tirto.id - Kota Solo menjadi salah satu kota tujuan para pelancong untuk menghabiskan waktu berliburnya. Meskipun Solo tidak memiliki destinasi wisata alam, namun Solo menawarkan destinasi wisata lain seperti wisata kuliner dan wisata budaya. Bahkan, kurang dari tiga tahun ke belakang, sektor pariwisata di Solo berkembang cukup pesat, yakni berada di angka 5,57 persen. Ini merupakan yang tertinggi sejak 7 tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sektor pariwisata tersebut tidak terlepas dari program 17 prioritas pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo di bawah kepemimpinan Gibran Rakabuming Raka. Agenda dari program ini adalah pembangunan dan revitalisasi 17 titik di Kota Solo yang potensial untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata. Dari 17 titik tersebut, salah satu yang menjadi tujuan kawula muda di Solo dan juga wisatawan dari kota lain ada Koridor Gatot Subroto.
Sejak proses revitalisasi rampung pada 2023 lalu, Koridor Gatot Subroto, atau kerap disingkat Gatsu, menjelma seperti jalan Malioboro di Jogja. Kini, jalan Gatot Subroto tersebut menjadi rumah bagi pelaku UMKM di Solo yang diakomodir oleh komunitas seni Solo is Solo Street Art. Setiap akhir pekan, mata pengunjung Gatsu dimanjakan oleh beragam produk dari pelaku UMKM. Tak hanya itu, di koridor Gatsu juga menampilkan beberapa kesenian dan pertunjukan musik.
Solo is Solo awalnya merupakan komunitas yang berisi para seniman mural yang melukis di tembok-tembok sepanjang Jalan Gatot Subroto yang dimulai pada 2017. Kegiatan tersebut sempat terhenti karena pandemi, namun festival mural kembali dilaksanakan pada tahun 2022, bersamaan dengan dimulainya revitalisasi Koridor Gatsu.
Kemudian setelah revitalisasi selesai, Solo is Solo mulai mengajak dan mengumpulkan para pelaku UMKM serta seniman untuk bergabung dan akhirnya menggelar Night Art Market di sepanjang Koridor Gatot Subroto tersebut.
Ketertarikan pada Kerajinan yang Menghasilkan
Kami berkesempatan untuk mewawancarai pelaku UMKM di Koridor Gatsu Solo. Mereka adalah Lidia dan Dela. Setelah melakukan wawancara pada kesempatan berbeda, ternyata mereka memiliki beberapa kesamaan dalam hal alasan memulai usaha; ketertarikan pada handmade craft atau kerajinan tangan.
Pelaku UMKM pertama ialah Lidia. Ia telah menekuni usaha ini sejak 2022. Wanita kelahiran Semarang ini juga menceritakan awal mula memulai usaha craft manik-maniknya. Sebelum fokus pada craft manik-manik, ia telah terlebih dulu membuka stand lukisan karena sering ke acara pameran lukisan karena mengantarkan anaknya yang duduk di bangku SMK jurusan seni. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai tertarik pada usaha craft manik-manik.
“Awalnya setiap hari nganter anak pameran lukisan dan ikut buka stand lukisan, terus kok jadi pengin bikin craft," cerita Lidia.
Sebelum bergabung Solo is Solo dan berjualan di Koridor Gatsu, Lidia telah berjualan di Solo Art Market. Dari situlah ia mulai mengetahui tentang Solo is Solo dan memutuskan untuk langsung bergabung. Lidia termasuk salah satu dari puluhan pelaku UMKM yang bergabung di Solo is Solo sejak awal dibukanya Koridor Gatsu.
Produk yang Lidia tawarkan adalah gelang, phone strap, cincin, dan pita rambut yang dijual pada kisaran harga 15.000 sampai 40.000. Ia juga memasarkan produknya melalui sosial media seperti Instagram dan Whatsapp.
Meskipun Lidia mengaku penghasilan dari berjualan ini tidak menentu, tapi ia memiliki kepercayaan jika ia punya kemauan, semua dapat dilakukan dengan baik. “Omzet nggak pasti. Kalau ramai, ya di atas Rp500 (ribu). Penghasilan tergantung situasi kondisi. Kalau Solo banyak acara, (Gatsu) sepi, kalau Solo nggak banyak acara, ya ramai,” terangnya.
Hampir sama dengan Lidia, Dela (23) juga mengawali usahanya karena ketertarikan pada kerajinan tangan, bahkan ia mengaku memiliki ketertarikan dan pernah menjual kerajinan ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sebelum terjun pada sektor wirausaha, Dela dulunya bekerja sebagai penulis di salah satu penerbit. Ia mengaku saat itu ingin mencari penghasilan sampingan.
Kemudian di 2019, Dela, bersama temannya, memulai usaha kerajinan berbahan dasar tali. Awalnya, kebanyakan pembeli atau peminat datang dari teman-teman kuliahnya sendiri. Usaha Dela ini juga sempat terdampak pandemi COVID-19 yang membuat usahanya berhenti.
“(usaha) sudah dari tahun 2019, usaha sama temen bikin kerajinan bahan tali tapi. Awalnya nggak tahu market di Solo, nggak tahu pemasaran. Juga sempat terhenti karena COVID,” cerita Dela kepada Tirto, pada Sabtu (7/9/24).
Setelah pandemi, dan berpisah dengan temannya, usaha ini ia ambil alih dan kembali bangkit di 2022. Di tahun ini pula, ia mulai mengetahui tentang komunitas Solo is Solo dan memutuskan untuk bergabung.
“Awal tahu Solo is Solo karena ikut event mural Solo is Solo, kemudian kenal sama direkturnya. Kemudian mereka bikin market, akhirnya aku gabung,” terangnya.
“Waktu itu produknya gelang tali, berubah bahan pakai bahan makram, seiring berjalannya waktu, mencoba tes pasar dengan menambah kerajinan atau produk dari bahan manik-manik,” imbuhnya.
Kegigihan Dela dalam menekuni usaha ini terlihat dari keinginannya untuk terus berinovasi dan mempelajari target pasar di kalangan muda Kota Solo. Kegigihan itu juga ia tunjukkan dengan mengikuti berbagai kegiatan seperti workshop yang memungkinkan bertemu dengan para pelaku UMKM yang lain. Ia mengaku, dari pertemuan tersebut, ia banyak belajar tentang pemasaran dan branding.
“Kalau kelas branding nggak pernah ikut, tapi sering isi workshop, sering ketemu orang, ngobrol, pengalamannya gimana dari situ coba memahami target pasar, (bagaimana) memusatkan target untuk siapa, dan jadi tau branding seperti apa, dan bagaimana membuat konten,” ujar Dela.
“Kadang ada pelanggan yang mereka itu influencer, itu jadi salah satu buat bantu branding juga. Meskipun sudah update di sosial media, (kami) kadang tetap bayar konten supaya kontennya naik,” lanjut Dela.
Sejauh ini, promosi yang dilakukan melalui sosial media dan online marketplace seperti Instagram dan Shopee. Terkait pendapatan setelah bergabung dengan Solo is Solo, ia mengaku pada awalnya memang masih terbilang sama, namun pendapatan terus bertambah seiring Solo is Solo yang juga makin populer dan ramai.
Dela juga menekankan pentingnya untuk tekun dalam menjalani usaha. Ketekunan tersebut juga membuahkan hasil karena saat ini, usaha kerajinan miliknya telah menjadi mata pencaharian utama. Dela bahkan telah memiliki 7 karyawan dan 1 penjaga stand.
Solo is Solo di Mata Mereka
Lidia dan Dela juga menceritakan pengalaman dan berbagai keuntungan setelah bergabung dengan komunitas Solo is Solo. Lidia mengungkap, bahwa setelah bergabung dengan Solo is Solo, ia tak hanya mendapat keluarga baru sesama pelaku UMKM, namun mereka juga banyak diikutkan dan dilibatkan pada acara yang menyorot UMKM.
“(Cara) join-nya mudah cuma isi form. Lalu dapat kartu anggota, jadi member. Benefit-nya kita bisa jualan di sini (Koridor Gatsu) tiap Jumat, Sabtu, Minggu. (selain itu), setiap ada kegiatan (UMKM) diikutsertakan, produk kita juga dipasarkan. (kami) sudah kayak saudara (di antara pelaku UMKM Gatsu). Kita total ada 150-an UMKM. Waktu awal (dibuka) masih 20-an dan akan ada potensi untuk nambah terus” ujar Lidia.
Hal tersebut juga diamini oleh Dela yang mengatakan bahwa hubungan antara pelaku UMKM di Gatsu terbilang cukup dekat. Namun, menurutnya, saat ini hubungan antar pedagang hanya sebatas menyapa saja karena Gatsu semakin ramai dan tidak memungkinan berbincang seperti dulu ketika Gatsu masih sepi dan penjual masih sedikit.
Dela lantas menyebutkan berbagai benefit atau keuntungan yang ia dapatkan setelah bergabung Solo is Solo dan berjualan di Koridor Gatsu. Salah satunya adalah terkait promosi. Dela menyebut bahwa Solo is Solo juga turut mempromosikan tenant-tenant yang ada di Gatsu melalui akun resmi media sosial (Instagram) milik Solo is Solo yang telah memiliki banyak pengikut. Dari promosi tersebut, Dela mengaku mulai mendapat exposure dan sering mendapat tawaran untuk mengisi tenant pop up market di berbagai acara.
Dengan adanya Night Art Market ini, Dela berharap UMKM di Solo lebih berkembang lagi karena ada banyak pengunjung dari luar kota juga yang tertarik pada UMKM di Solo.
“(Semoga) UMKM (lebih) berkembang lagi di Solo. Apalagi banyak orang luar kota menikmati UMKM. Berharap juga banyak pop up market agar UMKM bisa melapak juga sebagai sumber penghasilan,” kata Dela.
Lidia juga mengatakan hal serupa. Ia berharap UMKM di Solo makin bertambah, khususnya di kalangan anak muda. Selain itu ia juga mengharapkan pemerintah untuk bisa lebih jadi pemerhati para pelaku UMKM di Solo.
“Harapannya semoga UMKM di Solo, apalagi banyak muda, bisa bertambah dan karya Kota Solo semakin nampak karena ini sudah seperti Malioboro. Untuk pemerintah, ya, ayolah jadi pemerhati kita,” pungkas Lidia.
Dari cerita pelaku UMKM tersebut, menunjukkan bahwa saat ini Solo is Solo dan Night Art Market di Koridor Gatsu telah menjadi rumah bagi pelaku UMKM dan pekerja seni di Solo. Melalui Night Art Market ini, mereka mendapatkan apresiasi dengan pemberian ruang untuk menunjukkan hasil karya mereka.
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Anggun P Situmorang