Menuju konten utama

Menjaga Asa di Bongsuwung: Perjuangan Warga Mempertahankan Rumah

Meskipun ancaman penggusuran terus membayangi sejak 2010, warga Bongsuwung tak menyerah. Namun, saat ini warga pasrah.

Menjaga Asa di Bongsuwung: Perjuangan Warga Mempertahankan Rumah
Aksi warga Bongsuwung pada 24 September 2024. (FOTO/Dina T Wijaya)

tirto.id - Sudah puluhan tahun Bongsuwung menjadi kampung yang dibangun oleh tangan-tangan warga pinggiran kota Jogja, kini terpaksa rata tanah. Sudah sejak 26 September, terhitung seminggu setelah Surat Peringatan ketiga diterima, warga Bongsuwung terpaksa hengkang atas wacana sterilisasi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Di hadapan PT KAI, Bongsuwung tak ada bedanya dengan debu kotor yang menempel di rel kereta. Sehingga, tempat itu harus steril. Menurut PT KAI, Bongsuwung merupakan emplasemen atau kompleks jalur kereta.

“Yang namanya emplasemen dan kebetulan itu berada di emplasemen kereta api, tentu harus steril. Tidak boleh ada hunian di situ,” kata Krisbiyantoro, Manajer Humas KAI Daerah Operasional 6 Yogyakarta, pada Jumat, 27 September 2024.

Bongsuwung tepat di sebelah barat Stasiun Tugu Yogyakarta, di pinggiran rel kereta api, di mana rumah-rumah bedeng bersekat kayu berdiri. Akses jalan ke Bongsuwung berhenti di tanjakan buntu dari kampung Jlagran melewati gang kecil yang hanya bisa dilalui satu motor. Seperti masuk ke lorong dunia lain, seolah tak terjamah gemerlap kota Jogja.

Deretan bangunan semi permanen itu berhimpitan satu sama lain, berdampingan langsung dengan jalur lintas sepur. Di sinilah puluhan warga tak hanya membangun atap, tetapi juga menemukan keluarga. Menurut data sementara Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral Yogyakarat, terdapat 49.937 perumahan atau pemukiman rakyat yang masuk kategori tak layak huni di Yogyakarta. Warga Bongsuwung adalah bagian masyarakat miskin kota yang terus berjuang meski dipinggirkan pemerintah. Selama ini, belum pernah ada uluran bantuan, kecuali dari para mahasiswa maupun aktivis dan LSM.

Dulu, Bongsuwung kondisinya masih penuh semak belukar dan menjadi tongkrongan para bandit. Kebanyakan warga Bongsuwung adalah perantau, menjajal penghidupan yang mujur di kota istimewa. Lambat laun, warga Bongsuwung hidup layaknya satu kampung dengan segala aktivitas bersama. Mereka bekerja sehari-hari sebagai pedagang, kuli, pemulung, dan beberapa perempuan menjajakan diri. Tapi lambat laun, warga berbenah dan menata Bongsuwung layaknya kampung yang harmonis.

Mereka membaur dengan deru kereta api yang melintas setiap saat. Di antara rel kereta api yang berderit, puluhan keluarga menggantungkan hidup. Total terdapat 168 jiwa dengan 76 KK di Bongsuwung. Lebih dari 43 jiwa adalah kelompok lansia, dan 3 jiwa penyandang disabilitas. Mereka di antaranya pedagang, pemulung, hingga pekerja seks. Di sinilah warga berjuang untuk mempertahankan hak atas hidup mereka di atas tanah yang mereka sebut rumah, meski kini rumah itu sudah dibongkar bertahap pasca penggusuran dari PT KAI untuk sterilisasi. Di balik kepasrahan itu, tersimpan perjuangan panjang dari pintu ke pintu, walau di ujung warga Bongsuwung tak punya cukup kuasa untuk membela haknya.

Menjaga Harapan di Bongsuwung

Jati Nugroho, di depan Kantor PT KAI Daop 6. (FOTO/Dina T Wijaya)

Membentuk Aliansi

Jati Nugroho, sesepuh Bongsuwung, duduk di kursi teras yang terbuat dari bambu panjang. Sehabis mandi, sore itu ia bersiap untuk sebuah pertemuan membahas agenda audiensi esok harinya.

