Menuju konten utama

Penggusuran Bongsuwung Menyisakan Ancaman Krisis Kesehatan

Pemerintah tidak memperhitungkan dampak kesehatan dari penggusuran Bongsuwung. Anak-anak pun terancam putus sekolah.

Penggusuran Bongsuwung Menyisakan Ancaman Krisis Kesehatan
Puluhan bangunan di Bongsuwung terpantau telah rata tanah oleh PT Kereta Api Indonesia pada Kamis (03/10/2024). tirto.id/ Dina T Wijaya

tirto.id - PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 6 telah melakukan ‘sterilisasi’ alias penggusuran kawasan Bongsuwung pada Kamis (3/10/2024). Sebanyak 226 jiwa menjadi korban penggusuran paksa ini, termasuk di antaranya 38 anak-anak, lebih dari 50 lansia, dan tiga penyandang difabel. Penggusuran ini, disebut Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) sebagai bentuk pelanggaran HAM dan merendahkan martabat manusia.

Di samping itu, penggusuran Bongsuwung yang kurang bijak pun menyisakan ancaman sosial dan kesehatan terhadap masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mulai dari peningkatan kemiskinan, tunawisma, dan angka putus sekolah. Selain itu juga krisis kesehatan, khususnya berkaitan dengan kekhawatiran meningkatnya angka penularan HIV dan AIDS di DIY.

Dalam tuntutannya, Aliansi Bongsuwung menyatakan tiga permintaan. Pertama, berikan relokasi bagi warga Bongsuwung. Kedua, PT KAI Daop 6, Pemprov DIY, Pemkot Yogyakarta, dan Kraton Yogyakarta harus bertanggung jawab atas sterilisasi yang dilakukan di Bongsuwung dengan memberikan relokasi dan kompensasi bagi warga terdampak. ketiga, laksanakan reforma agraria sejati.

Ancaman Krisis Kesehatan

Ana Mariana dari Aliansi Bongsuwung mengungkap ada 80 warga yang berprofesi sebagai pekerja seks. Sebagian dari mereka kini tidak bekerja karena tidak memiliki tempat privat dan masih tinggal di shelter. Namun, sebagian besar tetap menjajakan diri.

“Itu kekhawatiran kami, untungnya kami sudah punya data teman-teman pekerja seks dan kami sudah buat grup teman-teman pekerja seks,” ujar Ana diwawancarai di Kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY di Kelurahan Wirogunan, Kemantren Mergangsan, Kota Yogyakarta pada Jumat (4/10/2024).

Ana membeberkan, komunikasi dengan pekerja seks eks warga Bongsuwung hanya terkoordinasi lewat grup perpesan. Dari situ, dapat dipetakan bahwa para pekerja seks ini tetap menjajakan diri dan menyebar. Ada yang ke daerah sekitar Prambanan di Sleman, Parangkusumo di Bantul, dan di jalanan Kota Yogyakarta.

“Sampai saat ini ada beberapa pekerja seks yang ke Parangkusumo dan membuka diri di pinggir jalan Kota Yogyakarta. Yang waria jadi sendiri saja, nggak di satu tempat tapi menyebar,” bebernya.

Fakta itu, kata Ana, menunjukkan sebuah ancaman baru bagi DIY pasca penggusuran paksa Bongsuwung. “Beberapa dampak dari penggusuran ini sudah kami petakan, salah satunya penyebaran virus HIV AIDS. Sebab ada beberapa pekerja seks itu mereka reaktif,” sebutnya.

Ana menyayangkan penggusuran yang tidak bijak ini. Sebab sebelum penggusuran, warga Bongsuwung rutin mendapat screening kesehatan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui Puskesmas Gedongtengen.

Screening, dengan adanya Bongsuwung itu sebetulnya Puskesmas Gedongtengen dia rutin melakukan screening dan kasih tes HIV AIDS,” ucapnya.

Penggusuran Bongsuwung

Ana Mariana diwawancarai di Kantor PKBI DIY, Mergangsan, Kota Yogyakarta pada Jumat (4/10/2024). Foto/Siti Fatimah

Penggusuran, praktis membuat warga Bongsuwung tersebar. Kebijakan yang tidak teliti ini pun turut membuat bingung pihak yang berupaya membantu. “Setelah ini, kebongkar dan mencar tidak ada peran pemerintah. Akhirnya ya kami dari aliansi, sebetulnya kebingungan soal itu. Jadi kami petakan, mana teman pekerja seks yang memang butuh pengobatan secara rutin akan kami terus monitoring,” jabar Ana.

Meskipun mengantongi data, Ana mengaku ingin melindungi kerahasiaan warga Bongsuwung yang merupakan penderita HIV AIDS. Tapi di sisi lain, Ana kecewa, pemerintah yang justru lepas tangan dengan ancaman ini. Bahkan, saat pihaknya melakukan audiensi dengan Pemkot Yogyakarta beberapa waktu lalu, Dinas Kesehatan yang turut diundang justru tidak menampakan diri.

