Menuju konten utama
Maulid Nabi Muhammad SAW

Sekaten Keraton Yogyakarta Tak Sekadar Melestarikan Budaya

Rangkaian Sekaten di Masjid Gedhe akan ditutup dengan Gamelan Sekati yang dibawa masuk lagi ke Keraton Ngayogyakarta.

Sekaten Keraton Yogyakarta Tak Sekadar Melestarikan Budaya
Kirab atau arak-arakan Garebeg Maulid Keraton Ngayogyakarta pada tahun 2023. FOTO/Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

tirto.id - Maulid Nabi Muhammad, disebut pula Maulid Nabi atau Maulud, merupakan salah satu peringatan penting bagi umat Islam di Indonesia. Berdasar penanggalan Hijriyah, peringatan dilakukan pada 12 Rabiulawal oleh sebagian Sunni, sementara Syiah pada 17 Rabiul Awal. Secara substansi, Maulid Nabi merupakan ekspresi kegembiraan dan penghormatan atas kelahiran Rasulullah.

Sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam, Keraton Ngayogyakarta jadi salah satu yang menggelar peringatan Maulid Nabi. Peringatan ini disebut dengan Sekaten yang rangkaiannya dimulai sejak tanggal 5-11 Rabiulawal atau dalam penanggalan Jawa disebut bulan Mulud.

Puncak dari Sekaten adalah gelaran Hajad Dalem Garebeg Maulid yang diselenggarakan pada 12 Rabiulawal atau Mulud. Tahun ini, penyelenggaraan Garebeg Maulid jatuh pada 16 September 2024 Masehi.

KMT Reksamartawijaya, Carik Kawedanan Tanda Yekti Keraton Ngayogyakarta, membenarkan bahwa Garebeg Maulid merupakan salah satu rangkaian dalam memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW.

“Jadi Grebeg Maulid akan dilaksanakan pada Senin (16/9/2024) prosesi dimulai pada pukul 07.00 pagi,” kata dia kepada kontributor Tirto usai upacara Numplak Wajik di Plataran Kemagangan, Keraton Ngayogyakarta, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Jumat (14/5/2024) sore.

Menurut pengetahuan KMT Reksamartawijaya, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab, Syahadatain. Penyebutan yang menyesuaikan pelafalan Jawa, kemudian mengubah kata jadi Sekaten. Namun tetap memiliki pemaknaan yang sama, yaitu pengakuan terhadap keesaan Allah SWT dan keutusan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya.

“Ada yang menyebut dengan Sekati. Awalnya dari kata Syahadatain, meng-Islamkan umat yang ingin jadi muslim,” jelas dia.

KMT Reksamartawijaya lantas menyatakan bahwa Sekaten sejatinya merupakan bagian dari syiar budaya, khususnya edukasi Islam. “Iya bertumpu pada Islam, jadi Sekaten sendiri rohnya ya di masjid,” sebutnya.

Dia menjabarkan, rangkaian Sekaten diawali dengan upacara Miyos Gangsa pada Senin (9/9/2024) atau 5 Mulud Je 1958 dalam penanggalan Jawa. Dalam upacara ini, sepasang Gamelan Sekati yakni KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga dibawa Kanca Abrit dari Bangsal Pancaniti Keraton Ngayogyakarta untuk ditempatkan di Pagongan Masjid Gedhe.

Sekaten Keraton Ngayogyakarta

Upacara Numplak Wajik sebagai awalan proses merangkai gunungan yang akan dikirab pada Garebeg Maulid. Upacara dilakukan di Plataran Kemagangan, Keraton Ngayogyakarta, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Jumat (14/5/2024) sore. FOTO/Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

Gamelan Sekati dibunyikan secara bergantian oleh Abdi Dalem Wiyaga Kawedanan Kridhamardawa tiga kali sehari, yaitu pada 08.00-10.00, 14.00-17.00, dan 20.00-23.00 WIB pada Minggu (15/9/2024) atau 12 Mulud Je 1958. Gending yang dimainkan adalah Gendhing Sekaten yang jumlahnya mencapai 68, tapi umumnya melantunkan sebanyak 16 gending.

