Menuju konten utama

Menilik Sriwedari, Tempat Hiburan Rakyat di Tengah Kota Solo

Kawasan Taman Sriwedari memiliki sejarah yang sangat dekat dengan warga Solo.

Menilik Sriwedari, Tempat Hiburan Rakyat di Tengah Kota Solo
Gedung Wayang Orang Sriwedari. tirto.id/Adisti Daniella

tirto.id - Di bulan kemerdekaan ini, Kota Solo ramai dengan berbagai acara yang diselenggarakan di berbagai titik atau pusat destinasi wisata, mulai dari Museum Keris, Pura Mangkunegaran, dan tak ketinggalan taman ikonik Kota Solo, Taman Sriwedari. Pada 23 Agustus hingga 22 September 2024, akan diadakan Pasar Rakyat di Taman Sriwedari dengan menggandeng banyak UMKM dan beragam hiburan.

Dengan adanya Pasar Rakyat di Taman Sriwedari tersebut, tentu secara ekonomi akan sangat menguntungkan bagi pelaku UMKM. Di sisi lain, warga Solo dan sekitarnya juga akan merasakan nostalgia karena Sriwedari kembali menjadi ruang publik berupa taman hiburan--setidaknya untuk satu bulan--yang dulu sempat menjadi ikon dari Kota Solo dan dikenal dengan sebutan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari.

Ditarik dari sejarahnya, Taman Sriwedari dibangun pada tahun 1887 oleh Raja Kasunanan Surakarta yaitu Raja Pakubuwono X. Mulanya, Taman Sriwedari dibangun untuk tempat peristirahatan dan rekreasi keluarga Kasunanan Surakarta. Dalam perkembangannya, taman kota yang terletak di jantung Kota Solo, tepatnya di Jalan Slamet Riyadi ini, menjadi pusat wisata hiburan bagi rakyat Solo ketika itu.

Memiliki luas kurang lebih 10 hektare, Taman Sriwedari memiliki beberapa bangunan dan area, di antaranya adalah Gedung Wayang Orang Sriwedari, Museum Radya Pustaka, Stadion Sriwedari, Gedung Grha Wisata Niaga, dan terdapat area atau ruang hijau yang sempat menjadi rumah bagi rusa-rusa Taman Balekambang saat taman tersebut direvitalisasi.

Adapun Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta juga bertempat di area Taman Sriwedari. Tak hanya itu, terdapat pula bangunan Masjid Taman Sriwedari Solo yang belum selesai lantaran proses pembangunan yang sempat terhenti.

Taman Sriwedari

Taman Sriwedari. tirto.id/Adisti Daniella

Eksistensi Taman Sriwedari juga sempat mengalami tantangan, salah satunya adalah adanya sengketa antara ahli waris RMT Wirjodiningrat dengan Pemerintah Kota Surakarta. Sengketa tersebut merupakan konflik yang kompleks karena telah terjadi sejak tahun 1970. Terakhir, pada 2023, Pengadilan Negeri (PN) Surakarta membatalkan sita eksekusi terhadap lahan Taman Sriwedari sehingga Pemerintah Kota Surakarta memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkan lahan Taman Sriwedari.

Dengan putusan tersebut tentu menjadi kesempatan bagi Pemerintah Kota Surakarta untuk bisa mengelola Taman Sriwedari dengan baik karena Taman Sriwedari masih memiliki potensi yang besar sebagai ruang publik, apalagi lokasinya yang berada di jantung Kota Solo.

Potensi Besar Karena Punya Nilai Sejarah

Galing Yudhana, pengamat tata kota Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, menyebut, selain potensial karena berada di tengah kota, Taman Sriwedari juga memiliki potensi berupa nilai-nilai kesejarahan yang dapat dikembangkan dari sana. Menurutnya, kawasan Taman Sriwedari memiliki sejarah yang sangat dekat dengan warga Solo.

"Kenapa potensial, karena ini terkait dengan kesejarahannya. Solo sebagai kota budaya, terutama kesenian tradisionalnya, ya, ada wayang orang, keroncong. Itu punya jejak sejarah yang cukup kuat (di Solo). Dan itu semua diakomodir di Sriwedari, terutama maleman. Maleman itu seperti pasar malam rutin yang diadakan di sana," terang Galing saat ditemui Tirto, Kamis (22/8/24).

Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, menurut Galing, perlu dilakukan studi atau kajian terkait kegiatan apa saja kegiatan yang sesuai untuk dikembangkan di Sriwedari. Selain itu, yang terpenting adalah bagaimana menjaga keberlanjutan kegiatan tersebut.

"Harus dikaji betul kegiatan atau kesenian apa yang cocok di sana agar ada pasarnya. Sekarang kan, nggak mungkin kegiatan apapun itu tidak mempertimbangkan aspek komersial. Apalagi kalau dikelola pemda dan dibebankan tanpa ada sisi yang bisa diberdayakan secara ekonomi, ya keberlanjutannya akan sulit," kata Galing.

Galing menekankan pentingnya keberlanjutan dalam mengelola kawasan Sriwedari dan perlunya integrasi dari berbagai pihak. Menurutnya, Pemerintah Kota Surakarta tidak bisa bekerja sendiri karena keterbatasan sumber daya. Untuk itu, Pemkot Surakarta harus melibatkan pihak swasta.

Pemerintah Surakarta juga dapat menyiapkan konsep pengelolaan Taman Sriwedari dari hasil kajian dengan para akademisi terkait kegiatan apa saja yang cocok dan pantas dikembangkan di Sriwedari.

Gerbang Taman Sriwedari

Gerbang Taman Sriwedari. tirto.id/Adisti Daniella

Kegiatan-kegiatan yang cocok tidak harus bernuansa tradisional, namun dapat berupa kegiatan modern seperti pertunjukan musik pop, jazz, atau bahkan opera dan teater. Yang penting, tetap mengacu pada budaya masyarakat Solo.

"Yang jelas minimal kegiatan seperti dulu, yaitu hiburan-hiburan. Kegiatan yang sifatnya erat kaitannya dengan akar budaya Solo. Kalau yang agak modern mungkin bioskop atau (musik) Koes Plus. Atau pertunjukan musik, teater, dan opera. Yang penting bukan hiburan modern seperti diskotik, ya. Ya, yang cukup elegan," terang Galing.

Saat ini, tempat atau area kesenian yang tersisa dan masih aktif di kawasan Taman Sriwedari adalah Gedung Wayang Orang dan Museum Radya Pustaka. Keadaan lingkungan di sekitar dua lokasi tersebut terkesan terbengkalai dan tidak tertata. Padahal, menurut Galing, wayang orang memiliki potensi yang besar jika ingin dikelola dan dikembangkan dengan serius.

Galing tak menampik jika keadaan Taman Sriwedari saat ini juga tidak terlepas dari sengketa atau konflik yang terjadi sejak puluhan tahun lalu. Sengketa ini yang membuat Pemkot Surakarta berhati-hati dalam mengambil langkah pengelolaan Taman Sriwedari.

"Sebenarnya itu (wayang orang) hal menarik. Saya pikir potensinya cukup besar untuk dikembangkan. Ya, memang butuh bangunan yang memadahi, kelengkapan yang baik, dan itu mahal. Kalau itu mau dibangun tidak bisa langsung dibangun, harus ada satu kesatuan dengan yang lain. sarana yang baik ya harus berada pada tempat yang baik sehingga pantas untuk dijual. Kalau mau dibuat tapi lingkungan seperti itu, ya jadi tidak menarik," terang Galing.

Sepinya minat masyarakat sekarang terhadap kesenian wayang orang juga bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka akan kesenian tersebut. Ini erat kaitannya dengan kegiatan promosi yang dilakukan manajemen atau pengelola Taman Sriwedari.

Pelestarian Wayang Orang

Penari cilik dari Sanggar Pincuk mementaskan lakon Kusa-Lawa pada Festival Wayang Bocah 2023 di Gedung Wayang Orang Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (5/7/2023). ANTARAFOTO/Maulana Surya/foc.

"Wayang orang sebetulnya pertunjukkan yang bermutu. Wayang orang di sana seperti menjadi hiburan yang ditunggu masyarakat. Apakah mungkin masyarakat sudah nggak begitu memahami. Tapi sebenarnya sangat menarik. Bisa juga karena masalah promosi," imbuh Galing.

Galing lantas memberikan pandangannya terkait hal yang bisa dilakukan Pemerintah Kota Surakarta jika memang belum ada kesiapan untuk mengelola kawasan Taman Sriwedari. Salah satu caranya adalah dengan menjadikan area hijau yang ada di Taman Sriwedari sebagai ruang terbuka hijau.

"Kalau memang belum ada kesiapan mau dikelola, ya paling tidak dibersihkan, dijadikan ruang terbuka hijau yang bisa diakses semua masyarakat sehingga mereka bisa bersantai di sana. Mungkin kalau sudah siap betul, baru bisa (dikelola)," terang dia.

Terakhir, Galing berpesan bahwa mempertimbangkan aspek komersial atau ekonomi untuk pengembangan area ini jangan sampai menghilangkan nilai sejarah dari Taman Sriwedari itu sendiri.

Baca juga artikel terkait SOLO atau tulisan lainnya dari Adisti Daniella Maheswari

tirto.id - News
Kontributor: Adisti Daniella Maheswari
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Fahreza Rizky