Nugroho berasal dari Bantul, namun ia memilih di Bongsuwung bersama istrinya. Seolah jadi ikon, ia mengenakan kaos merah dan topi usang yang sama dalam setiap momen perjuangannya.

Hari-hari itu, sejak dikeluarkan Surat Peringatan pertama pada 5 September dari PT KAI, warga Bongsuwung mulai kalang kabut. Hampir setiap sore, mereka merembuk nasib mereka di satu balai sederhana yang mereka bangun secara swadaya. Di balai itulah mereka merencanakan langkah-langkah yang bakal ditempuh untuk menghadapi ancaman penggusuran.

Sebetulnya, kabar Bongsuwung akan digusur sudah sejak lama. Sekira tahun 2010 dan 2013. Namun kabar itu mencuat kembali pada Juli 2024, setelah warga mengikuti sosialisasi oleh PT KAI di kantor Kecamatan Gedongtengen bersama pihak kecamatan, pemerintah kota, Panitikismo dan Bappeda.

Pak Nug, sapaan akrab warga pada Jati Nugroho, selaku ketua paguyuban warga menyimpan rasa pesimistis. Sebab dalam sosialisasi awal, PT KAI telah mengantongi surat palilah dari Panitikismo Kraton Yogyakarta. Surat palilah itu sendiri berisi pemberian izin pemanfaatan tanah Kasultanan atau Kadipaten untuk sementara waktu.

Alhasil, jika surat palilah sudah turun, warga tak dapat berkelit, sebagian besar mereka pun setuju untuk dilakukan pendataan dengan mengukur luas bangunan pada 7 Agustus 2024.

Dalam benak Pak Nug, meski tak kunjung tahu nasib di depan, ia terus mendorong warga untuk berjuang bersama. Lebih dari 10 kali warga yang menamakan diri sebagai Aliasi Bongsuwung itu, melakukan ragam aksi demonstrasi, mengirim surat hingga audiensi ke pihak pemangku kebijakan.

Tepat sehari setelah disosialisasikan di kecamatan itu, warga berbondong menggeruduk Kantor DPRD DIY, mengharap penggusuran ditunda hingga mereka benar-benar bisa mengumpulkan modal untuk menata hidup kembali.

Pak Nug, menceritakan bagaimana wacana penggusuran justru mendorongnya untuk mengajak warga bersatu dan membentuk paguyuban. Dengan bersatu, setidaknya baginya itu akan memperkuat daya tawar warga ketika terkena gusur.

Paguyuban Bongsuwung dibentuk semenjak santer wacana penggusuran di 2010 oleh pemerintah daerah. Jati Nugroho mengatakan, paguyuban menjadi penguat posisi dan pemersatu mereka ketika terjadi persoalan.

“Ya tujuannya berjuang ketika kita mau ditata oleh pihak PT KAI, kalau tidak atas nama paguyuban, atas nama siapa? Dari pemerintah biar bisa melihat, ini tidak atas nama personal,” tutur Jati Nugroho.

Pak Nug penglihatannya kabur dan selalu berjalan dituntun menggunakan tongkat ke mana-mana. Meski begitu lelaki tua itu selalu nampak dalam setiap momen perjuangan warga. Termasuk dalam setiap audiensi maupun pertemuan dengan pemerintah dan PT KAI.

Dahulu, ia mendampingi warga Bongsuwung atas dukungan dari Gunardi, mantan preman legendaris di Jogja. Dengan Gunardi atau Gun Jack itulah Pak Nug pernah berjanji untuk mengawal Bongsuwung.

“Amanat ini yang saya pegang sampai sekarang, jadi saya di sini bukan karena saya sendiri. Kedua warga itu juga saya dianggap seperti bapak sendiri, sehingga sampai sekarang, perjuangan saya ini sampai kapan saya juga gak tahu,” terangnya.