“Dulu belum banyak hiburan, masih sepi, jadi begitu ada pertunjukan ini orang-orang akan datang menuju pusat keramaian, yaitu di Masjid Gedhe. Setelah masyarakat berkumpul, masjid tidak diam. Masjid Gedhe juga mengadakan semacam pengajian dan menawarkan siapa yang ingin masuk Islam akan disyahadatkan di Masjid Gedhe. Syahatain maka menjadi Sekaten,” paparnya.

Rangkaian Sekaten di Masjid Gedhe akan ditutup dengan Gamelan Sekati yang dibawa masuk lagi menuju ke Keraton Ngayogyakarta. Proses itu disebut dengan Kundur Gangsa yang akan dilakukan pada Minggu (15/9/2024) tengah malam.

“Puncak acara (Sekaten) adalah Garebeg Maulid pada Senin (16/9/2024),” kata KMT Reksamartawijaya menjelaskan.

Numplak Wajik Sebelum Merangkai Gunungan

Keraton Ngayogyakarta pun menggelar upacara Numplak Wajik yang diselenggarakan di Plataran Kemagangan, Kota Yogyakarta, DIY, pada Jumat (14/5/2024) sore. Upacara ini dipimpin langsung oleh putri pertama Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, Raja Keraton Ngayogyakarta, yang bernama GKR Mangkubumi.

Lepas salat Asar, GKR Mangkubumi keluar dari keraton. Mengenakan kebaya didominasi warna biru dengan motif bunga, dia diikuti oleh puluhan abdi dalem perempuan menuju Plataran Kemagangan.

Numplak Wajik diawali dengan doa yang dipimpin oleh pemuka agama berbaju putih. Dilanjut dengan pemindahan wajik dari dalam keranjang ke atas bilah kayu khusus yang telah dibalur dengan minyak. Proses pemindahan dengan cara menumpahkan isi keranjang secara langsung ini dalam bahasa Jawa disebut numplak. Oleh sebab itu, upacara disebut dengan Numplak Wajik.

Setelah penganan dari beras ketan itu berhasil di-tumpak, wajik kemudian dia tutup dengan bilah bambu dan diselimuti dengan kain. Pada bagian atas wajik, kemudian disematkan rangkaian rengginang warna-warni. Terakhir, abdi dalem membalur sekeliling papan tempat Numplak Wajik dengan larutan beras-kencur.

Rampung, sisa beras kencur pun dibagikan pada masyarakat yang turut menyaksikan upacara Numplak Wajik. “Numplak Wajik adalah upacara yang mengawali pembuatan atau merangkai gunungan,” jelas GKR Mangkubumi.

Gunungan, merupakan simbol sedekah Raja Keraton Ngayogyakarta pada rakyatnya. Nantinya, gunungan akan diarak dalam Hajad Dalem Garebeg Maulid. “Grebeg Maulid akan dilakukan Senin tanggal 16 September 2024,” sebut GKR Mangkubumi.

KMT Reksamartawijaya menambahkan, ada lima jenis yang nantinya diwujudkan dalam enam gunungan. Terdiri dari dua gunungan kakung dan masing-masing satu untuk gunungan estri, gepak, dharat, dan pawuhan.

“Utusan Dalem akan menyerahkan gunungan kepada Kiai Penghulu Masjid Gedhe jumlahnya lima (gunungan). Satunya, gunungan kakung kan dua, diserahkan ke Puro Pakualaman,” kata dia.

Usai didoakan, kata KMT Reksamartawijaya, gunungan yang ada di Masjid Gedhe akan dibagikan pada masyarakat yang ada di sekitar masjid. Terkait dengan rayahan atau berebut gunungan, dia bilang itu tidak sesuai dengan makna Sekaten dan simbol sedekah raja. Maka tahun ini, diberlakukan pembagian gunungan dan tidak boleh ada rayah.