“Seharusnya Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta terlibat dalam hal ini. Kami tadi juga mengundang Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, sebelumnya juga kami bertemu dengan Pj Wali Kota dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tidak datang,” cecarnya.

Dalam upaya pencegahan penularan, kata Ana, perlu tempat tinggal baru bagi warga Bongsuwung atau relokasi. Dengan demikian, dampak krisis kesehatan dapat diminimalkan. Selain itu, kesehatan warga yang rentan penularan penyakit ini dapat diperhatikan.

“Tim aliansi sudah menghubungi Dinsos DIY dan Kota Yogyakarta pada H-1 penggusuran yaitu 2 Oktober 2024, mereka berpendapat di Kota Yogyakarta tidak ada shelter dan penampungan. Kami menghubungi Kemensos, katanya sedang mengupayakan untuk terhubung dengan Dinsos,” beber Ana.

Kontributor Tirto mencoba menghubungi Dokter Lana Unwanah, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data Sistem Informasi Kesehatan Dinkes Kota Yogyakarta. Pesan yang dikirim melalui aplikasi WhatsApp telah dibaca namun tidak mendapat tanggapan. Sementara itu, Kepala Dinsos DIY Endang Patmintarsih bahkan tidak memberikan respons sama sekali.

Ancaman Putus Sekolah

Salah satu warga Bongsuwung, Damar, mengemukakan bahwa ada sebanyak 38 anak turut terdampak penggusuran. Bahkan dia sempat tercekat dan tak mampu meneruskan kalimatnya karena tangis yang pecah. “Kemungkinan putus sekolah,” ucapnya kemudian tak bisa melanjutkan kata-kata karena tertahan tangis.

Damar bilang, sudah ada enam anak yang tidak sekolah pada H+1 penggusuran Bongsuwung. Kini empat anak telah ditampung di dua panti. Diperkirakan, ada 3-5 anak lagi akan dikirim ke panti asuhan.

Damar menahan pilu, seorang anak yang dikenalnya harus tidur di pinggir jalan. Ibu anak itu, kata Damar, harus ke Parangkusumo di Bantul untuk menjadi pekerja seks. Sementara tidak punya tempat tinggal, anak ini ikut ayahnya tidur dalam becak di sebuah hotel.

“Silakan cek, anaknya rambutnya keriting. Tidur di depan Hotel POP,” kata Damar.

Selain faktor ekonomi, Damar bilang ada tekanan mental yang dihadapi oleh anak-anak Bongsuwung. Sebagian anak-anak ini enggan sekolah, karena ingin menjaga ibunya. Mereka takut, akan terjadi sesuatu yang mencelakakan ibunya saat mereka sekolah.

“Mental terganggu atau bagaimana, banyak anak yang takut dan ingin melindungi orang tua untuk ikut berjuang. Tidak mau sekolah meskipun kami mendorong,” sebut Damar.

Beberapa anak juga dimungkinkan putus sekolah karena mengikuti ibunya yang pindah ke Parangkusumo di tepi Pantai Bantul. Padahal, mayoritas anak ini sekolah di tengah Kota Yogyakarta. Jarak yang begitu jauh ini, membuat anak-anak di Kota Pelajar terancam putus sekolah.

“Ada sekitar 30 orang yang tidur di pendopo Parangkusumo,” ujarnya kemudian mengusap air mata.

Penggusuran Bongsuwung

Damar menangis saat bercerita tentang nasib 38 anak anak di Bongsuwung yang terancam putus sekolah. Foto/Siti Fatimah

Salah seorang pekerja seks yang turut hadir dalam konferensi pers pun mengaku anaknya tidak dapat sekolah. Sebab dia tidak mendapat kompensasi yang layak untuk dapat memberikan uang saku bagi anaknya. “Anak saya itu berangkat pagi pulang jam 3, jadi tidak bisa sekolah karena saya tidak mampu memberikan uang jajan,” sebut perempuan yang tidak disebutkan namanya.

Rata-rata, warga Bongsuwung mendapat kompensasi sekitar Rp5 juta sampai Rp6 juta dengan penghitungan tanah Rp200 ribu per meter. Tapi, puluhan warga mendapat kurang dari Rp3 juta. Bahkan, ada yang hanya mendapat Rp750 ribu.

Perwakilan PBHI DIY, Restu Baskara, mengatakan negara seharusnya bertanggung jawab untuk menyediakan tempat relokasi bagi warga Bongsuwung. Sesuai dengan regulasi seperti Pasal 101 UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

“Sterilisasi harusnya juga diperhitungkan oleh pemerintah sejak 2010. Masa tidak punya rencana mitigasi risiko. Misalnya membuat rusunawa. Peran pemerintah sebagai representasi negara di mana?” tandas Restu.

Baca juga artikel terkait PENGGUSURAN atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fahreza Rizky