Menuju konten utama
Newsplus

Absennya Regulasi untuk Pemulangan Hambali, Bagaimana WNI Lain?

Undang-undang yang mengatur terkait transfer narapidana sebaiknya segera dibentuk. Hal ini akan membantu Indonesia mendapatkan kepercayaan negara lain.

Absennya Regulasi untuk Pemulangan Hambali, Bagaimana WNI Lain?
Karangan bunga dan foto korban bom Bali diletakkan warga saat peringatan 18 tahun tragedi bom Bali di Monumen Bom Bali, Badung, Bali, Senin (12/10/2020). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/wsj.

tirto.id - Rencana pemerintah memulangkan eks dedengkot Jemaah Islamiyah (JI), Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Hambali, ke Indonesia, dinilai akan penuh tantangan. Hambali sudah ditahan di penjara militer Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba, sejak tahun 2003, setelah ia diduga kuat terlibat dalam kasus Bom Bali 2002. Ia merupakan salah satu terpidana yang dicap AS sebagai figur ‘kunci’ terkait isu terorisme.

Niat memulangkan Hambali ke Indonesia baru-baru ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, pada Jumat (17/1/2025) malam. Yusril menyatakan, meskipun Hambali terlibat kasus kejahatan serius, tetapi ia tetap warga negara Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian.

Meski begitu, Yusril juga menyebut, memang, berdasarkan hukum Indonesia, kasus Hambali mungkin telah kedaluwarsa karena peristiwa terorisme yang melibatkannya terjadi sekitar 23 tahun lalu, sedangkan jika sebuah tindak kejahatan terjadi lebih dari 18 tahun lalu, perkara itu sudah tidak bisa dituntut lagi.

Pemerintah Indonesia berencana untuk mendiskusikan pemulangan ini dengan pemerintah Amerika Serikat, meskipun belum ada respons dari pihak Washington. Selain itu, dua rekan Hambali asal Malaysia yang sama-sama ditahan di penjara Guantanamo, Mohammed Farik Bin Amin dan Mohammed Nazir Bin Lep, telah lebih dulu dipulangkan ke Negeri Jiran pada Desember 2024. Keduanya akan menjalani program deradikalisasi di kampung halaman mereka dan dipantau ketat oleh otoritas Malaysia.

Hambali dan dua rekannya itu ditahan sejak 2003 atas keterlibatan terkait aksi terorisme di Asia Tenggara, termasuk Bom Bali 2002 dan pengeboman JW Marriott di Jakarta 2003. Dua peristiwa keji tersebut menewaskan ratusan orang dari berbagai negara. Tiga orang itu baru diseret ke pengadilan resmi pada tahun 2021 silam, setelah masa penahanan belasan tahun di Guantanamo. Prosedur penahanan mereka di Guantanamo juga mengundang protes dari berbagai organisasi hak asasi manusia internasional, karena mereka ditahan tanpa dakwaan selama bertahun-tahun serta diduga mengalami penyiksaan oleh interogator Central Intelligence Agency (CIA), seperti dilansir dari Detik.

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang rencana pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan Hambali sudah tepat. Sebab, kata Ardi, hingga saat ini Hambali belum juga diproses atau diputus bersalah oleh suatu proses hukum atau badan peradilan yang sah. Ardi menilai, prosedur penahanan Hambali di penjara Guantanamo merupakan tindakan kesewenangan hukum dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.

“Namun demikian, mengingat Hambali pernah diduga terlibat dalam tindak pidana terorisme, maka pemerintah perlu mengantisipasi kepulangan itu dengan mempersiapkan program khusus deradikalisasi bagi yang bersangkutan,” kata Ardi kepada wartawan Tirto, Senin (20/1/2025).

Namun, memulangkan Hambali dari AS bukan pekerjaan mudah. Ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan pemerintah agar proses pemulangan ini tidak menelurkan persoalan anyar. Utamanya, menurut Ardi, Indonesia memiliki keterbatasan dari segi regulasi.

Indonesia saat ini masih belum memiliki regulasi transfer or prisoners, baik untuk warga negara asing (WNA) yang ditahan di Indonesia, maupun Warga Negara Indonesia (WNI) terpidana kasus hukum di luar negeri. Saat ini, pemulangan terpidana WNI atau transfer terpidana WNA ke negara asal belum ada regulasi perundang-undangannya.

Selain itu, kata Ardi, tantangan kedua adalah mendapatkan kepercayaan dari negara lain bahwa terpidana WNI benar-benar akan menjalani prosedur hukum di Indonesia. Mengingat, penegakan hukum di Indonesia juga masih dianggap buruk dan cenderung koruptif. Padahal, kasus yang melibatkan Hambali sudah memakan banyak korban dari negara lain, termasuk 88 warga negara Australia yang menjadi korban tragedi Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 korban jiwa.

Absennya regulasi soal transfer or prisoners dalam perundang-undangan juga sempat jadi persoalan yang mencuat pada Desember 2024. Saat itu, pemerintah sepakat memindahkan terpidana mati kasus penyelundupan narkoba Mary Jane ke Filipina dan lima narapidana kasus Bali Nine ke Australia. Indonesia juga masih membahas pemindahan terpidana mati kasus narkotika berkebangsaan Prancis, Serge Areski Atlaoui.

Pemindahan Mary Jane dan narapidana Bali Nine sempat dinilai sejumlah pengamat hukum tidak dilandasi kerangka hukum yang kuat. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sempat mengatakan, pertimbangan pemindahan narapidana asing ke negara asalnya seperti pada kasus Mary Jane dan narapidana Bali Nine karena kemanusiaan yang dipertimbangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, pengamat menilai, alasan kemanusiaan jangan sampai menabrak kerangka dan kedaulatan hukum Indonesia.

Eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, sempat berkomentar bahwa kebijakan pemindahan narapidana asing ke negara asalnya harus lewat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Hal itu sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945, yang berbunyi, "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Maka, soal kebijakan pemulangan narapidana, sebagai bagian dari perjanjian internasional, pemerintah harus mengaturnya bersama dengan DPR, melalui undang-undang. Apalagi, dalam Konvensi Antikorupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006, pemindahan narapidana diperbolehkan, namun harus diatur dalam undang-undang.

Undang-undang yang mengatur terkait transfer narapidana sebaiknya segera dibentuk. Hal ini akan membantu Indonesia mendapatkan kepercayaan dari publik internasional. Sebab, aturan yang jelas akan memperkuat kepastian hukum Indonesia soal nasib dan status terpidana.

Jangan Lupakan WNI Terpidana Mati

Di sisi lain, Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyebut agar pemerintah tidak hanya berfokus pada pemulangan Hambali. Sebab mengacu data Kementerian Luar Negeri per Mei 2024, tercatat sebanyak 165 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. Rinciannya, 155 orang di Malaysia, seorang di Vietnam, dan masing-masing 3 orang di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Laos. Adapun mayoritas berstatus sebagai pekerja migran.

“Kebanyakan kasus WNI yang tersangkut hukuman mati tersebut adalah pembunuhan dan narkotika,” kata Ardi.

Pada kasus pembunuhan, Ardi menduga banyak kasus dilakukan sebab terpaksa, termasuk karena tidak tahan menerima siksaan dari majikan, atau akibat bertahun-tahun gaji mereka tidak dibayarkan.

Bagi WNI terpidana hukuman mati, pemerintah disarankan mengupayakan pengampunan atau permaafan terlebih dahulu sebelum mengajukan pemulangan ke Indonesia. Karena jika pengajuan transfer tahanan dilakukan secara tiba-tiba, Ardi menilai akan berpotensi ditolak.

“Sebagaimana diketahui, bahwa pekerja migran Indonesia seringkali menerima penyiksaan di luar negeri, bahkan banyak yang hanya mengantar nyawa, belum sempat menikmati hasil jerih payahnya,” ucap Ardi.

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, memandang upaya pemulangan Hambali dan 165 WNI yang menerima tuntutan hukuman mati di negara lain, sama-sama penting. Sebab, Hambali kuat diduga ditahan secara tidak manusiawi di penjara Teluk Guantanamo dan juga berpotensi mendapatkan vonis mati atas perbuatannya. Meski hingga saat ini, belum ada kejelasan soal persidangan lanjutan kasus Hambali, yang sebelumnya direncanakan pada 2025.

Dimas memandang bentuk-bentuk perlindungan bagi WNI memang menjadi satu kewajiban negara. Dalam doktrin hak asasi manusia serta asas kedaulatan hukum, negara punya hak dalam melindungi warga negaranya di luar negeri, termasuk dari ancaman hukuman mati. Dimas memandang praktek hukuman mati sebagai peninggalan era kolonial.

“Sayangnya, di US masih dijalankan, terutama untuk bidang-bidang berat seperti terorisme.” ujar dia kepada wartawan Tirto, Senin.

Dimas menilai, langkah pemerintah Indonesia saat ini terkait transfer narapidana asing dan pemulangan WNI masih berbau populis karena belum memperbaiki akar persoalan. Selain nihilnya undang-undang transfer narapidana, Indonesia juga masih mengadopsi hukuman mati dalam UU KUHP. Meskipun pada KUHP baru yang berlaku 2026, hukuman mati harus diambil sebagai hukuman alternatif atau jalan terakhir.

Seharusnya, kata Dimas, Indonesia juga menguatkan posisinya di kancah internasional untuk berkomitmen menghapus hukuman mati. Sayangnya, pertemuan Persatuan Bangsa-Bangsa yang membahas penghapusan hukuman mati selalu disikapi Indonesia dengan posisi yang dinilai ambigu. Indonesia selalu abstain atau tidak mengambil posisi dalam penghapusan hukuman mati.

Pada Desember 2024 lalu di New York, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa Bangsa telah menyelenggarakan Sidang Umum untuk membahas 10th Resolution for a Moratorium on the Death Penalty. Agenda ini bertujuan menggalang dukungan untuk moratorium penggunaan hukuman mati di negara-negara anggota PBB.

Namun, Indonesia kembali memilih abstain serupa enam sidang resolusi terakhir, yaitu pada 2012, 2014, 2016, 2018, 2020, dan 2022. Sikap ini dinilai Dimas mencerminkan kurangnya komitmen pemerintah memperbaiki situasi hukuman mati di Indonesia di mata internasional.

“Ini akan disinyalir sebaga standar ganda. Karena Indonesia masih menerapkan hukuman mati, tapi di sisi lain, punya kewajiban dalam melakukan pelindungan warga negaranya yang menerima putusan hukuman mati di negara lain,” jelas Dimas.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pihaknya akan berdiskusi lebih lanjut dengan Presiden Prabowo Subianto mengenai rencana pemulangan Hambali. Pemerintah Indonesia, kata Yusril, berniat membicarakan rencana ini dengan Pemerintah Amerika Serikat.

“Sekarang kan juga kami masih belum tahu kewenangan siapa, Amerika Serikat atau Kuba? Karena wilayahnya (Guantanamo) ada di Kuba, dan sampai hari ini dia sudah ditahan cukup lama di Guantanamo, tanpa diadili,” kata Yusril di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Yusril menyebut upaya pemulangan Hambali sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap WNI yang menghadapi kasus hukum di luar negeri. Selain Hambali, Yusril juga menyoroti WNI yang dijatuhi pidana mati di negara lain, seperti di Malaysia dan Arab Saudi. Masih ada sekitar 54 WNI terpidana mati di Indonesia yang belum dieksekusi.

“Di Arab Saudi ada beberapa. Mudah-mudahan setelah kita berbaik-baik dengan yang lain, Pemerintah Malaysia maupun Pemerintah Arab Saudi juga bisa kita ajak negosiasi untuk menyelesaikan kasus-kasus warga negara kita di luar negeri,” ucap Yusril.

Baca juga artikel terkait BOM BALI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty