya adalah masalah umum yang terjadi sejak zaman kolonial Belanda.
Pada awal abad 20, pembangunan pemukiman dan kawasan industri yang intensif mengakibatkan banyak lahan pertanian tergusur. Mereka yang lahannya tergusur itu akhirnya memilih bekerja apa saja untuk mencukupi kebutuhan hidup, termasuk jasa pengaman judi dan penjaga malam perusahaan.
Sementara itu, sebanyak 23.387 penduduk kehilangan tempat tinggalnya karena dibangun di atas tanah partikelir. Mereka kemudian tinggal di tanah partikel yang belum dibangun atau malah tidak memiliki tempat tinggal yang jelas. Akibatnya, banyak dari mereka kemudian mengambil alih ruang publik untuk dijadikan ruang privat, entah tempat berjualan atau tempat tinggal seperti, jalan, trotoar, hingga makam.
Karena itu, Khalid pun menganggap bahwa mereka yang kurang atau tak memperoleh jatah dari pembangunan akan memunculkan respons negatif dalam tatanan kota. Itu juga menjadi alasan mengapa gangster muncul di wilayah kampung dan bukan kawasan elite.
“Sehingga kalau mengajak perang gangster justru akan menimbulkan potensi-potensi kriminalitas baru. Ini berarti bahwa Wali kota Surabaya, saya pikir, kurang sensitif akan sifat atau karakter dari problem gangster ini,” kata Khalid.
Perlu Penanganan yang Komprehensif
Andi menyanggupi bilamana pihak Pemkot Surabaya ingin mewadahi dan memfasilitasi mereka agar tak lagi melakukan tindak kekerasan di jalanan. Namun, ia tak setuju bila cara yang digunakan berupa penghakiman.
“Kalau dilakukan pendampingan, saya sih setuju aja. Tapi enggak setuju kalau caranya dengan main hakim sendiri. Kecuali kalau membunuh, itu beda lagi karena sudah masuk tindak kriminal,”aku Andi.
Terkait ini, Eri sebenarnya pernah mengatakan akan menyiapkan sekolah kebangsaan bagi para gangster. Ini dilakukan untuk membentuk karakter mereka, sehingga nantinya mereka dapat memberikan kontribusi positif bagi Kota Surabaya maupun negara.
“Saya sebelumnya menyampaikan kepada Kapolrestabes, ketua gengnya sudah ditangkap; maka akan mudah mendapatkan data anak buahnya. Nanti akan kami datangi semua rumahnya, bukan untuk diapa-apakan ya, tetapi kami ikutkan sekolah kebangsaan, kami bentuk karakernya,” kata Eri pada 4 Desember 2022 sebagaimana dikutip Antara.
Namun, menurut Khalid, cara tersebut tak cukup efektif untuk menangani gangster. Bagaimanapun, gangster bukanlah masalah musiman yang terjadi pada momen tertentu. Ia adalah masalah struktural yang melibatkan banyak aspek, entah ekonomi, politik, dan pendidikan. Sehingga, kata Khalid, solusi yang dilakukan mestinya komprehensif.
“Dengan hanya memberikan sekolah kebangsaan, saya pikir itu solusi yang sangat parsial bila tak dibarengi dengan pembukaan akses pendidikan, ekonomi, dan juga ruang ekspresi bagi mereka. Seringkali membangun taman kota, alun-alun, atau mal itu dianggap sebagai tempat untuk berekspresi. Padahal belum tentu semua orang bisa mengakses itu,” tegas Khalid.
Khalid juga menyinggung perlunya bagi Pemkot Surabaya untuk lebih memperhatikan sektor ekonomi informal. Bagi Khalid, cara kekerasan yang dipakai oleh gangster dalam mempromosikan bisnis kaosnya adalah varian dari perkembangan ekonomi informal. Itu dilakukan agar hasil yang diperoleh menjadi lebih menguntungkan.
“Kita harus mengakui bahwa kebijakan pembangunan selama ini kan memang kurang memperhatikan sektor informal. Saya kira karena sedikitnya akses terhadap keuntungan yang dihasilkan membuat mereka beralih pada cara-cara kekerasan. Saya kira perlu pendekatan baru dari stakeholder untuk memberikan akses terhadap ruang-ruang formal yang selama ini tidak mereka dapatkan,” kata dia.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Abdul Aziz