Menjaga Harapan di Bongsuwung

Seorang anak sepulang sekolah di Bongsuwung. (FOTO/Dina T Wijaya)

Pada masa silam, Jati Nugroho maju melawan rencana penggusuran PT KAI dengan argumen bahwa lahan yang mereka tempati merupakan Sultan Ground. Sehingga, kalaupun PT KAI hendak menggusur Bongsuwung, menurutnya saat itu tak bisa dibenarkan. Sehingga rencana itu selalu urung terjadi. Warga pun tetap bertahan mencari penghidupan di Bongsuwung, berdampingan dengan PT KAI yang mengelola stasiun di atas tanah sultan.

Kini, upaya-upaya seolah menemui jalan buntu. Mereka tak hanya sekali mengirim surat pada pemerintah. Pada 9 dan 10 September 2024, Aliansi Bongsuwung menyurati presiden beserta jajaran kementeriannya, DPR RI, Komnas HAM, hingga kepada Ketua Ombudsman RI via pos. Namun tak ada respons berarti. Dua hari pasca berkirim surat itu, dengan difasilitasi oleh DPRD DIY, warga mengadakan pertemuan dengan pihak PT KAI.

Waktu itu dalam aksi demonstrasi terakhir pada 24 September yang digelar di kantor PT KAI Daerah Operasional 6 Yogyakarta, beberapa warga menjadi tim runding bersama kuasa hukum. Mereka masuk ke dalam dan menyampaikan keluhan warga, di antaranya meminta penundaan waktu pelaksanaan sterilisasi. Sementara di luar di bawah terik warga berkumpul dengan meneriakkan orasi sambil membawa poster.

Di tengah aksi, tak jarang warga tumbang. Misalnya dalam aksi di Kantor DPRD Kota Yogykarta, seorang warga tiba-tiba pingsan. Lalu kejadian yang sama juga terjadi di demonstrasi di depan Kantor PT KAI Daop 6. Mereka mengaku kalut. Hasilnya, PT KAI tak mengindahkan permintaan warga baik untuk penundaan maupun pemagaran. Di hari yang sama warga berbondong-bondong menuju Kantor Walikota, dengan harapan yang sama.

Manajer Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Krisbiyantoro, menjelaskan bahwa Bongsuwung letaknya sudah di dalam pagar. Dalam istilahnya, ia menyebut Bongsuwung termasuk dalam area emplasemen stasiun. Pihaknya bersikukuh melakukan sterilisasi guna mengembalikan fungsi area operasional kereta.

“Lah kalau minta pemagaran, bahwasanya itu sudah di dalam pagar, itulah rumaja (ruang manfaat jalan) yang harus disterilkan,” kata Krisbiyantoro diwawancarai via telpon (27/9/2024).

Menjaga Harapan di Bongsuwung

Seorang warga jatuh pingsa di tengah demonstrasi. (FOTO/Dina T Wijaya)

Potret Mandiri Warga Membangun Hidup di Bongsuwung

Meskipun ancaman penggusuran terus membayangi sejak 2010, warga Bongsuwung tak menyerah. Mereka berkumpul, berbagi cerita, dan membangun solidaritas untuk melawan rencana gusuran. Menurut mereka, rumah bukan sekadar bangunan, tetapi tempat di mana kenangan dan harapan disemai dan tumbuh.

Dengan latar belakang suara kereta yang melintas, Nia yang ditemui selepas konsolidasi (24/9/2024) bercerita tentang kisahnya di Bongsuwung. Ia dan kawan-kawan di sana membentuk sebuah komunitas bernama Arum Dalu Sehat. Nia selaku ketua Paguyuban Arum Dalu Sehat, berbagi pandangannya tentang bagaimana perempuan di sana memberdayakan diri. Eksistensi ADS menjadi cara menunjukkan bahwa mereka tak hanya pekerja seks, tetapi juga ibu, saudara, dan teman yang bisa saling mendukung.

Nia menegaskan pentingnya solidaritas di antara mereka, mengingat banyak dari mereka adalah penyintas stigma dan diskriminasi. Sama seperti Jati Nugroho, Nia menjadi pentolan warga Bongsuwung yang selalu hadir di barisan pertama membela hak warga. Baginya penggusuran ini bukan hanya tentang tempat tinggal, tapi tentang menghilangkan keberadaan mereka sebagai pekerja seks.

Berawal dari Bongsuwunglah, Nia menata hidup. Dari yang awalnya sebagai pekerja seks, kini ia aktif bergiat dalam sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berorientasi pada upaya pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS. Nia mendorong perempuan di Bongsuwung memiliki akses atas kesehatan dan edukasi kesehatan.

Menjaga Harapan di Bongsuwung

Anak-anak pulang sekolah di Bongsuwung. (FOTO/Dina T Wijaya)

Sejak 2014, setelah menetap di Bongsuwung, Nia mulai membuka diri untuk berjejaring. Menurut kisahnya, dulu para pekerja seks di Bongsuwung sulit membuka diri karena stigma yang melekat. Namun setelah komunitas itu terbentuk, pelan-pelan mereka mengadakan kegiatan rutin untuk saling belajar dengan pemberdayaan keterampilan dan pemeriksaan kesehatan setiap tiga bulan sekali di balai. Dari sinilah, Nia menyadari dirinya bisa keluar dari stigma negatif dan menebar manfaat bagi kawan-kawannya.

“Dari sini saya merasa semua keluarga, terus saya di sini seperti berharga, bisa membantu teman-teman, banyak lah kenangan di sini. Saya pengen bawa pekerja seks ini bukan sampah masyarakat, pekerja seks di sini itu mau berdaya,” ungkapnya.

Selain kegiatan rutin komunitas ADS, setiap Sabtu sore, di balai itu juga anak-anak Bongsuwung rutin belajar. Mereka menyebutnya sebagai Sekolah Senja Bongsuwung. Pengajar yang datang merupakan para mahasiswa dan relawan yang sukarela mengajar di sana.

Keseharian warga di Bongsuwung tak dijalin begitu saja. Mereka menata pelan-pelan kampung itu secara mandiri, sesekali dengan bantuan LSM ataupun relawan dari luar yang peduli. Selain kegiatan komunitas, paguyuban dan sekolah sore, warga juga menerapkan sistem jimpitan layaknya di kampung-kampung. Mereka juga menjaga ketertiban dengan ronda bergilir.

Kebanyakan dari mereka telah menetap di sana selama belasan hingga puluhan tahun. Bento misalnya. Ayah dua anak itu sudah 15 tahun di Bongsuwung. Tirto menemui Bento di tengah aksi Selasa siang (24/09/2024). Ia memilih menepi di kursi belakang bis rombongan warga berangkat dari Bongsuwung. Di tengah terik, ia duduk dengan muka memancarkan kekhawatiran.

“Setelah SP 3 sudah enggak ada harapan, adanya cuma takut sama takut,” kata dia.

Sehari-hari, ia bekerja sebagai kuli, sementara istrinya membuka warung di Bongsuwung. Penghasilan mereka per hari maksimal Rp70 ribu. Sementara anaknya masih harus sekolah. Sebelum di sana, Bento yang berasal dari Solo itu hidup dari jalan ke jalan. Dari yang awalnya tidur di emperan toko, ia bersyukur memiliki rumah kecil di Bongsuwung.

Namun, kini ia menggambarkan bagaimana penggusuran ini akan memengaruhi kehidupan keluarganya secara keseluruhan. Tak ada sama sekali persiapan di mana setelah ini keluarganya tinggal. Mentok ia akan mencari cara untuk mengontrak rumah.

“Paling nanti ya kejaran lagi, mau pulang ke desa enggak ada harapan. Paling nanti ya sudah pakai gerobak dikasih atap, anaknya di situ nanti mulung apa ngamen,” ungkapnya pasrah.

Dalam setiap aksi, Bento selalu mengajak dua anaknya, meskipun diliputi kekhawatiran.

Sama halnya dengan Bento, Tini juga dibayangi rasa yang sama. Tirto menemui Tini di rumahnya. Waktu itu, ia sedang tiduran ketika para warga sedang berembuk setelah aksi. Tini mengaku pusing dan seketika meriang, sehingga memilih melipur untuk tidur. Meskipun sulit untuk memejamkan mata.

“Aku langsung pulang. Aku sudah melipir ke kamar mandi, ganti baju, udah mau tidur tiba-tiba kok liut-liut (pusing),” keluhnya.

Ibu satu anak itu juga bercerita bahwa mengajak putranya berjuang dengan ikut demosntrasi. Putranya yang mulai masuk kelas satu SMP itu ia besarkan di Bongsuwung. Tini selalu berusaha tegar di depan anaknya, ia ingin anaknya tetap sekolah meski dalam situasi sulit.

“Ke DPR demo itu tak ajak dia. Ini lho le kerasnya kehidupan ibu, tapi ibu enggak ngeluh papa yang penting kamu sekolah. Yang penting kamu sekolah pintar, sudah nggak usah mikir apa-apa,” kata Tini menirukan perkataannya pada putranya.

Sejak kecil, perempuan kelahiran 1984 itu menganggap Bongsuwung sebagai rumah. Pasca cerai dengan suami pertamanya, ia tak punya pilihan selain menyusul ibunya ke Bongsuwung dan memulai hidup di sana. Kini, dengan suami kedua, ia dikaruiani satu anak yang harus ia hidupi.

“Jujur saja nyaman di sini walaupun tempatnya seperti ini. Tempat seperti ini banyak saudara saya di sini,” kata dia.

Kabar penggusuran membuatnya seketika syok. Katanya, hampir seminggu Tini tak bisa tidur. Pasalnya belum ada dua bulan, ia mengutang uang Rp30 juta untuk modal usaha dan membangun sekat kamar.

“Baru kayak gitu terus mendengar penggusuran, stres enggak Mbak, terus kan anakku mau sekolah, masih punya utang, stres kan Mbak? Utang di bank itu nggak main-main loh, mau jualan, mau kerja apa, terus anakku nanti piye,” keluh Tini.

Menjaga Harapan di Bongsuwung

Warga Bongsuwung demonstrasi di depan Kantor PT KAI Daop 6. (FOTO/Dina T Wijaya)

Restu Baskara, dari PBHI yang juga merupakan pendamping hukum warga mengatakan, penggusuran di Bongsuwung yang tanpa mengedepankan prinsip-prinsip HAM merupakan bentuk kekerasan struktural yang menindas warga miskin perkotaan.

Menurutnya warga Bongsuwung yang sebagian besar adalah kelompok rentan termasuk pekerja seks dan pemulung akan kehilangan tempat tinggal, penghidupan, pekerjaan, serta jaminan sosial yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Penggusuran ini akan berdampak pada peningkatan kemiskinan, krisis kerentanan pada perempuan dan anak, maupun krisis kesehatan publik.

Meski secara legal mereka tak memiliki hak atas tanah, kata Restu, namun warga Bongsuwung adalah warga negara yang mesti dijamin hak asasinya.

“Warga negara itu berhak untuk hidup di lingkungan yang sehat, layak huni, layak untuk ditempati, tentang lingkungan yang kotor segala macam. Usaha perumahan warga itu berhak untuk mendirikan tempat tinggal, terus juga berhak mendapat bantuan sosial ketika warga negara itu kategorinya miskin, sehingga dia mendapatkan bantuan sosial. Nah itu di Bongsuwung nggak ada, mereka kayak dianggap bukan warga negara,” papar Restu Baskara (27/9/2024)

Surat Palilah, Jalan Mulus Sterilisasi

Warga masih menyayangkan keputusan PT KAI, mereka sejak awal belum mengerti rencana sterilisasi yang dimaksud. Jika pun ingin ada sterilisasi, warga menawarkan alternatif penataan tanpa harus mengusir.

“Sebetulnya warga saya mintanya dengan PT KAI itu simpel, kalo memang mau ditata buat apa? Kedua minta relokasi, tapi tidak dijawab,” kata Jati Nugroho.

Mulai Jumat (27/9/2024) sore warga nampak mulai membongkar hunian mereka. Meski bagi mereka, waktu pengosongan terlalu cepat, tak ada lagi yang bisa dilakukan, selain memenuhi tuntutan PT KAI supaya Bongsuwung segera rata tanah. Pasalnya, pihak KAI hanya memberikan tenggat hingga 2 Oktober 2024. Mereka dilema jika pun menolak penggusuran, sebab tak akan ada uang ganti yang menyambung kehidupan mereka beberapa hari ke depan.

Warga meminta kejelasan nasib mereka ke pihak Dinas Sosial DIY. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut, meskipun tenggat pembongkaran tersisa sehari lagi. Jati Nugroho selaku perwakilan warga Bongsuwung mengatakan, saat ini pembongkaran rumah sudah 50 persen. Mereka membongkar secara mandiri rumah mereka, dengan alasan ingin mengamankan barang-barang yang mereka anggap masih berguna.

Sementara itu, mereka berencana akan mendirikan tenda di depan Kantor DPRD DIY apabila masih belum mendapat tindak lanjut. Tirto berusaha menghubungi Endang Patmintarsih, kepala Dinsos DIY, tetapi belum ada tanggapan hingga artikel ini dirilis.

Bongsuwung, serta PT KAI sejak awal berdiri di atas tanah sultan. Bedanya, PT KAI mengantongi izin penggunaan. Pihak PT KAI membenarkan bahwa rencana penggusuran itu telah lama diupayakan. Terhitung tiga bulan sejak sosialisasi penertiban, mereka mengajukan permohonan surat palilah, yang akhirnya diizinkan oleh keraton.

“Tiga bulan sebelumnya kami sudah mengajukan surat palilah, kemudian prosesnya kan melalui pemerintah kota Jogja, kemudian diajukan ke keraton,” papar Krisbiyantoro.

Dengan izin pemanfaatan lahan aset tersebut, pihaknya menempuh tahapan berikutnya dengan mengeluarkan tiga surat peringatan kepada warga. Baginya sterilisasi ini tak lain bertujuan juga untuk keselamatan perjalanan kereta api.

Sepanjang jalur kereta api di Jogja, kata Krisbiyantoro, sebetulnya belum semuanya steril. Sehingga ke depan, pihaknya juga mempertimbangkan rencana sterilisasi secara bertahap.

“Untuk saat ini kami tentu pakai tahapan ya, kami saat ini fokus pada Bongsuwung, ya Bongsuwung dulu. Maksudnya semua perkeretaapian di Indonesia ini masih cukup banyak, jaringan kereta api yang belum steril. Kami kan bertahap. Untuk menstrerilkan itu kan butuh modal yang cukup besar, antara lain juga perijinan, kolaborasi dengan pemerintah setempat,” kata dia.

Terkait uang kompensasi, pihaknya mengatakan bahwa kompensasi tidak menjadi tanggung jawab PT KAI. Pasalnya, posisi warga tak memiliki hak secara legal atas lahan yang mereka tempati. Sehingga hanya bisa dianggarkan untuk uang ganti bongkar sejumlah Rp200 ribu per meter persegi dan uang ganti angkut sejumlah Rp500 ribu.

“Memang bukan menjadi ranah KAI, untuk orang yang menempati lahan aset kereta api. Kalau kami mempunyai legalitas yang kuat, warga itu punya atau tidak? Dia menempati tanahnya atau lahan asetnya siapa? Kalau sisi hukumnya sudah tidak terpenuhi, ya otomatis kami tidak bisa mengganti,” kata dia.

Sekarang warga telah pasrah. Mereka mulai berbondong mendatangi kantor PT KAI untuk menandatangani berita acara sterilisasi dan nerima uang ganti bongkar. Barang-barang perlahan mereka kemasi, meski tanpa tahu akan diangkut ke mana.

Bongsuwung, kini perlahan kembali menjadi lahan suwung. Satu per satu bangunan digempur mendiri oleh warga. Mereka mau tak mau akhirnya menerima penggusuran dan memperoleh uang ganti bongkar dan ganti angkut.

Menjaga Harapan di Bongsuwung

Beberapa poster yang ditempel warga sebelum sterilisasi. (FOTO/Dina T Wijaya)

Baca juga artikel terkait PENGGUSURAN atau tulisan lainnya dari Dina T Wijaya

tirto.id - News
Kontributor: Dina T Wijaya
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Abdul Aziz