Wong itu sedekah raja kok di-rayah. Kalau di-rayah, itu edukasinya tidak masuk. Paling kuat dia yang paling banyak. Makanya mulai tahun ini (berlaku) pembagian gunungan,” jelasnya.

Sekaten Keraton Ngayogyakarta

Potret pedagang musiman di Masjid Gedhe saat Sekaten. Darmo Wiyono (kiri) yang merupakan pedagang sesajen dan Walidah (kanan) yang menjajahkan endog abang. FOTO/Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

Ngalap Berkah di Masjid Gedhe

Selama berlangsungnya Sekaten, Masjid Gedhe jadi pusat aktivitas. Mulai dari memperdengarkan Gendhing Sekaten yang dilantunkan Gamelan Sekati, kajian agama, sampai mendukung kelestarian pedagang kaki lima (PKL).

Salah satu yang meraup berkah adalah Darmo Wiyono. Lansia 73 tahun ini menjual sesaji untuk dipersembahkan pada Gamelan Sekati. Rupa-rupa, ada suruh yang lengkap dengan bunga kantil, bunga tabur, sampai kemenyan.

“Bunga dibawa ke gongso (tempat gamelan) untuk ngalap (mendapat) berkah. Mangke njenengan ngersake nopo, matur mangke didongani (nanti bilang ke penjaga untuk didoakan keinginannya),” kata warga asli Palbapang, Kabupaten Bantul ini.

Mbah Darmo menjual sesaji lengkap dengan harga Rp10 ribu. Dia mengaku hanya bisa berjualan di Masjid Gedhe saat Sekaten. Meski terkadang tidak laku, tapi dia mengaku tetap mendapat rezeki. Sehingga baginya, Sekaten adalah tempat ngalap berkah.

“Seperti kemarin itu, ada priyayi dari Magelang. Cuma minta dua bungkus, tapi mengasih saya Rp100 ribu,” ungkapnya.

Lansia lain yang juga ngalap berkah pada momen Sekaten adalah Walidah. Warga Sewon, Kabupaten Bantul ini berjualan endog abang atau telur merah. Biasanya, dia mulai membuka lapaknya usai Salat Asar sampai malam. Secara filosofis, endog abang mengandung berkah dalam kehidupan baru.

“Kalau buat saya, endog abang itu maknanya biar awet muda,” kelakarnya.

Di usia yang sudah menginjak 62 tahun, Walidah mengaku tak kesulitan dalam merangkai endog abang. Dengan tampilan yang meriah, simbah yang kesehariannya bertani ini hanya menjual endog abang seharga Rp5 ribu per rangkaian.

Dia menambahkan pemanis agar tampilan endog abang menyerupai rangkaian bunga. Telur ditopang dengan bambu penyangga yang dihiasi sulur-sulur dan beberapa kuntum kembang plastik. Pucuknya, dibubuhkan pula hiasan tambahan.

“Ini semua saya yang buat sendiri, bahannya pakai sampai plastik. Kalau ada kenduren, keresek-nya saya simpan. Daripada dibuang cuma ngregeti [mengotori],” ungkapnya.

Sekaten yang dikembalikan sesuai tradisi, ternyata menyelipkan rindu akan kemeriahan pasar malam yang beberapa tahun belakangan tidak lagi diselenggarakan. Sepintas saya mendengar perbincangan pembeli dan pedagang di sebelah saya.

Nek aku tetep kangen Sekaten seng mbiyen (yang dulu),” lontar si pembeli. Kemudian pedagang yang menjualinya menjawab, “Loh malah seng mbiyen ki yo koyo ngene (yang dulu atau asli ya seperti pelaksanaan yang sekarang).”

Baca juga artikel terkait SEKATEN JOGJA atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz