Menuju konten utama

Tradisi Rebo Pungkasan Bertahan hingga Jadi Magnet Pariwisata

Upacara Rebo Pungkasan di Kalurahan Wonokromo konon telah berlangsung sejak Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung.

Tradisi Rebo Pungkasan Bertahan hingga Jadi Magnet Pariwisata
Lemper raksasa dengan panjang 2,5 meter dan diameter 50 centimeter digotong delapan pria dewasa dalam arak-arakan Rebo Pungkasan, Selasa malam (3/9/2024). (FOTO/dok. Pemkab Bantul)

tirto.id - Pada Selasa (3/9/2024) lepas petang, jalanan dari area Masjid Al-Huda Karanganom hingga Pendopo Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mulai disesaki warga. Mereka rela datang lebih awal, kendati upacara yang mereka nanti baru digelar usai salat Isya. Itu mereka lakukan guna memastikan dapat posisi terbaik untuk menyaksikan tradisi Rebo Pungkasan yang berlangsung satu tahun sekali.

Sekitar pukul 20.00 WIB, arak-arakan mulai menata diri di sekitar Masjid Al-Huda. Termasuk di dalamnya sebuah lemper raksasa dengan panjang sekitar 2,5 meter dan diameter 50 centimeter yang diletakkan di atas ancak. Kudapan dari beras ketan yang dimasak dengan santan dan isian daging cincang itu lantas dipanggul oleh delapan orang pria dewasa berbaju merah.

Diarak perlahan, lemper raksasa itu diikuti oleh rombongan kirab yang antara lain mengusung gunungan berupa uba rampe. Mengekor pula di belakang, iring-iringan pawai budaya. Sesampainya di Pendopo Kalurahan Wonokromo, para peserta bermunajat bersama. Hingga akhirnya, lemper raksasa dipotong dan jadi rebutan warga untuk ngalap berkah.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Bantul, Yanatun Yunadaiana, berujar bahwa tradisi Rebo Pungkasan patut dilestarikan karena memiliki filosofi mendalam.

Apalagi, upacara ini juga sudah masuk dalam Warisan Budaya Takbenda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,” ujar Yanatun dalam sambutannya di Pendopo Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Bantul, Selasa malam.

Keberadaan lemper raksasa dalam upacara Rebo Pungkasan pun memiliki makna khusus. Selain menjadi salah satu kudapan yang disenangi Sultan Agung, lemper bagi orang Jawa merupakan akronim dari “yen dialem, atimu ojo memper”. Artinya, tidak boleh tinggi hati ketika mendapat pujian.

Lemper juga merupakan simbol perjuangan hidup agar manusia menyingkirkan belenggu sebelum mencecap nikmatnya kehidupan.

Pemilihan waktu upacara tersebut dilakukan berdasar kalender Jawa, yaitu pada bulan kedua alias Sapar. Ia disadur dari nama bulan dalam kalender Hijriyah, sementara dalam bahasa Arab, Safarmemiliki arti sepi atau sunyi.

Sejumlah daerah di Indonesia, masih banyak yang menyelenggarakan tradisi yang berkaitan dengan Rebo Pungkasan atau Rebu Wekasan atau hari Rabu terakhirdi bulan Safar. Kalurahan Wonokromo adalah salah satunya. Tahun ini, Rebo Pungkasan jatuh pada 4 September 2024.

Berkembang Seiring Zaman

Upacara Rebo Pungkasan di Kalurahan Wonokromo konon telah berlangsung sejak 1600-an atau saat Kerajaan Mataram Islam dipimpin oleh Sultan Agung.

Laman resmi Kundha Kabudayan DIY menjelaskan bahwa upacara ini dahulu dipusatkan di depan masjid. Tradisi ini bertahan dengan biasanya, seminggu sebelum puncak acara sudah diadakan keramaian, yaitu pasar malam.

Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara Rebo Wekasan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia juga merupakan ungkapan terima kasih kepada leluhur Desa Wonokromo, yaitu Kiai Faqih Usman atau Kiai Welit. Beliau disebut-sebut bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.

Kundha Kabudayan DIY juga menulis bahwa pada zaman dahulu, penyelenggara upacara Rebo Pungkasan adalah masyarakat Wonokromo dan sekitarnya tanpa bantuan atau biaya dari pihak eksternal. Namun, mulai 1990, upacara ini mulai dikoordininasikan oleh aparat desa dan sebagai ketua panitia adalah Kadesnya.

Mengenai pembiayaan, dulunya hanya bersumber dari pribadi-pribadi. Peruntukannya pun hanya untuk modal membuat lemper dan membeli bunga tabur. Namun, setelah dikelola Pemerintah Desa Wonokromo, biaya penyelenggaraannya diperoleh dari hasil sewa tempat untuk berbagai stan pada acara pasar malam. Di samping itu, ada pula tambahan dana dari Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, dan swadaya masyarakat.

Tradisi Rebo Pungkasan

Pemotongan lemper raksasa dalam upacara Rebo Pungkasan di Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, DIY, Selasa malam (3/9/2024). (FOTO/dok. Pemkab Bantul)

Pada zaman dahulu, peralatan yang digunakan untuk upacara cukup sederhana. Untuk prosesi mengambil air, misalnya, hanya cukup membawa botol atau kaleng saja. Untuk sesajinya, hanya berupa bunga.

Namun, setelah dikelola oleh perangkat desa, peralatan yang digunakan bermacam-macam dan umumnya dibuat dari bambu. Misalnya untuk tempat menggotong lemper, tempat membawa gunungan, dan sebagainya. Adapun makna yang terkandung dalam lemper tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa Sultan Agung itu penggemar lemper.

Atraksi budaya ini tentu menarik perhatian masyarakat yang lebih luas, termasuk para wisatawan. Kepala Seksi (Kasi) Promosi dan Informasi Dinas Pariwisata (Dinpar) Kabupaten Bantul, Markus Purnomo Adi, pun menyatakan bahwa event budaya merupakan salah satu magnet untuk mendatangkan wisatawan. Sebab, salah satu pengembangan pariwisata di kabupaten berjuluk Bumi Projotamansari ini adalah berbasis budaya.

Bantul banyak event budaya di masyarakat atau desa wisata di mana tidak ada retribusinya,” ujarnya saat dihubungi kontributor Tirto, Rabu (4/9/2024).

Namun demikian, pria yang akrab disapa Ipung itu menyebut bahwaevent budaya merupakan pintu bagi wisatawan untuk berwisata ke wilayah Bantul lain yang beretribusi.

“Jadi, harapannya setelah atau sebelum dari acara budaya, sebagian wisatawan menikmati destinasi yang beretribusi,” jelasnya.

Cultural Tourism

Ipung menambahkan bahwa Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul tidak hanya melulu menghitung retribusi. Sebab, dampak perputaran ekonomi dalam event budaya pun menjadi perhatiannya.

“Diharapkan pula, masa tinggal dan belanja piknikers bertambah,” sebutnya.

Pernyataan Ipung pun senada dengan Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono. Budaya menjadi salah satu basis yang dimanfaatkan dalam pengembangan pariwisata DIY. Pengembangan pariwisata berbasis budaya atau cultural tourism yang mendukung terwujudnya konsep pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism.

Tantangan yang harus dihadapi dunia pariwisata cukup kompleks. Karena, di satu sisi kita harus mempertahankan identitas dan melestarikan budaya yang sudah ada, sementara intervensi budaya luar dan pengaruh teknologi sangat kuat. Guna menyeimbangkan hal itu, selain mensosialisasikan keunikan atau keistimewaan budaya yang ada di DIY, generasi muda yang di dalamnya termasuk mahasiswa baru harus terlibat aktif dalam menjaga budaya," ujar Beny Suharsono saat menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) di Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) AMPTA Yogyakarta.

Beny menjelaskan bahwa pariwisata berbasis budaya adalah jenis kegiatan pariwisata yang memanfaatkan kebudayaan sebagai objek wisata. Ketika mengunjungi destinasi wisata tersebut, wisatawan akan merasakan dan mempelajari berbagai kebudayaan tertentu.

Adanya cultural tourism ini dapat dimanfaatkan sebagai objek daya tarik wisatawan yang dapat melestarikan warisan budaya,” jelasnya.

Pengembangan pariwisata berbasis budaya yang dilakukan DIY pun sebagaimana visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah DIY 2005-2025, yakni “Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya, dan daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera” dan merujuk pada arah pembangunan DIY lima tahun ke depan sesuai Visi dan Misi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY (2022–2027).

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi