Menuju konten utama

Berakhirnya Riwayat THR Sriwedari Solo

"..di dalam gedung wayang wong, penonton lima belas orang.." - Pasar Malam Sriwedari, Widji Thukul

Pementasan wayang orang di Taman Sriwedari, Solo. FOTO/wikicommon image

tirto.id - “Aku ingat betul momen asyik waktu main di THR Sriwedari; saat masa liburan tiba, aku sama orangtua pergi ke sana. Mengawali libur panjang dengan suka cita,” ungkap Fajar Sidiq, pegawai asal Solo di salah satu perusahaan multinasional Jakarta kepada Tirto. “Paling seneng aku main mobil senggol. Seru, cuy!”

Bagi Fajar Sidiq, THR (Taman Hiburan Rakyat) Sriwedari merupakan bagian tak terpisahkan dari memori masa kecil. Sebelum gawai marak, Dufan terlalu jauh, dan tempat terbuka publik masih sedikit jumlahnya, THR Sriwedari sudah berdiri dengan kokohnya untuk memenuhi dahaga bermain anak-anak, terutama di Kota Solo.

Letaknya yang begitu strategis di pusat kota membuat tempat ini mudah diakses. Jika kesulitan menemukan tempatnya, tinggal tanya saja ke setiap orang Solo. Sebab hampir sebagian besar orang Solo pernah ke sana.

Tapi kini situasinya berbeda. THR Sriwedari resmi menghentikan operasionalnya di pengujung 2017.

Alasan pengelola THR Sriwedari menutup tempat ialah karena masa kontrak yang dijalin dengan Pemerintah Kota Solo telah berakhir. Direktur THR Sriwedari Sinyo Sujarkasi mengungkapkan bahwa lokasi yang ditempati THR saat ini harus sudah kosong pada dua bulan ke depan.

Sebetulnya, Pemkot Solo telah menyiapkan tempat pengganti THR Sriwedari di Taman Satwa Taru Jurug. Namun, harga sewa tempat itu 600 juta rupiah per bulan. Bandingkan dengan tempat sekarang yang harganya hanya 38 juta rupiah.

Walhasil, manajemen THR memutuskan tidak mengambil opsi itu dan terpaksa mem-PHK karyawannya yang berjumlah 120 orang. “Untuk pegawai THR, semua akan dirumahkan,” jelas Ani salah satu pegawai senior THR Sriwedari saat dihubungi Tirto.

Baca juga: Risiko dan Nasib Buruk Pembangunan Hotel di Yogyakarta

Menurut Kepala Dinas Pariwisata Solo Basuki Anggoro Hexa, keputusan Pemkot Solo untuk tidak memperpanjang kontrak THR sudah diambil sejak tahun lalu. Namun, pengelola THR diberi perpanjangan waktu sampai 1 Desember 2017. Rencananya, Pemkot Solo akan melakukan penataan. Walikota Solo FX Rudi Hadyatmo menyatakan bekas lahan THR akan dijadikan masjid raya.

Pengajar Fakultas Hukum UNS Solo, Ayub Satriyo Kusumo menyayangkan tutupnya THR. Meski demikian, Ayub juga berpendapat bahwa kondisi sekarang sudah berbeda. “Pada saat masa kecil, Solo jarang ada tempat hiburan. Maka THR menjadi rujukan utama. Tapi saat ini dengan banyaknya mall, maka berdampak juga pada jumlah pengunjung karena pada lari ke mall,” ujarnya.

THR Sriwedari dikenal sebagai tempat wahana permainan dan hiburan Kota Solo. Di dalamnya terdapat berbagai jenis wahana seperti mobil senggol, roller coaster, hingga rumah hantu. Tak sebatas itu, THR juga kerap menggelar acara musik pada waktu tertentu. Musik yang ditawarkan pun beragam mulai dari pop tembang kenangan, rock, sampai dangdut. Tiap bulan, rata-rata ada sekitar 50 grup musik yang tampil di THR.

Dibangun untuk Rakyat, Tak Lepas dari Konflik

THR Sriwedari berada di kompleks Taman Sriwedari. Taman Sriwedari dibangun saat masa kejayaan Raja Kraton Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono X pada 1877. Nama lain dari Sriwedari ialah “Bon Rojo” (Kebun Raja). Nama tersebut merujuk pada beragamnya isi taman; ada kesenian, hiburan rakyat, sampai pasar malam. Mengutip Bendara Raden Mas Bambang Irawan, Sriwedari dibangun untuk kesenangan rakyatnya.

Seiring berjalannya waktu, berbagai gedung mulai dibangun di atas lahan Sriwedari. Tercatat ada Museum Radya Pustaka yang menjadi museum tertua di Indonesia dengan koleksi pusaka sampai gamelan, Gedung Wayang Orang, Gedung Kesenian Surakarta, Kolam Segaran, hingga THR itu sendiri. Tak hanya itu, di tanah Sriwedari juga berdiri stadion yang menjadi tempat pelaksanaan PON I pada 1948.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/13/Setapak-Lagi-di-Taman-Sriwedari-Nadyaqute_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Taman Sriwedari" /

Keberadaan Sriwedari juga tak luput dari konflik. Adalah sengketa lahan antara Pemkot Solo dengan ahli waris KRMT Wirjodiningrat yang menjadi masalah utama di Sriwedari. Rebutan lahan seluas 9,9 hektar tersebut sudah dimulai sejak 1970. Masing-masing pihak saling klaim dengan alasannya sendiri; Pemkot Solo merasa Sriwedari adalah tanah negara, sedangkan ahli waris berpendapat Sriwedari milik Kraton Kasunanan.

Baca juga: Biaya Hidup Naik, Yogya Sudah Tidak Berhati Nyaman

Mahkamah Agung (MA) telah menetapkan lewat putusan kasasi bahwa ahli waris Wirjodiningrat (adik ipar PB X) adalah pemilik lahan Sriwedari pada 2012. Tiga tahun kemudian, Pemkot Solo mengajukan Peninjauan Kembali (PA) atas putusan MA. Namun, pada 2016 MA menolak PK yang diajukan Pemkot Solo. Itikad untuk menyelesaikan konflik dengan duduk bersama bukannya tak dilakukan. Sayangnya, setiap perundingan gagal menghasilkan solusi bagi kedua pihak.

Berkenaan dengan penolakan PK terakhir, pihak Pemkot tak tinggal diam. Sebuah tim sudah dibentuk dan bekerja pada 25 sampai 27 Juli lalu. Hasilnya: tim menemukan kejanggalan dalam sengketa lahan Sriwedari. Berdasarkan kajian yang dilakukan, ahli waris KRMT Wirjodiningrat tidak bisa membuktikan penetapan sebagai ahli waris. Maka dari itu, putusan MA tidak bisa dijalankan.

Baca juga: Game of Thrones ala Kraton Jawa dan Yogyakarta

Pemkot Solo beralasan secara de facto Sriwedari dikelola pemerintah. Ditambah, menurut pemerintah, ahli waris tidak bisa menunjukkan bukti yang memperkuat status ahli waris mereka. Atas dasar itu, status tanah Sriwedari dikuasai langsung oleh negara.

Pada akhirnya, terlepas dari konflik sengketa lahan yang entah sampai kapan menemui jalan keluar, THR Sriwedari tetap pergi dan riwayatnya berakhir di depan mata. “Gimana enggak sedih, mas? Sudah 32 tahun saya bekerja di sini dan berusaha membuat THR tetap eksis. Namun apa boleh buat yang terjadi seperti ini,” pungkas Ani.

Baca juga artikel terkait KERATON SURAKARTA atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Humaniora
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf